MASA berkabung nasional itu berakhir sudah Kamis pekan lalu. Di Yogyakarta, keraton sudah kembali dibuka untuk umum. Turis asing, seperti biasa, mulai kelihatan mondar-mandir, keluar masuk keraton, sembari menenteng kamera. "Sejak dibuka Sabtu lalu, sudah lebih dari 1.000 pengunjung yang datang," kata Gusti Pangeran Poeroebojo, Kepala Tepas Pariwisata Keraton Yogyakarta, awal pekan ini. Kendati demikian, suasana duka masih terasa. Setelah satu minggu ditutup, mulai Jumat pekan lalu, sekatenan memang sudah dibuka lagi. Tapi para pedagang nampak masih sungkan untuk berteriak-teriak. Mereka belum mau menggunakan alat mikrofon untuk menjajakan jualannya. Itulah sekatenan yang agaknya paling sepi. Musik dangdut yang sudah beberapa tahun ini menjadi warna khusus "pasar malam" memperingati bulan Maulud itu tak nampak di pentas yang disediakan. Padahal, izin untuk itu sudah diberikan keraton. Alkisah, pimpinan grup dangdut itu sudah memutuskan tak akan mentas sampai sekatenan berakhir, 23 Oktober mendatang sebagai tanda turut berduka atas mangkatnya Sri Sultan. Corong pengeras suara yang terdapat di atas menara, dan biasa dipergunakan untuk menyampaikan berbagai pengumuman termasuk pemberitahuan anak hilang sampai sekarang terdengar hanya mengalunkan bacaan ayat-ayat suci Quran. Keramaian justru terlihat di Imogiri. Tepatnya di kompleks makam Astana Saptarengga. Di sana, sejak hari pemakaman Sabtu dua pekan lalu, tak pernah sepi dari peziarah. Padahal, Astana itu hanya dibuka Senin dan Jumat. Maka, di luar hari itu seratusan peziarah hanya diizinkan sampai di luar makam. Ada yang menginap. Mereka bertiduran di bangsal depan masjid makam, dan di depan pintu masuk Saptarengga. Juga di tangga makam yang terdiri dari 454 anak tangga. Setiap Senin dan Jumat, menurut Djogopratomo, abdi dalem penjaga makam, sedikitnya 1.000 peziarah tumplek ke situ. Di tempat lain, di Shwarna Bhumi, kedaton Sri Sultan di Bogor, ada sekitar 100 orang berkumpul Jumat malam pekan lalu untuk tahlilan. Mereka adalah penduduk sekitar kedaton. Dan K.R.Ay. Norma Nindyokirono, istri terakhir Sri Sultan, dengan ramahnya meladeni para tetamunya. Acara mengenang Sri Sultan mungkin masih akan panjang. Namun, bagi keluarga besar Keraton Ngayogyakarta, ada persoalan yang masih harus mereka selesaikan. Salah satu adalah status tanah dan harta keraton. Ada sejumlah tanah yang dibagi-bagikan keraton kepada lembaga desa, dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kas desa bersangkutan. Sampai kini, menurut Pangeran Hadiinoto, adik Mangkubumi, status tanah itu belum jelas. "Tak ada terkandung maksud dari keraton untuk mengklaim tanah yang sudah dibagikan itu," katanya. Kepada Tepas Wahono Sartoknyo, instansi keraton yang mengurusi tanah dan bangunan milik keraton, dia berkata, "Kami hanya ingin tahu status pemilikan tanah itu secara hukum" Ada yang lebih penting. Sampai Ngarso Dalem menutup mata nun jauh di negeri orang, ia belum sempat membereskan masalah suksesi di keratonnya. Senin malam pekan ini rombongan keluarga Keraton Yogya mengunjungi Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. "Kunjungan ini cuma untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden," kata K.G.P.H. Mangkubumi kepada wartawan di kantor ayahandanya di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, setelah mereka kembali dari kediaman Presiden. Mereka yang berangkat menemui Pak Harto adalah wakil dari putra-putri Sultan Mangkubumi mewakili putra-putri dari K.R.Ay. Widyaningrum G.B.P.H. Prabukusumo, putra dari K.R.A. Hastungkoro G.B.P.H. Pakuningrat, putra dari K.R.A. Ciptomurti, dan G.B.P.H. Puger yang mewakili putra Hamengku Buwono VIII. Berbeda dengan yang lain, putra-putri dari K.R.Ay. Pintokopurnomo diwakili oleh Kanjeng Ratu Anom. Maka, orang pun ingin tahu, kenapa mereka tak diwakili oleh Pangeran Hadikusumo, adik Ratu Anom. "Kita tidak mungkin datang semua. Jadi, cukup dengan perwakilan, begitu lho," jawab Mangkubumi. Pertanyaan ini cukup menggoda karena G.B.P.H. Hadikusumo baru saja melemparkan sebuah berita yang kontroversial dan mendapat banyak tanggapan. Dalam suatu wawancara yang diberitakan Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 11 Oktober lalu, Hadikusumo menyatakan bahwa ia telah menerima "wasiat" dari HB IX, ayahandanya. Itu, katanya, terjadi 5 September lalu, 28 hari sebelum wafatnya Sri Sultan. Dia mengaku telah dipanggil Ngarso Dalem di rumah kediaman di Jalan Halimun, Jakarta. Nah, dalam pertemuan enam mata disaksikan oleh ibu tirinya, K.R.Ay. Nindyokirono -- yang sekitar dua setengah jam itulah Sri Sultan, kata yang empunya cerita, telah menyerahkan wasiat. Isinya? Pangeran Hadikusumo, putra Sri Sultan yang kini rektor Universitas Proklamasi, belum bersedia mengungkapkannya. Dia konon ingin menunggu selepas 40 hari masa berkabung. "Tapi kita masih akan membicarakannya lebih dulu dengan keluarga," katanya. K.R.Ay. Nindyokirono membenarkan terjadinya pertemuan itu. Malah sebelumnya, menurut dia, Sultan lebih dahulu mengadakan pertemuan dengan putra-putranya yang lain. Tentang suksesi? "Bapak malah pernah menyebut pada saya bahwa nantinya akan ada Hamengku Buwono X," kata Ny. Norma Nindyokirono. Masih menurut Norma, Sultan sudah pernah punya keinginan untuk melepaskan jabatannya di keraton. "Dulu sudah gencar, Bapak mau berhenti. Bapak mau istirahat di sini saja," katanya kepada TEMPO, Jumat malam pekan lalu, di Kedaton Shwarna Bhumi. Masih menurut Norma, Sri Sultan juga pernah berbicara dengan Paku Alam VIII di kantor Jalan Prapatan. Dan Norma mengakui tidak tak hadir di situ. "Tapi saya mengetahui hasil pembicaraan itu dari Bapak sendiri," katanya. Sementara itu, pertemuan Sri Sultan dengan putra-putranya, menurut Norma, berlangsung di Jalan Halimun. Dan Norma, tentu saja, mengaku hadir di situ. Masih di bulan Juli, menjelang penobatan empat pengeran baru di keraton 23 Juli silam, konon Sultan memanggil tiga putranya ke Jalan Halimun: K.G.P.H. Mangkubumi beserta dua adiknya, G.B.P.H. Hadiwinoto dan G.B.P.H. Joyokusumo. Pertemuan itu, seingat Norma, berlangsung dari pukul lima sore sampai pukul 12 malam. Sayang, Norma menolak mengungkapkan isi persisnya pertemuan itu. "Tanyakan saja pada mereka," katanya. Kemudian karena Sultan sudah punya rencana berangkat ke Jepang dan terus ke Amerika Serikat guna mengecek kesehatan, 14 September 1988, maka ia memanggil pula G.B.P.H. Hadikusumo, putra tertuanya dari K.R.Ay. Pintokopurnomo. Maka, pada 5 September 1988, Hadikusumo datang menghadap. Norma mengaku mengetahui persis seluruh isi pembicaraan. Tapi, lagi-lagi, dia menolak mengungkapkannya kepada TEMPO. Hatta, Hadiwinoto membenarkan, ia telah ditugasi oleh Sri Sultan untuk membenahi sebuah ruangan di dalam keraton, yang oleh Sri Sultan digambarkan untuk sebuah tempat tinggal. Ada dugaan, perslapan itu untuk tempat tinggal raja. "Tapi saya sendiri tak diberi tahu untuk tempat apa. Tugas saya cuma menyiapkan gambarnya," katanya. Sedangkan adiknya, Joyokusumo, diperintahkan Ngarso Dalem agar mencari arsip-arsip pranatan yang mengatur tentang tata cara penobatan seorang putra mahkota. Ia belum berhasil memenuhi perintah yang disampaikan Sultan kepadanya ketika ia dipanggil menghadap ke Talan Halimun, Tuni lalu, bersama kedua kakaknya, sebagaimana yang disebutkan Norma tadi. Hadiwinoto membenarkan pula cerita yang menyebutkan Ngarso Dalem pernah memanggilnya. Malah ia sendiri di keraton yang menerima telepon Ngarso Dalem dari Jakarta, pada 1 September 1988. Isinya: agar Hadikusumo menghadap Sultan di Jakarta. Karena kesibukannya di Yogyakarta, Hadikusumo belum juga berangkat. Maka, esoknya, adik kandung K.G.P.H. Mangkubumi ini menerima lagi telepon dari Sultan dengan pesan yang sama. Malah kali ini dengan tambahan: Hadikusumo di tunggu di Jakarta, 5 September 1988. Hadikusumo pun berangkat ke Jakarta. "Apakah ketika itu ada wasiat atau tidak, saya tidak tahu," kata Hadiwinoto. Itulah soalnya. Adakah wasiat? Gusti Pangeran Poeroebojo, salah seorang kakak Sri Sultan dari ibu yang lain, meragukannya. Sebab, dari Hamengku Buwono I sampai VIII, tak pernah ada yang meninggalkan wasiat untuk anak maupun cucunya. "Saya tak yakin ada wasiat dari Ngarso Dalem," katanya. Kalaupun benar begitu, toh penerus takhta Sri Sultan akan tetap berlangsung, sesuai dengan tradisi. Setidaknya, pengganti Sri Sultan haruslah seorang putra mahkota dari permaisuri. "Kalau permaisuri tak ada, barulah dicari putra tertua dari selir atau garwo dalem," katanya. Maka, menurut Pangeran Poeroebojo, orang yang paling tepat menggantikan Sri Sultan ialah K.G.P.H. Mangkubumi. "Saya tak punya kepentingan pribadi dalam soal ini, tapi tradisinya memang begitu. Kalau tidak mengikuti tradisi itu, harus ada musyawarah untuk menciptakan tradisi baru," kata kepala Tepas Pariwisata Keraton itu. Menurut sang pangeran, tradisi Keraton juga sebenarnya tak mengenal penentuan takhta lewat musyawarah. "Sekarang nampaknya dibutuhkan rapat semacam itu untuk mencari pengganti Sri Sultan," ujarnya. Tapi, menurut Hadiwinoto, musyawarah seperti itu dilakukan dalam hal pengangkatan Sultan Hamengku Buwono IX. Sementara itu, dukungan terhadap Mangkubumi berdatangan. Gusti Pangeran Soerjowidjojo, salah seorang adik Sri Sultan, juga mendukung K.G.P.H. Mangkubumi. "Kami sekeluarga, termasuk adik-adik Sri Sultan, mendukung Pangeran Mangkubumi," kata Kepala Purorekso, Kepala Keamanan Keraton. G.B.P.H. Benowo, 61 tahun, juga adik Sri Sultan, terus terang berkata, "Secara politis, Mangkubumi memang sudah disiapkan Sultan untuk menggantikannya." Adik-adik Mangkubumi juga nampaknya mendukung kakaknya meskipun mereka berpendapat, keputusan akhir perlu ditempuh lewat jalan muyawarah keluarga. Misalnya, seperti kata Hadiwinoto, "Semua putra Sultan berhak atas jabatan itu. Tapi, menurut adat, putra tertualah yang harus memimpin. Jadi, putra tertua adalah Mas Mangkubumi." Namun, ia buru-buru menambahkan, itu akhirnya tergantung musyawarah keluarga juga. Putra-putri dari garwa dalem lainnya belum bersedia menentukan pilihan. "Tapi yang pasti, Hamengku Buwono X itu nanti bukan saya," kata G.B.P.H. Prabukusumo, putra tertua dari K.R.Ay. Hastungkoro. Dia agaknya ingin memberi isyarat tak akan mencalonkan diri. Meskipun sebagai putra tertua, sesungguhnya kans Prabukusumo sama saja dengan Mangkubumi, Hadikusumo, maupun G.B.P.H Pakuningrat, putra tertu dari K.R.Ay. Ciptomurti. Sepanjang sejarah Kerajaan Mataram, nampaknya tak mudah untuk mencari suatu ketentuan yang seragam tentang tata cara pemilihan pengganti Sultan Yang biasa terjadi, pewaris takhta ditentukan oleh Sultan. Biasanya ia adalah putra dari salah seorang garwa dalem yang telah diangkat Sultan sebagai permaisuri. Tapi sampai akhir hayatnya, HB IX tak pernah mengangkat seorang permaisuri. Berarti 14 putranya sekarang berasal dari ibu garwa dalem yang sama derajatnya. Dengan kata lain, sama pula kansnya untuk terpilih. Kalau Mangkubumi dan Hadikusumo punya kesempatan lebih dibanding adik-adiknya, itu disebabkan peran mereka selama ini. Mangkubumi adalah Ketua DPD Golkar DIY, anggota DPR, dan komisaris utama pabrik gula Madukismo, Yogyakarta. Usianya juga lebih tua enam bulan dari Hadikusumo. Sedang Hadikusumo, selain Rektor Universitas Proklamasi Yogyakarta, adalah ketua Paguyuban Sabtu Pahing, semacam kelompok spiritual yang anggotanya cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Sabtu Pahing adalah hari kelahiran Sri Sultan. Pada hari itu kelompok ini melakukan upacara peringatan. Hadikusumo sekarang menjadi Ketua Kuartir Daerah Pramuka Yogyakarta. Ia pula yang diangkat Sri Sultan menjadi Pengageng Kawedanan Sri Wandono, jabatan semacam sekretaris negara. Dengan jabatan itu. dialah selama ini satu-satunya pangeran yang berhak menyampaikan perintah Ngarso Dalem kepada para penghuni keraton. Satu hal yang menggembirakan, seluruh pihak yang terlibat dalam suksesi nampaknya sudah sepakat: pengganti Ngarso Dalem akan ditentukan lewat musyawarah keluarga setelah masa berkabung usai. Soal wasiat tadi, misalnya, bila memang ada dan bisa dibuktikan kebenarannya, akan dibahas dalam musyawarah yang menurut rencana akan diikuti semua putra Sultan Hamengku Buwono IX dan putra Sultan Hamengku Buwono VIII. Seperti kata Mangkubumi, "Kita harus melihat apakah wasiat itu tertulis atau lisan, otentik atau tidak. Dan terserah musyawarah keluarga nantinya untuk menerimanya atau tidak." Pangeran Poeroebojo menimpali, "Kalau wasiat itu cuma lisan, akan sulit diterima karena diragukan kebenarannya." Maka, bisa jadi Pustaka Raja, semacam catatan yang dibikin oleh Sri Sultan menurut Poeroebojo, Sultan sudah menulis lebih dari dua buku -- akan dijadikan pedoman. Sri Sultan, menurut Ny. Norma, banyak meninggalkan catatan-catatan yang sekarang tersimpan di beberapa lemari yang belum dibuka, karena menunggu musyawarah keluarga. "Ya, siapa tahu di situ ada tersimpan wasiat tertulis," kata Mangkubumi. Tapi Norma, sebagai satu-satunya saksi dalam pemberian wasiat tadi, seperti dikatakan Pangeran Hadikusumo, mengakui bahwa Sultan tak memberikan wasiat tertulis atau tanda yang lain. Misalnya dengan memberikan Joko Piturun, keris yang dipegang oleh putra mahkota Keraton Yogyakarta, yang kini tersimpan di keraton. Apa komentar Sri Paku Alam VIII? Menurut Ny. Norma, Paku Alam pernah diajak berunding oleh Sri Sultan. Betulkah? Ketika ditemui TEMPO Senin sore awal pekan ini, Wakil Gubernur DI Yoyakarta itu cuma berkomentar, "Bilang saja, itu rahasia. Dan Sri Paduka tidak akan mengungkapkannya kepada siapa pun, dan sampai kapan pun." Masih ada satu lagi: tentang jabatan Gubernur DIY yang lowong. Suara di "luaran" mengatakan, itu akan dirangkap oleh siapa pun yang nantinya akan tampil sebagai penerus takhta Keraton Yogya. Dalam hal ini pun Wakil Gubernur Sri Paku Alam menjawab kalem, "Lha, itu 'kan terserah pemerintah." Benar juga. Amran Nasution, Syahril Chili, I Made Suarjana, Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini