Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bila inang-inang berang

Insiden di pelabuhan tanjungpinang, sekitar 60 inang-inang mengamuk karena pemeriksaan diperketat -- ribuan potong barang tentengan tak bisa lolos. (dh)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP Sabtu kapal Tampomas I singgah di Pelabuhan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dalam pelayaran Medan-Jakarta. Sekitar 500-700 penumpang turun, sebagian para pedagang, terutama pedagang cangkingan yang disebur inang-inang. Tapi, tak seperti biasanya, Sabtu akhir Februari lalu, terjadi huru-hara. Tak kurang 60 inang mengamuk. Beberapa orang memanjat pagar pelabuhan hendak mengerubuti petugas bea-cukai. Ada pula yang memburu petugas sambil mengacung-acungkan botol minuman yang dipecahkan terlebih dulu pantatnya. Tengku Husin, Kepala Sub Seksi Pemberantasan Penyelundupan Bea Cukai, juga menjadi sasaran. Untung para petugas pelabuhan lainnya sempat mengamankannya -- sampai kemarahan para inang mereda. Insiden seperti itu baru pertama kali ini terjadi. Tapi gejala kerusuhan sebenarnya sudah nampak sejak Januari lalu. Ketika itu ada pedagang mendatangi seorang petugas Bea Cukai di kantornya. Si petugas dicekik, karena dituduh menjadi biang-keladi tertangkapnya barang bawaan si pedagang. Akhirnya yang membuat onar itu dimasukkan sel polisi. Ketegangan seperti itu bukan hanya antara para pedagang dan petugas. Juga antara pedagang sendiri, biasanya berkelompok seperti sebuah sindikat, tak jarang pula timbul bentrokan keras. Januari 1980 lalu, misalnya, dua kelompok pedagang bertempur di tengah kota -- saling melempar bom molotov. Para petugas pelabuhan sebenarnya sudah mengenal betul pedagang atau inang-inang yang berlalu-lalang itu. "Mereka ya yang itu-itu juga," kata Kepala Pelabuhan Tanjungpinang, Hengky Supit. Berbelanja di Tanjungpinang, setiap Sabtu mereka ke Jakarta, setiap Rabu kembali. Tapi mengapa mereka tiba-tiba ngamuk? Sejak dua bulan terakhir ini pihak Bea Cukai Tanjungpinang memperketat pemeriksaan. Setiap penumpang hanya boleh membawa tiga potong barang tentengan. Selebihnya harus diperiksa. Akibatnya ribuan potong barang tentengan tak bisa lolos. Tindakan itu nampaknya merupakan lanjutan dari usaha pemberantasan penyelundupan dua tahun lalu. Sejak 1979 Operasi Halilintar menggeledah toko-toko yang memasarkan barang eks luarnegeri -- terutama dari Singapura -- tanpa dokumen. Lebih 20 toko disegel. Tapi belakangan kembali buka dan kembli memasarkan barang selundupan. Belakangan Bea-Cukai galak: tidak mau menerima tanda bukti hanya berupa faktur pembelian dari toko saja. Bea Cukai menghendaki PPUD alias pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai. Oleh sikap Bea Cukai tersebut, para pedagang dan inang-inang merasa dipersulit. "Lucu, kita beli barang dari toko tapi tak boleh dibawa," kata salah seorang inang. "Kalau barang itu dianggap hasil selundupan, mengapa tokonya tidak digerebek?" Tapi, sebenarnyalah, para pedagang atau inang itu hanya orang upahan belaka. Mereka pembawa barang, bekerja untuk pedagang yang lebih besar. Kalau barang tidak lolos, padahal biaya makan-minum dan penginapan sudah mereka terima di muka, 'kan berabe?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus