SETIAP Sabtu kapal Tampomas I singgah di Pelabuhan
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dalam pelayaran Medan-Jakarta.
Sekitar 500-700 penumpang turun, sebagian para pedagang,
terutama pedagang cangkingan yang disebur inang-inang.
Tapi, tak seperti biasanya, Sabtu akhir Februari lalu, terjadi
huru-hara. Tak kurang 60 inang mengamuk. Beberapa orang memanjat
pagar pelabuhan hendak mengerubuti petugas bea-cukai. Ada pula
yang memburu petugas sambil mengacung-acungkan botol minuman
yang dipecahkan terlebih dulu pantatnya.
Tengku Husin, Kepala Sub Seksi Pemberantasan Penyelundupan Bea
Cukai, juga menjadi sasaran. Untung para petugas pelabuhan
lainnya sempat mengamankannya -- sampai kemarahan para inang
mereda.
Insiden seperti itu baru pertama kali ini terjadi. Tapi gejala
kerusuhan sebenarnya sudah nampak sejak Januari lalu. Ketika
itu ada pedagang mendatangi seorang petugas Bea Cukai di
kantornya. Si petugas dicekik, karena dituduh menjadi
biang-keladi tertangkapnya barang bawaan si pedagang. Akhirnya
yang membuat onar itu dimasukkan sel polisi.
Ketegangan seperti itu bukan hanya antara para pedagang dan
petugas. Juga antara pedagang sendiri, biasanya berkelompok
seperti sebuah sindikat, tak jarang pula timbul bentrokan keras.
Januari 1980 lalu, misalnya, dua kelompok pedagang bertempur di
tengah kota -- saling melempar bom molotov.
Para petugas pelabuhan sebenarnya sudah mengenal betul pedagang
atau inang-inang yang berlalu-lalang itu. "Mereka ya yang
itu-itu juga," kata Kepala Pelabuhan Tanjungpinang, Hengky
Supit. Berbelanja di Tanjungpinang, setiap Sabtu mereka ke
Jakarta, setiap Rabu kembali. Tapi mengapa mereka tiba-tiba
ngamuk?
Sejak dua bulan terakhir ini pihak Bea Cukai Tanjungpinang
memperketat pemeriksaan. Setiap penumpang hanya boleh membawa
tiga potong barang tentengan. Selebihnya harus diperiksa.
Akibatnya ribuan potong barang tentengan tak bisa lolos.
Tindakan itu nampaknya merupakan lanjutan dari usaha
pemberantasan penyelundupan dua tahun lalu. Sejak 1979 Operasi
Halilintar menggeledah toko-toko yang memasarkan barang eks
luarnegeri -- terutama dari Singapura -- tanpa dokumen. Lebih 20
toko disegel. Tapi belakangan kembali buka dan kembli memasarkan
barang selundupan.
Belakangan Bea-Cukai galak: tidak mau menerima tanda bukti
hanya berupa faktur pembelian dari toko saja. Bea Cukai
menghendaki PPUD alias pemberitahuan pemasukan barang untuk
dipakai.
Oleh sikap Bea Cukai tersebut, para pedagang dan inang-inang
merasa dipersulit. "Lucu, kita beli barang dari toko tapi tak
boleh dibawa," kata salah seorang inang. "Kalau barang itu
dianggap hasil selundupan, mengapa tokonya tidak digerebek?"
Tapi, sebenarnyalah, para pedagang atau inang itu hanya orang
upahan belaka. Mereka pembawa barang, bekerja untuk pedagang
yang lebih besar. Kalau barang tidak lolos, padahal biaya
makan-minum dan penginapan sudah mereka terima di muka, 'kan
berabe?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini