Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelak dunia akan mengenal anak-anak muda Indonesia dari dua "bilik". "Bilik" pertama bernama AFI (Akademi Fantasi Indosiar) dan Indonesian Idol, yang berisi sekumpulan remaja yang belajar memasuki sebuah dunia musik dan hiburan.
"Bilik" kedua bernama TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia), yang antara lain berisi Yudistira Virgus, yang baru saja menggondol medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional XXXV di Pohang, Korea Selatan, dua pekan silam (baca rubrik Pendidikan).
Seperti para remaja AFI atau Indonesian Idol, para peserta TOFI dikarantinakan?di bawah gemblengan ahli fisika Yohanes Surya. Bedanya, sementara remaja AFI mengalami karantina selama hampir tiga bulan, siswa TOFI digembleng di "asrama" (sebuah rumah-toko sederhana di kawasan Gading Serpong) selama dua tahun dengan uang makan Rp 30 ribu sehari. Sementara anak-anak AFI memulai hari dengan olah tubuh dan kelas vokal, anak-anak TOFI memulai hari dengan memasuki laboratorium dan menggeber semua teori fisika sembari mendengarkan musik klasik.
Kedua "bilik" ini, dengan berbagai turunan dan tanjakan yang dialami penghuni biliknya, kelak menjadi kebanggaan Indonesia. Yang satu melalui sebuah dunia yang glamor, penuh warna, riuh rendah. Bilik yang lain, meski sudah berkali-kali diisi dengan medali emas, perak, dan perunggu, sampai hari ini masih menjadi bilik yang kering, sunyi, sederhana, dan hanya menghiasi beberapa pojok media massa saat mereka meraih kemenangan.
Tentu saja menyaksikan Tia-AFI atau Delon (Indonesian Idol) lengkap dengan sinar lampu ribuan watt lebih wow daripada menyaksikan seorang Yudistira Virgus menjelaskan analisis gerakan bola yang dihubungkan oleh dua pegas dalam suatu tabung tertutup.
Ini memang dua dunia yang berbeda. Tapi, meski kering dan rumit, ada baiknya "bilik" milik Yudistira mendapatkan apresiasi yang lebih banyak. Memang benar, Departemen Pendidikan Nasional telah mengganjar peraih medali emas dengan uang Rp 7,5 juta. Kegiatan TOFI juga mendapat suntikan dana dari departemen ini dalam jumlah yang cukup lumayan, meski TOFI tetap harus mencari sekitar 30 persen dari pihak swasta. Majalah ini menganjurkan kepada pemerintah berikutnya agar anggaran pendidikan, terutama bagi kegiatan penting seperti ini, menjadi perhatian. Jangan sampai ada kesan, yang memperhatikan (dan menjaring) anak-anak cerdas ini hanyalah berbagai universitas di luar negeri dengan membebaskan mereka dari tes masuk, uang kuliah, dan uang pondokan.
Beberapa alumni TOFI sudah beredar di luar negeri, termasuk Halim Kusumaatmaja, yang tahun ini menjadi sarjana fisika dengan penghargaan tertinggi di Leicester University. Masih ada puluhan alumni TOFI yang tersebar di perguruan tinggi top di semua penjuru dunia. Tapi seorang Yudistira, yang siap direngkuh oleh universitas terkemuka, Massachusetts Institute of Technology, AS, memilih menempuh pendidikan S-1 fisika di Institut Teknologi Bandung. Di Bandung dia tetap wajib ikut tes khusus (dan tetap membayar uang kuliah, plus uang pondokan). Dunia Yudistira dan kawan-kawan cemerlangnya sungguh jauh dan sunyi dari riuh rendahnya yel-yel masyarakat penggila AFI.
Bagaimanapun, Yohanes Surya dan TOFI-nya serta berbagai lembaga lain yang sibuk mengirim anak-anak kita ke Olimpiade Biologi (Australia), Matematika (Yunani), Kimia (Jerman), dan Astronomi (Ukraina) sudah waktunya mendapat sorotan serta dukungan moral dan finansial dari masyarakat, media, dan terutama dari pemerintah?termasuk para calon presiden yang menyempatkan diri bernyanyi bersama pengisi bilik AFI itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo