Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILIK itu cuma berukuran 1 x 1 meter persegi. Kecil saja. Di dalam bilik yang terbuat dari kayu tipis itu diletakkan sebuah meja dan kursi beserta setumpuk kertas dan alat tulis. Di dalam bilik inilah 332 siswa sekolah menengah atas dari 73 negara mengadu kemampuan dalam ilmu fisika. Ruang olahraga Universitas Sains dan Teknologi di Kota Pohang, Korea Selatan, sejak 14 hingga 22 Juli silam, mendapat tugas penting: menjadi tuan rumah Olimpiade Fisika Internasional XXXV.
Inilah tugas para peserta: menjawab tiga soal teori dan satu soal eksperimen yang telah disediakan di atas meja dalam bilik kecil setinggi 1,5 meter itu. Jika ada yang berhasil menjawab semuanya dengan benar, nilai yang didapat sempurna, yakni 50.
Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), yang menjadi salah satu peserta, mengirimkan lima wakilnya: Yudistira Virgus dan Ali Sucipto dari SMU Xaverius I Palembang, Edbert Jarvis Sie dari SMU Kristen I BPK Penabur Jakarta, Andika Putra dari SMU Sutomo I Medan, dan Ardiansyah, siswa SMU Plus Pekanbaru. Hasilnya luar biasa. Yudistira meraih medali emas, Edbert mendapat perak, Andika dan Ardiansyah mengantongi perunggu, sementara Ali mendapat penghargaan honourable mention, penghargaan khusus setingkat di bawah perunggu.
Yudis, panggilan akrab Yudistira, mencatat prestasi yang mengagumkan. Ia berhasil mendapat nilai 44,8. Itu berarti pria 18 tahun ini masuk lima besar peraih nilai tertinggi, di bawah peserta dari Belarus, Cina, Iran, dan Kanada. "Saya senang sekali, jerih payah saya tak sia-sia," katanya.
Perjalanan Yudis dan kawan-kawan untuk sampai ke Korea Selatan memang tak mudah. Mereka harus mengikuti berbagai seleksi sampai akhirnya terpilih menjadi wakil Indonesia untuk ikut serta dalam ajang olimpiade fisika tingkat Asia di Vietnam. Selama lima bulan, mulai November hingga April, mereka digembleng selama delapan jam sehari dengan soal-soal fisika oleh ahli fisika Yohanes Surya. Materinya pun bukan cuma materi pelajaran SMU, tapi juga bahan-bahan kuliah mahasiswa S-1 fisika.
Sayangnya, ketika bertanding di Vietnam pada 26 April hingga 4 Mei silam, mereka pulang dengan tangan hampa. Mereka tak memperoleh satu pun medali. "Kami gagal karena tegang. Takut kalah," kata Yudis memberikan alasan. Dengan kegagalan ini, Yudis dan teman-teman pun sempat kehilangan rasa percaya diri. "Yang paling kelihatan terpukul adalah Yudis," kata Yohanes, yang mendampingi para siswa ini saat bertanding di Vietnam.
Melihat kondisi itu, Yohanes tak tinggal diam. Ia terus memompa semangat bertanding anak-anak didiknya. Menurut dia, masih ada target lebih besar yang harus dicapai, yakni olimpiade fisika tingkat dunia. Khusus untuk Yudis, Yohanes sengaja memberinya sebuah buku tentang cara berpikir positif ketika gagal. "Saya suruh dia baca terus. Ketika hendak berangkat ke Korea, saya meminta dia membacanya di pesawat," tutur Yohanes.
Mulai akhir Mei hingga awal Juli, kelima siswa ini dilatih intensif untuk soal-soal teori dan eksperimen fisika. Selain diberi materi pelajaran mahasiswa S-1, mereka dilatih dengan soal-soal fisika tingkat lanjutan untuk mahasiswa S-2.
Yohanes memang sengaja memberi kelima siswa ini materi fisika lanjutan karena soal-soal dalam olimpiade itu tak bisa dikerjakan oleh orang sembarangan. Bahkan seorang doktor ilmu fisika pun belum tentu mampu. "Seorang doktor itu kan cuma menguasai satu masalah, sementara soal-soal dalam olimpiade fisika dunia ini mencakup banyak hal," tutur Yohanes. Jadi, yang bisa mengerjakannya hanyalah orang yang selalu melakukan latihan dan menguasai konsep fisika hingga ke dasarnya.
Kerja keras Yohanes tak sia-sia. Para siswa ini pulang dengan membawa prestasi yang membanggakan. Yudis, pemenang medali emas, mengaku senang dengan prestasinya. Ia sendiri tak menyangka. Sebab, selama di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, prestasi akademiknya biasa-biasa saja. Tak pernah sekali pun ia menjadi juara umum. Bahkan, ketika duduk di SMP Xaverius I Palembang, ia pernah mengajukan diri untuk ikut menjadi anggota tim lomba matematika mewakili sekolah, "Tapi saya tak terpilih," katanya.
Meski telah belajar fisika sejak duduk di bangku SMP, Yudis mengaku saat di SMP itu belum tertarik dengan fisika. "Karena sistem belajar saya dulu itu menghafal," katanya. Barulah ketika duduk di kelas 1 SMU Xaverius I Palembang, ia jatuh cinta pada fisika. "Ternyata fisika itu menyenangkan," katanya.
Menurut Yudis, lewat fisika, hal-hal rumit bisa dijelaskan dengan cara sederhana. "Misalnya, Hukum Newton itu kan cuma tiga, tapi bisa mengatur banyak hal," katanya. Dengan tiga postulat dalam Hukum Newton, semua masalah tentang mekanika dan gerak alam dapat dijelaskan. "Lihat, betapa menakjubkannya hukum itu," ujar Yudis.
Edbert, peraih medali perak, mengaku mulai tertarik pada fisika ketika ia duduk di bangku sekolah menengah umum. Awalnya, ia membeli buku Fisika itu Mudah tulisan Yohanes Surya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan gurunya. Dengan membaca buku itu, ternyata Edbert lebih bisa memahami fisika. "Wah, ternyata fisika itu tak terlalu sulit," kata Edbert.
Hal lain yang lebih menarik hati pria 19 tahun ini, buku tulisan Yohanes Surya itu juga bercerita soal TOFI dan alumninya. Di situ ditulis para alumni TOFI itu bisa kuliah di kampus-kampus ternama di dunia ini lewat program beasiswa. Lantas mulailah ia mempelajari fisika dengan tekun, dengan target ingin menjadi anggota TOFI. Dan semakin lama mempelajari fisika, ia menemukan kenyataan bahwa fisika itu memang mengasyikkan. "Tak perlu dihafal, cukup dimengerti saja, kita bisa mengerjakannya," kata Edbert.
Dengan penekanan pemahaman, bukan hafalan, tentu saja Yudis dan Edbert punya sikap kritis terhadap pelajaran yang mengharuskan mereka menghafal seperti banyak mata pelajaran di sekolah Indonesia. Kedua anak ini mengaku tak begitu suka dengan pelajaran sejarah karena selama ini mereka dituntut menghafal saja.
Jika sejarah berkisah tentang perang kerajaan, perebutan wilayah, dan strategi pertahanannya, menurut Yudis, otomatis nama-nama tokoh sejarah dan peristiwanya akan diingat. "Jadi, tak perlu kan menghafal nama-nama mereka?" tutur anak pertama dari tiga bersaudara ini. Karena sikapnya inilah, untuk pelajaran sejarah, nilai Yudis tak pernah lebih dari 7. Bandingkan dengan nilai pelajaran yang disukainya: fisika, kimia, dan matematika, yang selalu mendapat nilai 9.
Bagaimanapun, mulai Agustus tahun ini, Yudis sudah resmi bergabung dengan Institut Teknologi Bandung di jurusan fisika, sementara Edbert kuliah di Nanyang Technological University, Singapura, jurusan mechanical and production engineering.
Prestasi siswa Indonesia bukan dalam bidang fisika saja. Pada Olimpiade Matematika Internasional di Athena, Yunani, 13-18 Juli silam, Indonesia meraih satu medali perunggu dan tiga honourable mention, masing-masing oleh Hendra Suratno dari SMUK Karunia Jakarta, Ignatius Ivan Janatra dan Wahyu Perdana Yudistiawan dari SMU Kristen I BPK Penabur Jakarta, serta Andre Yohanes Wibisono dari SMUK St. Louis Surabaya.
Biologi pun tak ketinggalan. Dalam International Biology Olympiad (IBO) ke-15 di Brisbane, Australia, 11-18 Juli silam, empat pelajar Indonesia yang bertanding dalam ajang ini berhasil membawa pulang tiga perunggu. Ketiga medali itu didapat oleh Budi Christanto dari SMUN 2 Kediri, Mulyono, siswa SMUN 2 Pare, Kediri, dan Ni Komang Darmiastini dari SMUN 1 Singaraja, Bali. Cuma Ihsan Tria Pramanda dari SMUN 1 Padang Panjang yang tak pulang membawa medali.
Ni Komang Darmiastini, 18 tahun, mengaku sangat senang dengan keberhasilannya itu. "Soalnya, saya tidak menyangka bakal mendapat medali," kata wanita yang tengah bersiap masuk Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, ini. Para siswa ini memang rendah hati. Jawaban mereka hampir seragam: mereka tak menyangka akan mendapat medali. Tapi, jika dilihat dari perjuangannya, rasanya ganjaran medali itu sepadan.
Rian Suryalibrata, Made Mustika (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo