Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti lintas ilmu berhasil mengidentifikasi 23 spesies mamalia yang terpahat di relief Lalitavistara Candi Borobudur.
Kehadiran fauna mamalia dalam cerita perjalanan hidup Sang Buddha Gautama itu memberikan informasi lebih rinci mengenai waktu dan lokasi kejadian.
Peneliti menggunakan acuan karakter morfologi, habitat, dan perilaku fauna yang terpahat dalam relief Lalitavistara yang memiliki 120 panel adegan.
RUSDIANTO tak berkedip menatap detail tatahan imaji fauna pada panel relief Lalitavistara di lorong tingkat pertama Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Peneliti dari Museum Zoologicum Bogoriense pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengagumi kehebatan para pemahat relief cerita perjalanan hidup Buddha Gautama tersebut. “Selain memahami aspek seni, mereka seperti ahli taksonomi karena paham karakter morfologi hewan yang digambarkan,” ucap Rusdianto di kantornya di Cibinong, Jawa Barat, Kamis, 15 Oktober lalu.
Tidak hanya tahu tentang ilmu penggolongan atau sistematika makhluk hidup, para pemahat itu, kata Rusdianto, sepertinya mafhum akan habitat setiap jenis fauna tersebut, seperti layaknya ahli ekologi. “Ketika hendak menceritakan Bodhisattwa bertapa di hutan, maka ia munculkan kijang muncak yang habitat aslinya adalah hutan belantara,” ujar Rusdianto.
Begitu pula saat sang pemahat ingin menggambarkan Sang Buddha yang akan menyeberangi Sungai Gangga. “Di situ dimunculkan mamalia pemakan ikan, yakni sero ambrang alias berang-berang cakar kecil,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh gambaran daru hasil Analisa Keberadaan Spesies Mamalia di Lima Babak Cerita Relief Lativasistara, kotak kuning menunjukan keberadaan kuda ternak./Jurnal Biologi Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2018, Rusdianto dan peneliti lintas disiplin telah mengkaji fauna apa saja yang terpahat dalam panel-panel relief Lalitavistara Candi Borobudur itu. Mereka berfokus pada satwa kelas mamalia karena paling banyak digambarkan dalam relief Lalitavistara, selain kelas burung. Hasil penelitian Rusdianto dan tim dituliskan dalam makalah berjudul “Analisis Keberadaan Spesies Mamalia di Lima Babak Cerita Relief Lalitavistara Candi Borobudur” yang dipublikasikan di Jurnal Biologi Indonesia edisi September lalu.
Menurut Ibnu Maryanto, yang menulis makalah bersama Rusdianto, penelitian mereka berhasil mengidentifikasi binatang mamalia sampai tingkat jenis atau spesies. “Ada 23 spesies dengan jumlah individunya mencapai 131 ekor. Yang paling sering digambarkan itu adalah kuda ternak dan gajah Jawa,” ujar Ibnu, yang juga peneliti pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, dengan spesialisasi tikus dan kelelawar. Adapun mamalia yang hanya sekali muncul di relief, kata Ibnu, adalah kerbau ternak, anjing kampung, tikus hutan, linsang, dan garangan Jawa.
Semua spesies yang teridentifikasi di relief Lalitavistara itu, menurut Ibnu, merupakan mamalia yang ada di Jawa, kecuali singa Asia (Panthera leo persica). Meskipun satwa-satwa itu merupakan fauna yang hidup pada masa pembuatan Candi Borobudur, kira-kira pada abad ke-8 Masehi, menurut Ibnu, semuanya masih ada sampai saat ini, kecuali gajah Jawa (Elephas maximus borneensis). “Gajah Jawa sudah punah. Gajah Jawa masih ada pada masa Hayam Wuruk berkuasa di abad ke-14. Gajah menjadi tunggangan raja kala itu,” ujar penyusun Checklist of The Mammals of Indonesia Third Edition itu.
Rusdianto menjelaskan proses identifikasi spesies-spesies mamalia pada relief Lalitavistara itu dimulai dengan pengamatan langsung. Tim peneliti lalu memfoto setiap panel. Ada 120 panel adegan di relief cerita Lalitavistara itu. Mereka juga meminta file-file foto kepada Balai Konservasi Borobudur karena panel sudah banyak yang terkikis karena bebatuannya telah rusak. “File foto dokumentasi milik Balai Konservasi Borobudur juga sudah diurutkan menurut lokasi per bagian,” ujar Rusdianto.
Karakter morfologi dan proporsi menjadi acuan utama tim peneliti dalam mengidentifikasi satwa sampai tingkat spesies. “Di sinilah tantangannya. Biasanya dalam identifikasi itu satwanya ada, bisa dipegang dan bisa difoto. Tapi ini kami hanya menggunakan media dua dimensi dan tidak berwarna. Jadi kami menerka-nerka dengan berbekal ilmu taksonomi,” ucap Rusdianto. “Misalnya membedakan harimau loreng dengan macan tutul, kami melihat karakter morfologi yang paling menonjol, yaitu ekor. Ekor harimau loreng lebih panjang dari macan tutul.”
Contoh relief dari hasil Analisa Keberadaan Spesies Mamalia di Lima Babak Cerita Relief Lativasistara, Garangan Jawa (segitiga kuning), Gajah Jawa (lingkaran kuning), Lutung Budeng (persegi kuning)./Jurnal Biologi Indonesia
Ibnu menambahkan, identifikasi spesies juga menggunakan pendekatan habitat dan perilaku. Ia mencontohkan cara timnya menentukan spesies yang tepat antara kijang muncak (Muntiacus muntjak), rusa Timor (Rusa timorensis), dan pelanduk peucang alias kancil (Tragulus javanicus) berdasarkan habitatnya. “Rusa Timor cenderung hidup di tempat terbuka seperti sabana, juga dekat dengan permukiman karena dia cukup mudah dibudidayakan. Sementara itu, kijang muncak dan kancil itu hidupnya di hutan,” ucap Ibnu. “Untuk membedakan kijang dengan kancil, kami melihat perilakunya. Kancil itu kalau ada orang akan menjauh dan dia suka mengintip.”
Perilaku fauna dan pemilihan jenis fauna yang digambar secara detail oleh pemahat relief Lalitavistara, kata Rusdianto, juga dapat memberikan informasi tambahan mengenai adegan yang terjadi. Hal tersebut adalah waktu terjadinya dan lokasi kejadiannya. “Kerbau atau kelinci duduk di bawah pohon maka terjadi pada siang hari saat hewan-hewan itu sedang beristirahat. Monyet kra bergelantungan mencari makan maka terjadinya di siang atau sore hari ketika mereka sedang aktif mencari makan pada kondisi alaminya,” ucap Rudianto.
Rusdianto dan tim menyimpulkan ada empat alasan para pemahat memunculkan fauna mamalia dalam cerita relief Lalitavistara tersebut. Pertama, mamalia sebagai pembangun habitat tempat kejadian. Kedua, perilaku mamalia menunjukkan kapan terjadinya adegan tersebut. Ketiga, sebagai ragam hias, misalnya pahatan singa Asia di tugu atau singgasana raja yang melambangkan fauna itu sebagai pelindung raja. Kemudian, keempat, mamalia sebagai moda transportasi atau tunggangan perang pada masa itu.
Penelitian identifikasi spesies mamalia ini juga melibatkan peneliti antropologi, Aris Arif Mundayat, dari Universitas Sebelas Maret Surakarta; peneliti arkeologi, Hari Setyawan, dari Balai Konservasi Borobudur; dan ahli seni bahasa rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Pindi Setiawan. Rusdianto mengaku kolaborasi ini sangat bagus untuk saling melengkapi. “Jadi panel yang terceritakan dari sisi arkeologi, antropologi, atau dari seni bahasa rupa saja bisa kami tambahkan dari sisi taksonomi mamalia. Begitu pun kami tidak tahu apa makna mamalia tersebut kalau tidak diberikan informasi dari cerita utuhnya,” tutur Rusdianto.
Menurut Hari Setyawan, dari penelitian identifikasi spesies mamalia di relief cerita Lalitavistara ini terungkap bahwa para pemahat relief itu sungguh luar biasa. Mereka bisa menentukan hewan dan tumbuhan sampai tingkat spesies. “Artinya apa? Manusia zaman dulu sudah sangat memahami karakter tiap spesies yang dia pahatkan. Ternyata ilmu pengetahuan hayati mereka sudah mencapai puncaknya,” kata Hari.
Wisatawan mengamati relief yang berada di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Juni 2018./Dok TEMPO/Abdi Purmono
Adapun Aris Arif Mundayat merasa terkesan atas penggambaran lingkungan perdesaan yang direpresentasikan melalui pohon jati. Menurut Aris, pohon jati itu merupakan gambaran dari lingkungan masyarakat miskin khas Nusantara karena pohon jati biasanya tumbuh di lahan tandus. “Demikian pula dengan aneka satwa. Postur gajahnya serupa dengan gajah lokal dengan tubuh yang tanggung. Ada pula rusa yang mirip dengan yang biasa hidup di daerah Timor,” tuturnya.
Dalam bayangan Pindi Setiawan, para pemahat relief itu lebih dulu mengobservasi atau mewawancarai orang-orang yang pernah mengamati flora dan fauna di hutan. “Artinya relief cerita di Candi Borobudur ini dipersiapkan dengan serius, baik secara ilmiah maupun estetis. Pada masa itu mungkin sudah ada kajian tentang bentuk-bentuk binatang hutan. Bahkan mungkin sudah ada studi perilaku satwa,” ujar Pindi.
Rusdianto berharap hasil penelitian ini dapat memperkaya cerita perjalanan kehidupan Sang Buddha Gautama dalam wisata edukasi Candi Borobudur. “Kami melakukan diskusi dengan pengelola Candi Borobudur. Jika publikasi itu bisa sampai ke pemandu-pemandu wisata di lapangan, mereka dapat menceritakan lebih detail kepada pengunjung mengenai informasi baru dari hasil penelitian ini,” tutur Rusdianto.
DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), A. RAFIQ (SURAKARTA)
Membaca Fauna Lalitavistara
Pindi Setiawan dari Program Studi Komunikasi Visual dan Multimedia Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung mengaku baru mengetahui bahwa aneka fauna yang terpahat di relief cerita Lalitavistara Candi Borobudur merupakan kode komunikasi. “Sebelumnya kita menganggap (satwa) itu hanya imaji yang interpretasinya bebas. Kalau kode itu sifatnya terikat,” kata Pindi saat ditemui pada Rabu, 4 November lalu. Menurut Pindi, dari kehadiran satwa-satwa tersebut, kita menjadi tahu apakah saat itu siang ataukah malam, di tengah hutan, atau dalam istana, dan apakah itu binatang gaib atau bukan?
Penelitian Pindi bersama peneliti Museum Zoologicum Bogoriense pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan banyak kebaruan dalam relief cerita Lalitavistara. “Banyak sekali kebaruan, terutama kode tempat dan waktu dengan sangat presisi. Dulu cerita Lalitavistara berdasarkan teks hanya menyebutkan Buddha pergi ke suatu tempat bertemu pendeta yang terkenal kebijakannya. Dari relief kita jadi tahu kalau Buddha perginya siang dan sampainya malam karena ada binatang siang dan ada binatang malam,” ujarnya.
Jenis Mamalia Lalitavistara
1 Monyet kra (Macaca fascicularis)
2 Lutung budeng (Trachypithecus auratus)
3 Anjing kampung (Canis lupus familiaris)
4 Sero ambrang (Aonyx cinereus)
5 Binturung muntu (Arctictis binturong )
6 Linsang (Prionodon linsang)
7 Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus)
8 Garangan Jawa (Herpestes javanicus)
9 Singa Asia (Panthera leo persica)
10 Harimau loreng (Panthera tigris)
11 Gajah Jawa (Elephas maximus borneensis)
12 Kuda ternak (Equus caballus)
13 Babi celeng (Sus scrofa)
14 Pelanduk peucang (Tragulus javanicus)
15 Kijang muncak (Muntiacus muntjak)
16 Rusa Timor (Rusa timorensis)
17 Kerbau ternak (Bubalus bubalis)
18 Tenggiling peusing (Manis javanica)
19 Bajing hitam (Callosciurus nigrovittatus)
20 Bajing kelapa (Callosciurus notatus)
21 Jelarang hitam (Ratufa bicolor)
22 Tikus hutan (Rattus sp)
23 Kelinci tengkuk cokelat (Lepus nigricollis)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo