Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Punya Hak yang Sama

Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat. Masyarakat menebak penggantinya. Profil putra mahkota: KGPH Mangkubumi, GBPH Hadikusumo, GBPH Prabukusumo, GBPH Pakuningrat, GBPH Hadiwonoto, GBPH Joyokusumo.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH hari sebelum wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ternyata telah memikirkan soal kelanjutan takhta dan masalah status daerah istimewa untuk Yogyakarta. Sultan, misalnya, pernah memanggil empat orang putranya, satu per satu, konon untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut rencana Sultan untuk menobatkan seorang putra mahkota, akhir tahun nanti. Keempat pangeran yang dipanggil itu adalah Mangkubumi, Hadikusumo, Hadiwinoto, dan Joyokusumo. Di antara merekakah sang calon Hamengku Buwono X itu? Lantaran tak ada isyarat yang jelas, masyarakat pun mulai menebak-nebak. Berikut profil mereka dan yang lain: K.G.P.H. HAJI MANGKUBUMI Dialah yang mewakili keluarga menerima jenazah Sultan dari Menko Kesra Soepardjo Rustam, selaku wakil pemerintah. Dia pula yang menyambut kedatangan Presiden dan Ny. Tien Soeharto, di pelataran keraton ketika Kepala Negara itu datang melayat. Tak mengherankan, sebagai putra laki-laki tertua, 15 tahun silam, Mangkubumi telah diangkat menjadi Lurah Pangeran, yang dituakan di antara putra yang lain. Mangkubumi lahir dari garwa kedua Sultan, Kanjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) Windyaningrum, 2 Maret 1946. Herjunodarpito adalah nama yang diberikan oleh Sultan kepada putra kelima ini. Ketika masih balita, Herjuno dipercayakan Sultan kepada Ki Juru Permana, kini 70 tahun, untuk diasuh dan digembleng menjadi bocah yang berbudi. Sejak itu, Herjuno kecil sering dibawa ke rumah Siwo -- begitu Mangkubumi memanggil Ki Juru -- di Dusun Besuli, Kecamatan Gamping, Sleman. Ki Juru Permana mengaku sering tirakat untuk anak asuhnya itu. Suatu kali, dia berendam 3 hari 3 malam di Kali Larangan, yang membelah Gamping. Alhasil, kata Ki Juru, turunlah sebuah wangsit untuk memberi nama baru bagi Herjuno. Atas persetujuan Sultan, Mangkubumi, yang ketika itu berumur 4 tahun, mendapat nama baru: Herjuno Suryoalam. Tahun 1973, ketika Herjuno hendak diangkat menjadi pangeran, lagi-lagi Ki Juru yang sibuk mencari nama. Setelah bikin selamatan segala, kembali dia menemukan nama untuk anak asuhnya itu: Mangkubumi. Lagi-lagi Sultan setuju. Ketika itu pula, tutur Ki Juru, Sultan berpesan supaya Mas Mangku, begitu nama panggilan Mangkubumi, kembali digembleng agar menjadi manusia bijaksana. Kini Mangkubumi, alumnus Fakultas Hukum UGM sehari-harinya adalah Direktur Utama PT Punakawan, yang bergerak di ladang jasa konstruksi. Dia juga terpilih menjadi Ketua DPD Golkar DIY selain anggota DPR RI, dan Ketua Kadinda Yogya. Menikah dengan Taty Drajat, Mangkubumi dikaruniai lima anak, semuanya perempuan. Tentang wasiat Sultan, Mas Mangku memilih bungkam. Dia paling santer disebut-sebut sebagai calon pengganti Sultan. Kalaupun ada keberatan, kata sumber di keraton, pangkalnya: Mas Mangku tak punya anak laki-laki. G.B.P.H. HADIKUSUMO Ketika belum bergelar pangeran, dia bernama Bandoro Raden Mas (B.R.M.) Murtyanto. "Saya enam bulan lebih muda dari Kangmas Mangku," tutur putra keempat K.R.Ay. Pintokopurnomo, istri pertama Sultan. Dia kini juga disebut punya kans besar untuk memimpin kasultanan. Hadikusumo mengaku bertemu dengan ayahandanya 5 September lalu, menjelang keberangkatan Sultan ke Jepang, yang kemudian dilanjutkan ke Amerika. Ketika itu, Hadikusumo mendapat panggilan mendadak dari Sultan, lewat telepon. Lantas, Hadi pun terbang ke Jakarta dan menemui ayahandanya di Jalan Halimun. "Di situ kami bicara hampir dua setengah jam," tuturnya. Tentang wasiat apa yang disampaikan oleh Sultan, Hadi enggan bicara. Tentang pengganti Sultan? "Ah, itu harus dibicarakan dulu dengan keluarga," ujarnya. "Saya tak punya cita-cita setinggi itu," ujarnya. Hadikusumo, alumnus FHUGM 1980, kini aktif memimpin Universitas Proklamasi, Yogya. Selain rektor, dia juga menyandang pimpinan Kuartir Cabang Pramuka DIY dan memimpin beberapa buah perusahaan, di antaranya sebuah perkebunan cengkeh di daerah Boja, Kabupaten Semarang. Hadikusumo juga punya kelemahan yang bisa mengganjalnya untuk menggantikan ayahandanya. Pernikahannya dengan Dra. Sri Hardani belum memberinya anak laki-laki. G.B.P.H. PRIBUKUSUMO Berkumis dan agak kerempeng, rambutnya yang tebal berombak dibiarkannya sedikit gondrong. Itulah Prabukusumo, putra sulung dari K.R.Ay. Hastungkoro, garwo ketiga Sultan. Bila ngomong, Prabu suka blak-blakan. Kendati namanya masuk nominasi, dia tak menunjukkan ambisinya untuk tampil sebagai sultan baru. "Saya jamin, Prabukusumo tidak akan menjadi HB X," ujarnya ringan. Prabu, yang lahir 22 Desember 1952, sebelum mendapat gelar pangeran, bernama B.R.M. Harumanto. Hobinya badminton dan bela diri, tapi bukan pencak silat melainkan taekwondo. Selain menjabat Ketua Karang Taruna DIY, dia juga dipercaya menjadi ketua Pengurus Daerah (rengda) Taekwondo, dan merangkap pula sebagai Ketua PBSI DIY. Tugas akhirnya di Fakultas Psikologi UGM dia tinggalkan, tahun 1981, lantaran keburu sibuk berwiraswasta. "Ketika itu, saya memutuskan untuk bekerja," tuturnya. Tindakan Prabu itu toh tak mengundang kemarahan Sultan. Kini Prabu memimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan perdagangan di Yogya. Prabu menikah dengan Roeswarini, 34 tahun, dan kini dikaruniai 3 orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Bagi dia, siapa pun yang jadi HB X tidak dipersoalkan. "Pokoknya, asal berbobot, mampu bergaul dengan kalangan atas dan bawah, berwibawa, dan bisa menjadi suri teladan buat semuanya," ujarnya kalem. G.B.P.H. PAKUNINGRAT Namanya juga disebut-sebut sebagai kandidat sultan. Tapi Pakuningrat, anak sulung dari Almarhumah K.R.Ay. Ciptomurti, istri keempat HB IX, tampak tenang-tenang saja. "Sungguh, saya nggak punya pikiran ke sana. Yang jelas, minat saya ke sektor swasta saja, tidak di pemerintahan, tidak juga di keraton," ujarnya. Pakuningrat adalah salah satu dari empat pangeran yang menikah di depan jenazah Sultan, dua pekan lalu. Nurita Afridiani, 26 tahun, yang menjadi gadis pilihannya. Bagi Rita, pembawaan suaminya itu bersahaja, tak suka mengunjukkan kepangeranannya. "Mas Paku biasa-biasa saja, tak pernah membuat jarak," ujar lulusan akademi sekretaris ini. B.R.M. Anindito adalah nama Pakuningrat sebelum mendapat gelar pangeran. Masa kecil dan remajanya dilewatkan di Jakarta. Lulus dari SMA IV, Jakarta, Anindito, yang lahir 22 November hampir 31 tahun lalu itu, melanjutkan sekolahnya ke Geodesi ITB. Sampai semester VII, dia cabut dari kampus. "Keburu asyik berwiraswasta," tuturnya. Pakuningrat menjadi pimpinan di dua buah perusahaan. Di PT Aguna Krida Pratama, bergerak di bidang konstruksi dan supplier, dia memangku jabatan direktur teknik. Lantas, di PT Dawuh Prabu Anom, yang berlogo keris dan sayap burung, Pakuningrat menjabat sebagai direktur utama. PT Prabu Anom, yang diambil dari nama keris pusakanya, bergerak antara lain di bidang percetakan. Tentang pewaris takhta HB IX, Anindito tak bersedia berpendapat. Yang jelas, dia ingin mewarisi sifat Sultan, yang dianggapnya bijaksana. "Sampai saya dewasa seperti sekarang, belum pernah sekali pun saya dimarahi Bapak," tuturnya. G.B.P.H. HADIWINOTO Dia dikenal hangat dalam pergaulan dan ramah dengan siapa pun. Wajahnya mirip betul dengan Mangkubumi, hanya kulitnya saja lebih gelap. Itulah Hadiwinoto, adik Mangkubumi, yang sama-sama lahir dari K.R.Ay. Windyaningrum. Hadi juga disebut punya peluang melangkah ke singgasana. Juni lalu, Hadi dipanggil Sultan ke Jakarta. "Saya mendapat tugas untuk membuat gambar," ujarnya. Rupanya, Sultan meminta Hadi untuk memilih sebuah bangunan di lingkungan istana, yang bisa dirombak untuk menjadi rumah tinggal. Kabarnya, Sultan memang berniat meletakkan jabatan dan menunjuk penggantinya. Lalu, rumah tinggal resmi Sultan diserahkan kepada raja baru, dan HB IX sendiri, bila di Yogya, menempati rumah baru itu. Di saat-saat berkabung tempo hari, Hadi adalah salah seorang pangeran yang paling sibuk. Maklum, dalam kepengurusan istana, dia menjabat Pengageng Tepas Wahono Sarto Kriyo, yang mengurus soal bangunan dan fasilitas transportasi keraton, sekaligus merangkap sebagai Pengageng Tepas Halpitopuro, yang mengurus kebutuhan sesaji. Di luar pagar istana, Hadi, yang dahulu bernama B.R.M. Ibnuprastowo, juga punya banyak kegiatan. Dia menjabat General Manager Sri Manganti, hotel berbintang dua milik kasultanan. Hadi juga menjabat Wakil Ketua Kadinda DIY, anggota DPRD Tingkat I DIY, sekaligus ketua umum Pengurus Golkar Kodya Yogyakarta. Menikah dengan gadis asli Yogya, Aryuni Utari, Hadi, 40 tahun, kini mempunyai sepasang anak, laki dan perempuan. G.B.P.H. JOYOKUSUMO Bertubuh gempal, humoris, dan suaranya serak-serak basah. Dialah Joyokusumo, putra bungsu dari Almarhumah K.R.Ay. Windyaningrum. Sekolahnya, Fakultas Ekonomi UGM, putus di tengah jalan. Tapi kariernya di dunia usaha dan organisasi pemuda berjalan mulus. Kini, Joyo, 33 tahun, memimpin CV Aji Buana Perkasa, mengetuai KNPI dan Hipmi DIY, di samping menjabat Wakil Ketua DPRD Kodya Yogyakarta. Di dalam tembok istana, Joyo menjabat Pengageng Tepas Widarto, yang mengurus kesejahteraan abdi dalem, di samping dipercayai menjadi narpo cundoko alias ajudan Sultan. Sebagai narpo cundoko, tugasnya, "Mendampingi Bapak dalam berbagai kegiatan keraton," ujarnya kepada Hedy Lugito dari TEMPO. Joyo yakin bahwa telah lama HB IX memikirkan putra mahkota. Hanya saja, dalam soal yang satu itu, dia tak pernah diajak ngomong. Juni lalu, bersama kedua abangnya, Mangkubumi dan Hadiwinoto, Joyo dipanggil ke Jakarta. Pada pertemuan itu, "Saya diminta mencari arsip tentang pranatan pengangkatan putra mahkota," tuturnya. Tugas pertama belum selesai, datang tugas tambahan. Dia diminta mencari arsip tentang pranatan prosesi pernikahan para pangeran. Yang belakangan ini lebih mudah dicari. Tapi, "Sampai sekarang arsip pranatan pengangkatan mahkota itu belum ketemu," tuturnya. Putut Tri Husodo, Budiono Darsono (Jakarta), I Made Suarjana (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus