Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK 2 pekan lalu hujan sudah mengguyur Pulau Bali. Terutama di
bagian pegunungan sangat lebat. Bahkan beberapa tempat di kota
l)enpasar air menggenang karena got tersurnbat sampah. Tapi di
Nusa Penida pulau kecil di seberang laut, setetespun air belum
turun. Keadaan ini sudah tentu mencemaskan karena daerah kering
yang kritis ini sejak Nopember lalu sudah berteriak minta
tolong.
Camat Nusa Penida, Anak Agung Gde Raka menuturkan, dari 13 desa
di pulau gersang itu 9 desa di antaranya sudah krisis benar.
Maksudnya tak ada lagi persediaan pangan, baik beras mau pun
singkong. Artinya pula, sebanyak 37.972 jiwa perlu bantuan
pangam Desa-desa ini umumnya terletak di kaki bukit dengan mata
pencaharian warganya bercocok tanam dan beternak sapi.
Akhir Nopember lalu sebanyak 10 ton beras ada dikirim ke Nusa
Penida. Tapi jumlah itu ternyata belum apa-apa, sehingga perlu
bantuan tahap berikutnya. Awal Desember dikirim lagi 10 ton oleh
panitia khusus yang dibentuk DPRD Bali. Inipun belum
menyelesaikan soal pangan di sana. Sehingga sambil menunggu
sidang DPRD Bali berikutnya untuk menetapkan berapa besar
bantuan yang akan diberikan lagi penduduk pulau itu akan tetap
prihatin. Oleh karena itu mereka yang tak tahan lagi menunggu,
cepat-cepat membawa hewan peliharaannya untuk dijual di daratan
Bali dengan harga 50% lebih murah dari semestinya. Apa boleh
buat. Asal cepat laku, sebab anak-anak di rumah menunggu makan.
Tak kalah dari itu adalah hasrat beberapa orang penduduk pulau
kecil itu untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Pekan lalu
sebanyak 40 orang 14 di antaranya anak-anak - penduduk Desa
Kadangdawa dan Sampang (Nusa Penida) berjam-jam berjemur di
Pantai Sanur menunggu keberangkatan mereka ke Lampung. Mereka
pergi atas kemauan sendiri, dengan biaya (seadanya untuk
perjalanan) sendiri pula. Tujuan utama adalah Seputih Raman, di
Lampung Tengah, karena di sana ada transmigran asal Nusa Penida.
Para transmigran spontan itu hanya diantar oleh seorang pemuda
sekampung mereka yang kebetulan pernah ke Lampung. "Selama di
perjalanan dan di sana tanggung jawab sendiri-sendiri, saya cuma
mengantar dan mencarikan kendaraan" tutur Wayan Tangkeg, si
pengantar.
Sebaliknya ke-40 orang itupun belum tahu apa yang akan mereka
kerjakan di tempat baru kelak. Dari pihak Kanwil Transmigrasi
Bali rupanya juga tak menaruh minat untuk mengurus keberangkatan
mereka, walaupun tak mustahil soal itu sudah menyentuh telinga
instansi tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo