Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Norma, Di Malam Temaram

Kra nindyokirono (norma) memimpin tahlilan untuk suaminya, sultan. beliau rikuh ikut tradisi keraton karena tak biasa. sempat menyaksikan sultan memanggil 4 putranya sebagai penerus takhta.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDATON Shwarna Bhumi, Bogor, Jumat malam pekan lalu terlihat ramai. Di rumah peristirahatan yang dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama istrinya K.R.Ay. Nindyokirono, yang lebih terkenal dengan panggilan Nyonya Norma, diadakan tahlilan untuk Mendiang Sultan. Di antara tamu yang datang terdapat bekas Menpen Boediardjo, Haji Masagung, arsitek Adhi Moersid yang merancang istana itu. Juga hadir Ratu Anom, putri sulung Sultan HB IX, dan anak-anak Sultan dari Almarhumah K.R.Ay. Ciptomurti, Tjakraningrat, dan Pakuningrat. Selebihnya warga RT setempat, yakni RT Tanah Sareal, RT Ciwaringin, dan RT Cisarua. Nyonya Norma yang sudah tampak banyak senyum dan hilang rasa capeknya memimpin tahlilan. Ia memakai mukena karena tahlilan itu sendiri didahului sembahyang isya. Usai itu, para tamu menyalami janda Sultan itu. Norma kemudian mengajak para tamu melihat-lihat kedaton yang besar dan indah itu. Setelah itu, Norma diwawancarai wartawan TEMPO Sri Pudyastuti R., Gabriel Sugrahetty, dan Gunung Sardjono. Banyak sekali yang dikatakan Norma. Ny. Norma tampaknya memang seorang wanita cerdas, terbuka, suka bicara blakblakan -- meski bisa menyimpan rahasia. Sedari kecil ia memang sudah tampak sebagai anak yang terbuka dan bicara apa adanya. Lahir 3 Desember 1930 di Desa Mentok, kampung kecil di Pulau Bangka, Sumatera Selatan, Norma hidup dalam lingkungan keluarga yang saleh beragama. Ia suka mengaji, dan menginjak remaja sudah pandai membaca Quran. Ketika enam pemimpin perjuangan ditahan Belanda di Bangka (Bung Hatta, Abdulgafar Pringgodigdo, Asa'at, Ali Sastroamidjojo, Suryadarma, dan Mr. Moh. Roem), Norma yang kala itu berusia 13 tahun bersama beberapa gadis remaja lain meladeni para tahanan. Menurut penuturan Nyonya Moh. Roem kepada TEMPO, Norma memberikan makanan untuk pejuang yang ditahan itu. "Norma lain dengan teman-temannya. Ia pemberani, tidak pemalu dan lincah," Nyonya Moh. Roem mengenang. Bung Karno kemudian dibuang juga ke Bangka. Norma tetap melayani para pejuang itu. Bung Karno akhirnya tertarik pada anak yang lincah ini. "Anak gadis seperti Norma sebaiknya sekolah di Jakarta saja," kata Bung Karno seperti dikutip Ny. Roem. Tawaran untuk Norma juga datang dari Haji Agus Salim. Akhirnya Norma diboyong ke Jakarta setelah keadaan memungkinkan. "Jadi, Norma tidak langsung di rumah Presiden Soekarno. Ia di rumah Agus Salim, sebab dia punya anak gadis," kata Ny. Roem. Setelah setahun di rumah Agus Salim, Bung Karno yang selalu memperhatikan gadis Bangka ini mengatakan (sebagaimana diingat Nyonya Roem), "Coba sekarang ganti haluan saja, Norma ikut Pak Roem." Maksud Bung Karno, supaya Norma semakin banyak belajar pada diri pejuangpejuang bangsa. "Bapak selalu mengajak Norma pergi ke kantor. Tugasnya, selain membereskan buku-buku, juga ikut menerima anggota delegasi Belanda," kata Nyonya Roem. Mohamad Roem saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri. Yang dikagumi Nyonya Roem, Norma berani berbicara dengan tamu-tamu asing untuk melatih bahasa Inggris dan Belandanya. Kelincahan Norma diakui banyak orang lain. Itu yang menyebabkan Sultan sangat bahagia jika bepergian dengan Norma. Berbagai kota di dunia telah mereka kunjungi. Dan di Washington, D.C., Amerika Serikat, di hari Minggu 2 Oktober itu, adalah saatnya Norma harus berpisah dengan Sultan. Seingat Ny. Roem, Norma kawin muda, pada usia di bawah 20 tahun. Suaminya adalah Subeno, pegawai kilang minyak di Pakanbaru. Dari perkawinan itu lahir satu anak, Denny. Pasangan Norma-Subeno kemudian cerai sekitar tahun 1962. Denny ikut Norma. Lalu, kapan Norma menikah dengan Sultan HB IX? Norma sendiri menyebutkan tahun 1976. Itu berarti, waktu itu K.R.Ay. Tjiptomurti masih mendampingi Sultan di Jakarta karena Ny. Tjiptomurti meninggal dunia 30 Maret 1980. Norma kemudian Juga memperoleh gelar ningrat, yaitu K.R.Ay. Nindyokirono -- artinya cahaya yang sempurna -- pada 1986, bertepatan dengan peringatan jumenengan dalem (penobatan) Sultan yang ke 40. Kenapa sampai 10 tahun berselang? Inilah cerita Norma: Sebagai orang Sumatera, saya belum siap untuk masuk ke keraton. Mendingan saya jadi istri Bapak, tapi yang nggak usah masuk-masuk keraton, deh. Tidak usah pakai upacara ngabekten. Jadi, waktu Bapak tanya, "Sudah siap belum?" Saya bilang, belum. Saya tetap pakai nama Norma, tetapi dengan tambahan Hamengku Buwono IX, karena saya istri Bapak. Kalau saya pakai nama K.R.Ay. Nindyokirono itu, saya harus masuk keraton. Kalau tidak ke keraton, namanya sudah kurang ajar. Dapat nama, lalu tidak menghargai. Buat saya untuk siap mental, itu berat. Biasanya jalan sama Bapak seenaknya, bisa pegang tangan, lalu sampai keraton saya harus mundur. Lalu kalau Bapak berdiri saya harus jongkok. Saya pikir, lho kok aneh. Saya orang Sumatera, yang tidak pernah kenal begitu-begituan. Dan saya bilang sama Bapak, kalau saya masuk keraton, saya mau yang perfect. Sebetulnya, untuk siap mental tidak perlu 10 tahun. Tapi ada pertimbangan lain. Saya ini dengan Bapak, ke mana pun bebas, kecuali ke daerah Yogya. Apalah salahnya kalau saya tidak usah masuk ke Yogya. Jadi, biarlah Bapak bebas dengan ibu-ibu (istri Sultan di Keraton) itu. Jangan saya ikut itu lagi, karena daerah saya sudah mencakup seluruh dunia. Saya kan sudah keliling dunia, keliling Indonesia, tapi hanya di Yogya saya tidak pernah masuk bersama Bapak, khususnya ke keraton. Lama-kelamaan Bapak berpikir, ini nggak berkesudahan. Kamu harus masuk keraton, kata Bapak. Dan saya disiapkan gelar. Sebelum saya dapat gelar, saya ikut labuhan (upacara membuang sesaji ke laut atau gunung -- Red.) dulu. Seminggu sesudah itu, saya dikirim ke Yogya, untuk melihat Keraton Kulon. Kalau mau nama itu (Nindyokirono), saya kasih rumah itu (Keraton Kulon), kata Bapak. Jadi, sebelum punya nama, saya mempersiapkan dulu. Saya lihat, bagaimana cara ini dan itu di keraton. Setelah itu pulang. Baru kemudian saya siap. Saya memilih rumah di Keraton Kulon, karena menurut Bapak rumah itu sudah dua puluh tahun nggak dipakai. Itu rumah bekas ibunya Bapak (istri Sultan HB VIII). Anak-anak takut tidur di situ, karena seram. Tapi, begitu saya masuk, saya tidur di tempat tidur ibunya Bapak, saya pakai semua barang ibunya Bapak, ya, nggak apa-apa. Begitu mengenal Keraton Yogya, Norma memang melakukan peri laku gaya keraton. Tapi ia mengaku tak bisa berlama-lama bersandiwara dan tertindas dalam kehidupan yang sama sekali tak ia mengerti. Norma tetap Norma, yang sedari kecil lincah, terbuka, lugu, dan mengaku tak pernah diam. Dengarkan, apa katanya tentang kehidupan keraton: Kalau di Keraton, saya jarang bicara sama Bapak, lho. Saya tiga hari di keraton, diam saja. Pertama kali saya mangkel. Kalau Bapak makan, langsung semua orang menyembah. Bapak tak bisa lagi makan dengan saya. Saya pikir, oh, begini to hidup di keraton. Alangkah tidak enaknya. Tapi saya nekat, saya menyembah juga. Begitu dekat dengan Bapak dan orang-orang tak lagi melihat, saya cubit Bapak. "Yang marah ya sama saya? Kok sudah dua hari saya tidak ditegur?" Bapak kaget juga. "Eh, nggak kok, Mi. Di sini saya nggak boleh banyak ngomong. Kalau saya ngomong saya 'kan seperti Sultan yang bego." Dalam hubungan dengan anak-anak Sultan -- dari istri-istri yang lain -- Norma mengakui tak ada masalah. Itu sebabnya, pada hari-hari terakhir kehidupan Sultan, justru Norma menjadi saksi bagaimana Sultan memanggil satu per satu anaknya ke Jalan Halimun, Jakarta. "Saya tak tahu kenapa, mungkin saya dianggap netral, karena saya nggak punya anak (dari Sultan). Jadi, saya tak punya kepentingan. Kalau ibu yang lain 'kan ada anaknya," kata Norma. Yang dipanggil adalah Mangkubumi, Hadikusumo, Hadiwinoto, dan Joyokusumo. Dua yang terakhir ini dipanggil lebih dulu, dan Norma lupa waktunya. Sedang Hadikusumo dipanggil 5 September 1988. Mangkubumi belakangan, dan ia malah ikut ke Tokyo pada tanggal 14 September. Norma sama sekali tak mau menyebutkan apa isi pembicaraan yang masing-masing dilakukan terpisah itu. Bahwa itu penting, ya, bahkan sangat penting untuk kelangsungan Keraton Yogya. "Ya, karena kami harus segera berangkat ke Tokyo, jadi Bapak perlu bertemu anak-anaknya. Bapak menghendaki ada penerus. Bapak pernah mengatakan pada saya, Bapak khawatir mengenai Mangkunegaran (Solo) karena dihilangkannya angka IX itu. Bapak mengatakan, 'Saya nggak mau itu. Kalau saya ingin tetap ada Hamengku Buwono X'. Bapak ingin, kalau bisa...." Norma berhenti bicara. "Wah, saya belum bisa ngomong. Nanti, deh, jangan bicarakan dulu. Soal siapa yang akan menggantikan Bapak menjadi Sultan Hamengku Buwono X, itu masalah sensitif. Tapi memang betul saya sudah tahu." Ada satu hal lagi yang sangat penting, mungkin menyangkut yang lebih besar ketimbang persoalan suksesi di keraton. Yakni, tulisan-tulisan Sultan. Semua itu tersimpan di laci meja kerjanya di Jalan Prapatan 12 Jakarta. Sebelum berangkat ke Tokyo itu, mendadak Sultan menyerahkan kunci itu ke Norma dengan pesan supaya disimpan. Selain kunci laci itu juga dititipkan pada Norma kunci brankas yang isinya dokumen penting, cek, dan semua yang menyangkut kekayaan Sultan. Norma tak pernah menduga bahwa itu akan menjadi "persoalan besar", dan pesanpesan itu adalah pertanda berakhirnya kehidupan Sultan. "Untuk membuka laci dan brankas itu saya akan mengumpulkan anak-anak. Paling sedikit anak tertua dari masing-masing ibu," kata Norma. Norma mengaku tak akan mau merebut harta kekayaan itu. Tapi tentang Kedaton Shwarna Bhumi di Bogor, yang dibangun dengan biaya Rp 1,5 milyar, Norma berkata, "Semua itu atas nama saya. Disebut kedaton karena Bapak tinggal di sini, tetapi rumah ini punya saya. Dulu, waktu beli sebetulnya saya ingin atas nama Bapak, supaya lebih gampang mengurusnya. Tapi, nyatanya, atas nama saya juga gampang kok. Minta izin bangunannya seminggu sudah keluar. Semuanya berjalan baik. Lalu sertifikat sebetulnya kan tanah 5 ribu meter persegi satu sertifikat, ini 15 ribu meter persegi dengan satu sertifikat, karena langsung dari Menteri Dalam Negeri. Jadi, dapat hak istimewa. Sebetulnya melanggar, saya dapat karena Bapak." Adapun rumah di Jalan Halimun itu atas nama berdua. Lantas bagaimana dengan perusahaan-perusahaan Sultan di luar Yogya? Norma tertawa dan berkata, "Saya memang dipersiapkan jauh-jauh oleh Bapak. Seperti kapal Baruna, lalu Hasta Mitra, ada lagi usaha udang di Ujungpandang. Kalau Bapak rapat, saya selalu dibawa, saya juga aktif. Kalau Bapak mundur, saya maju. Jadi, kalau Bapak nggak ada, semua itu jatuh ke saya." Norma tetap bersemangat bertutur dan terus menyunggingkan senyum. Di luar Kedaton Shwarna Bhumi malam semakin temaram di tengah cahaya lampu taman. Setelah memandangi seluruh isi Kedaton, Norma berkata, seolah untuk dirinya, "Kedaton ini akan tetap saya pertahankan dan saya pelihara walau biayanya besar." Putu Setia, Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus