TIGA Hamengku Buwono semuanya wafat di bulan Oktober, tapi ketiganya berbeda dalam memilih pengganti. Hamengku Buwono I, yang mangkat dalam usia di atas 70-an, sudah lama menyiapkan seorang putra mahkota. HB VIII tak tampak mempersiapkan apa-apa. Tapi tiga hari sebelum wafat dalam usia 61 setelah bertakhta sekitar 18 tahun -- ia menyerahkan tanda pergantian kekuasaan: keris pusaka Kiai Joko Piturun, kepada putranya, yang kelak bergelar HB IX. HB IX, wafat 3 Oktober lalu, lain lagi. Selain tak menunjuk putra mahkota ia juga tak menyerahkan Kiai Joko Piturun kepada siapa pun. Ada cerita bahwa sudah lama Sri Sultan berniat mengundurkan diri. Katanya, ia ingin beristirahat di Kedaton Swarna Bhumi di Bogor dengan gelar Ki Ageng Sepuh, gelar yang dipilihnya sendiri. Dan mungkin Sultan punya alasan untuk tidak menyerahkan Kiai Joko Piturun kepada salah seorang pangeran putranya. Karena ia tak punya permaisuri, kelima istri dan 22 anaknya -- 14 di antaranya lelaki -- dianggapnya sama. Kesimpulan Ki Juru Permono, seorang yang dianggap sebagai "penasihat spiritual" Sri Sultan itu, "Beliau berusaha bersikap adil." Menurut Ki Juru Permono, keris Kiai Joko Piturun mungkin sudah mukso, menghilang, menjelma dalam wujud yang lain. Sebab, tiga hari sebelum Sri Sultan wafat, pada pukul 02.30 dinihari, Ki Juru menerima apa yang dianggapnya semacam wangsit. Seorang berpakaian kesatria Mataram dinihari itu datang kepadanya dan berkata, "Upayakno Kiai Joko Piturun (Usahakan 'mencari' Joko Piturun)." Ki Juru kaget. Sebab, keris pusaka itu masih disimpan di keraton. "Jangan-jangan Kiai Joko Piturun sudah mukso," pikirnya waktu itu, sebagaimana dikisahkan kembali kepada TEMPO. Akhirnya Ki Juru, yang kini 70 tahun itu, menafsirkan mukso-nya Kiai Joko Piturun sesuai dengan tuntutan zaman. Katanya, "Musyawarah keluarga yang akan memutuskan calon pengganti Ngarso Dalem, ditambah nasihat pemerintah pusat dan DPRD. Siapa yang terpilih, dialah yang akan menerima Kiai Joko Piturun." Di zaman dahulu, suksesi di Mataram tentu saja berbeda. Semuanya ditentukan oleh sang raja yang masih berkuasa. Tapi karena tak ada tradisi bahwa anak lelaki tertua yang otomatis jadi pengganti, seperti tradisi Eropa, akhirnya leblh sering pergantian kepemimpinan itu disertai cekcok, kalau perlu pembunuhan dan perang. Di masa Mataram, persoalan takhta mulai menajam dengan kekerasan setelah wafatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Ia dikenal sebagai raja Mataram terbesar. Ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya, tapi juga menindas para bupati di pesisir utara Pulau Jawa seperti Pati dan Surabaya. Ia ta segan-segan memindahkan penduduk atau siapa saja yang dianggapnya berbahaya. Di masa pemerintahannyalah muncul pemberontakan pesantren Perapen pada 1636 di bawah pimpinan Sunan Giri Perapen. Prestasinya yang terbesar ialah penyerbuannya ke Batavia (1628-1629) sampai tiga kali meski tidak berhasil. Peninggalannya yang bertahan: ia membangun mausoleum di bukit Imogiri. Tapi keturunannya tak cukup bisa menampung warisan yang dibesarkan dengan peran itu. Pengganti Sultan Agung, yaitu putra sulungnya, yang kemudian bergelar Amangkurat I (1645-1677), sejak awal memerintah dengan kecurigaan akan didongkel. Ia membunuh Pangeran Alit, adik kandungnya sendiri, yang dituduh hendak merebut kekuasaan. Sekitar 5.000 sampai 6.000 santri dan ulama yang diduga menghasut Pangeran Alit dibantai secara masal dalam waktu kurang dari sehari. Ia berebut perempuan dengan anaknya sendiri, dengan akibat wanita itu harus dibunuh. Juga pamannya sekeluarga yang ikut terlibat dihabisi. Teror itu pula mendorong putra mahkota Pangeran Adipati Anom memberontak, dan minta tolong pangeran Madura Trunojoyo. Kewalahan menghadapi Trunojoyo, Amangkurat I minta bantuan VOC. Sejak itu, pelan-pelan, Belanda mencengkeramkan kukunya di Mataram. Tapi ketika Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II (1677-1703), ia berbalik melawan Trunojoyo. Dalam Babad Tanah Jawi bahkan diceritakan kebuasan khas masa itu: Amangkurat II, setelah menyambut dengan manis Trunojoyo yang menyerah, tiba-tiba menikam bekas sekutunya itu. Ia juga menyuruh semua bupatinya mengeroyok Trunojoyo dan memakan irisan hati orang Madura itu mentah-mentah. Ia kemudian memindahkan keraton dari Plered ke Kartosuro pada 1680. Belanda terus menyertainya. Bahkan berusaha "bermain" di tengah konflik suksesi. Karena sikap VOC, penggantinya, Amangkurat III, hanya sempat berkuasa setahun sejak 1703. Takhtanya direbut oleh Pangeran Puger, saudaranya. Puger naik takhta dengan gelar Paku Buwono I (1703-1719). Untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, ia memerintahkan pujangga keraton menyusun sastra babad yang menarik. Diceritakan bahwa sebelum Amangkurat II dimakamkan, kemaluannya tiba-tiba tegak, dan di ujungnya muncul setitik sinar sebesar merica. Anehnya, di antara yang hadir, termasuk Raden Mas Sutikno ( Amangkurat III), hanya Pugerlah yang mampu menyaksikan keajaiban itu. Maka, demikianlah tulis sastra babad itu, Puger segera mengecup "cahaya sebesar biji merica" itu hingga kemaluan sang raja kembali normal. Dengan dongjeng ini disahkanlah Puger, seolah ia lebih berhak jadi raja ketimbang Sutikno. Sementara itu, Belanda terus berusaha menguasai Mataram. Kesempatan itu terbuka ketika timbul Geger Pecinan pada 1742. Pemberontak Cina terhadap Belanda itu berhasil menguasai pesisir utara Jawa dan akhirnya masuk keraton. Paku Buwono II tak berdaya. Apalagi ia juga berhadapan dengan Raden Mas Said, menantunya sendiri. Hanya dengan bantuan Belanda, pemberontakan itu dipadamkan. Lalu ibu kota dipindah ke Surakarta. Jasa Belanda ini punya buntut. Pada 1743, Belanda mengajukan "kontrak politik": pengangkatan semua penguasa di pesisir utara Jawa harus seizin Belanda, sementara orang Jawa tidak boleh membuat kapal. Pelayaran dan perdagangan pun jadi monopoli Belanda. PB II, setelah berembuk dengan Pangeran Mangkubumi, saudara seayah lain ibu, setuju. Ia kemudian bahkan juga menyerahkan Pulau Madura dan seluruh pesisir utara Jawa kepada Belanda. Ia juga berjanji siap membantu Belanda melawan setiap pemberontak. Gara-gara perjanjian itulah Raden Mas Sald -- pendiri dinasti Mangkunegaran yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional -- angkat senjata. Ketika PB II jatuh sakit, Belanda menuntut yang lain. Seluruh wilayah kerajaan diminta, dan penobatan semua keturunan PB II harus dilakukan oleh Belanda. Ini terjadi pada 16 Desember 1749. Ketika PB III bertakhta, ia praktis jadi boneka karena "Kerajaan Mataram" hanya pinjaman belaka dari VOC. Maka, Mangkubumi bertindak. Ia dinobatkan oleh para pengikutnya di Mataram sebagai raja, lepas dari Surakarta. Melihat itu, PB III yang rupanya sangat lemah itu mengirim surat kepada Mangkubumi untuk menyerahkan sebagian dari Pulau Jawa. Berdasarkan surat itulah kemudian diselenggarakan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Hasilnya: Mataram dibagi dua: Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Mangkubumi sebagai raja bergelar HB I, dan Kasunanan Surokarto Hadiningrat dengan PB III sebagai raja. Dua tahun kemudian diselenggarakan perdamaian di Salatiga. Hasilnya: Kasunanan Surokarto dibagi dua, sebagian diberikan kepada Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyowo -- yang kemudian memerintah di Puro Mangkunegaran dengan gelar K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I. Pemecahan sisa Kerajaan Mataram jalan terus. Pada pada 1811, Yogya dibagi pula oleh Inggris jadi dua: yang sebagian di bawah wewenang Puro Paku Alaman. Tak berarti soal suksesi lancar. Di Yogya, soal pun timbul pada masa Hamengku Buwono I (1755-1792). Putra mahkota, Raden Mas Entho, harus dikorbankan. Diceritakan, ia tak mau belajar sastra, sombong, dan pernah membunuh beberapa orang Cina. Suatu hari HB I mengajak putranya makan bersama. Dalam buku Yogyakarta under Mangkubumi oleh sejarawan Riclefs disebut, konon, di situlah putra mahkota menelan racun. Delapan hari ia sakit, lalu mati setelah menerima permintaan maaf dari sang raja. Kemudian disusunlah sastra babad yang mengungkapkan bahwa ketika berkunjung ke Candi Borobudur, Entho melihat "seribu bayang-bayang kesatria" yang mengepungnya. Ketika itu ia mendengar wangsit bahwa apa yang dilihatnya itu akan membawa sial. Berikutnya, HB I tak menunjuk putra tertua yang kedua, Pangeran Aryo Ngabehi. HB I menunjuk anak bungsunya, Raden Mas Sundara, yang baru berusia 10 tahun, sebagai HB II (1792-1810). Belakangan HB II ini selalu menolak kebijaksanaan VOC. Karena itu, Belanda selalu mengganggunya. Pada 1810, ia diturunkan dari takhta, dan diangkatlah putranya sebagai HB III, yang setahun kemudian meninggal. HB II -- yang setelah turun takhta berganti nama sebagai Sultan Sepuh mengambil alih kekuasaan kembali pada 1811. Baru setahun berkuasa, ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Penang. Pada saat penggantian HB IV (1814-1822) juga timbul masalah. Putra sulungnya dari permaisuri, meski baru berusia lima tahun, sudah dicalonkan sebagai putra mahkota. Hal ini terutama karena desakan Belanda. Maka, raja kecil itu pun naik takhta sebagai HB V didampingi beberapa wali, yaitu Pangeran Mangkubumi (paman HB IV), Pangeran Diponegoro (paman HB V), Patih Dalem, dan seorang residen Belanda. Tapi Mangkubumi dan Diponegoro merasa tidak diikutsertakan dalam urusan kerajaan. Diponegoro akhirnya angkat senjata. Ia berperang selama lima tahun sejak 1825, dan kalah. Belanda kemudian menggunakan tolok ukur lain bagi suksesi di Jawa. Misalnya ketika HB V wafat pada 1855, ia tak digantikan putra mahkota Raden Muhammad, melainkan oleh saudara Sultan. Suksesi, dalam ketidakpastiannya, mengundang senjata, darah, dan sakit hati. Kini semua itu tak akan terjadi, bila keris yang mukso berganti dengan musyawarah dan keputusan yang bijaksana. Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Budiono Darsono, Agung Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini