Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto berniat membeli pesawat F-35 buatan Amerika.
Rencana pengadaan pesawat lain, seperti F-16 Viper dan Sukhoi Su-35, menjadi tertunda.
Prabowo juga menjajaki pembelian Eurofighter bekas dari Austria.
LEBIH dari dua pekan berlalu, teka-teki pertemuan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark T. Esper pada 16 Oktober lalu dijawab oleh Muhammad Lutfi. Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika itu menyebutkan salah satu agenda pertemuan Prabowo dan Esper adalah membicarakan rencana pembelian pesawat tempur F-35.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggelar konferensi pers pada Senin, 2 November lalu, Lutfi menyampaikan kabar Indonesia belum bisa mendapatkan jet tempur generasi kelima buatan Lockheed Martin tersebut. “Ada platform yang mesti kita kerjakan untuk bisa mendapatkan generasi ke-5, seperti mendapatkan generasi ke-4 dan 4,5,” kata Lutfi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Menteri Perdagangan itu memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk mendatangkan F-35 ke Tanah Air bisa mencapai sembilan tahun. Berbeda dengan Lutfi, Departemen Pertahanan Amerika tak eksplisit menyebutkan soal rencana pembelian F-35. Dalam pernyataan resminya, departemen itu menyatakan pembicaraan antara Prabowo dan Esper terkait dengan kerja sama pertahanan dua negara.
Prabowo berkunjung ke Amerika atas undangan Mark Esper. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya itu datang bersama Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Mayor Jenderal Rodon Pedrason, Kepala Badan Sarana Pertahanan Mayor Jenderal Budi Prijono, dan Asisten Perencanaan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Marsekal Muda Andyawan Martono. Ikut pula dalam rombongan itu dua politikus Gerindra, yaitu anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Sugiono, dan anggota Dewan Pembina Gerindra, Glenny Kairupan.
Penandatanganan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Amerika Serikat yag diwakili Menhan Prabowo Subianto dan Menhan Amerika Serikat Mark T Eseper, di Washington, Amerika Serikat, 19 Oktober 2020. Dokumentasi KBRI Washington DC
Seorang bawahan Prabowo yang mengetahui pertemuan bosnya dengan pejabat di Amerika mengatakan bahwa salah satu tema yang dibahas adalah sikap Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan Cina. Selain itu, Prabowo menyampaikan keinginan Indonesia memiliki F-35. Sumber yang sama menyatakan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu sempat mempertanyakan alasan Amerika tak membolehkan Indonesia memiliki F-35. Padahal negara tetangga, Singapura, akan memiliki empat unit pesawat itu pada 2026.
Sumber yang sama menyebutkan pemerintah Amerika menawarkan pembelian F-16 Blok 72 Viper, varian terbaru dari F-16 yang belum dimiliki Indonesia, juga radar udara. Duta Besar Muhammad Lutfi mengatakan Amerika menawarkan F-16 C/D Blok 32 tanpa harus reservasi, sebagai pengganti F-16 versi AB yang dimiliki TNI Angkatan Udara. “F-16 kita versi AB ini tua sekali. Kalau enggak salah tahun 1990-an,” ujar Lutfi.
Tanpa persetujuan dari Departemen Pertahanan Amerika, niat Prabowo membeli F-35 pun besar kemungkinan kandas. Ketua Harian Perhimpunan Industri Pertahanan Nasional Mayor Jenderal (Purnawirawan) Jan Pieter Ate mengatakan jalur pembelian F-35 sangat panjang. Penyebabnya, tipe itu merupakan produk hasil konsorsium Joint Strike Fighter (JSF), yang beranggota antara lain Inggris, Australia, Belanda, Turki, Denmark, Norwegia, dan Italia. Mantan Direktur Kerja Sama Internasional Kementerian Pertahanan ini mengatakan jet itu hanya akan dijual kepada negara yang dianggap aliansi JSF. “Produk ini tidak bisa dibeli meskipun kita memiliki uang,” kata Pieter.
Kementerian Pertahanan belum memberikan tanggapan soal rencana pembelian F-35. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Djoko Purwanto meminta Tempo menanyakan informasi tersebut kepada juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak. Adapun Dahnil tak menjawab sejumlah pertanyaan tertulis yang diajukan Tempo. “Saya di luar kota sampai pekan depan,” ucap Dahnil.
•••
RENCANA pembelian F-35 sesungguhnya tidak masuk rencana strategis pertahanan 2014-2019 dan 2019-2024. Justru Indonesia berniat membeli F-16 Blok 72 Viper. Pada 28 Oktober 2019, Kepala Staf TNI Angkatan Udara saat itu, Marsekal Yuyu Sutisna, mengatakan ada dua skuadron Viper yang didatangkan ke Indonesia pada 2020. Pernyataan itu disampaikan lima hari setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai Menteri Pertahanan. Indonesia sendiri sudah memiliki 33 unit F-16 Falcon.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal (Purnawirawan) Agus Supriatna, dan eks Sekretaris Jenderal Pertahanan, Marsekal Madya (Purnawirawan) Hadiyan Sumintaatmadja, juga mengatakan rencana pengadaan F-35 tak pernah ada karena hampir mustahil terbeli. Hadiyan menyatakan Indonesia berencana mendatangkan Sukhoi Su-35 buatan Rusia. Kontrak dengan Rusia juga sudah efektif per Juni 2018. Berlakunya kontrak ini mengindikasikan bahwa pembeli sudah memiliki anggaran dan produsen bisa memproduksi pesawat. Jika mengikuti rencana itu, seharusnya sebelas Su-35 sudah datang pada 2020 ini.
Namun rencana mendatangkan Su-35 dan F-16 Viper meredup. Sejumlah sumber di Komisi Pertahanan DPR dan Kementerian Pertahanan yang ditemui Tempo mengatakan Prabowo lebih berminat membeli F-35 karena kecanggihannya. Pesawat itu, misalnya, memiliki mode siluman yang membuatnya tak terdeteksi radar. F-35 pun dianggap memberikan efek gentar kepada negara tetangga. Menurut mereka, pembelian F-35 juga terkait dengan rencana Prabowo “bersih-bersih” di Kementerian Pertahanan dan memilih alat utama sistem persenjataan atau alutsista sesuai dengan keinginannya.
Rencana membeli Su-35 juga mendapat hambatan dari Amerika Serikat. Hadiyan Sumintaatmadja mengatakan, pada 2018, utusan Departemen Pertahanan Abang Sam mendatanginya dan mempertanyakan alasan Indonesia membeli Sukhoi. “Saya menjawab rencana itu sudah dikaji oleh internal TNI Angkatan Udara,” katanya. Menurut Hadiyan, Amerika melarang pembayaran Su-35 menggunakan dolar Amerika. Di luar itu, dia menengarai ada kendala imbal dagang, yakni komoditas yang diminta Rusia belum bisa dipenuhi Indonesia. “Ada juga pertimbangan politik internasional,” tutur Hadiyan.
Pada 28 Januari lalu, Prabowo bertemu dengan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu di Moskow. Enam bulan berselang, Prabowo kembali terbang ke Rusia untuk menghadiri Parade Ulang Tahun Ke-75 Kemenangan Rusia terhadap Jerman dalam Perang Dunia II 1941-1945. Dalam kunjungan kali ini, dia menemui Wakil Menteri Pertahanan Rusia Colonel General Alexander Formin. Duta Besar RI untuk Rusia kala itu, Wahid Supriyadi, mengatakan pertemuan tersebut tak secara khusus membahas rencana pembelian Sukhoi. “Rusia memahami posisi Indonesia,” kata Wahid.
•••
SETELAH menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto kerap bersafari ke sejumlah negara untuk menjajaki pembelian alutsista. Pada November-Desember 2019, misalnya, dia berturut-turut mengunjungi Turki, Cina, Jepang, dan Filipina. Awal tahun ini, Prabowo terbang menemui Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly.
Seusai berbagai kunjungan itu, Prabowo mengajukan proposal untuk mendapatkan utang luar negeri sebesar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 291 triliun kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa pada 13 Juli lalu. Utang itu untuk membeli alutsista di tiga matra TNI selama lima tahun. Dalam rencana anggaran 2021, anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp 137,3 triliun, naik dibanding 2020 sebesar Rp 117,9 triliun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsdya TNI Donny Ermawan Taufanto dan juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, belum menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo. Adapun Suharso menolak memberi informasi. “Itu strictly confidential,” ujarnya.
Tiga hari sebelum surat itu dikirimkan, Prabowo melayangkan surat kepada Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner. Dalam suratnya, Prabowo mengutarakan niatnya membeli 15 Eurofighter Typhoon untuk TNI Angkatan Udara. Ia pun memberi perhatian pada isu sensitif pembelian Eurofighter. Di Austria, pembelian pesawat itu menjadi skandal yang menyeret pejabat negara tersebut karena harga dan biaya operasinya dianggap terlalu mahal. “Saya yakin proposal yang saya ajukan menawarkan perubahan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak,” tulis Prabowo.
Rencana itu mengundang kritik dari berbagai kalangan karena tak masuk rencana pengadaan alutsista. Anggota Komisi Pertahanan DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, mengatakan pemerintah harus menanggung biaya perawatan Rp 6,5 triliun per tahun. Sedangkan pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengatakan pembelian itu bakal bermasalah karena tak ada transfer teknologi yang diterima Indonesia. Selain itu, Connie menilai rencana tersebut menunjukkan ketidakjelasan peta jalan atau road map pengadaan alutsista. “Seharusnya pengadaan alutsista disesuaikan dengan doktrin pertahanan kita, tidak ujuk-ujuk membeli alat bekas yang tidak ada dalam perencanaan,” kata Connie.
Pada 20 Oktober lalu, selepas dari Amerika, Prabowo melawat ke Austria dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Klaudia Tanner. Duta Besar Republik Indonesia untuk Austria, Darmansyah Djumala, ikut mendampingi Prabowo dan anggota Komisi Pertahanan DPR dari Gerindra, Sugiono, dalam pertemuan itu. “Kami diminta memfasilitasi pertemuan itu,” ujar Darmansyah.
Media setempat, Krone Zeitung, melaporkan Menteri Pertahanan Klaudia Tanner menyatakan pertemuan itu menjadi yang perdana dengan Prabowo. “Ini langkah permulaan untuk diskusi pada level teknis,” kata Tanner. Media Austria, Der Standard, menceritakan pertemuan itu hanya berlangsung selama satu jam dari rencana dua jam. Seusai pertemuan, tulis Der Standard, hanya ada sebuah rilis kering. Tidak ada jabat tangan di antara kedua belah pihak di depan kamera.
WAYAN AGUS PURNOMO, HUSSEIN ABRI YUSUF
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo