Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MK Hapus Ambang Batas Presiden, Perludem dan CSIS Sebut Dominasi Koalisi Pilpres Perlu Diatur

Perludem menilai MK saat menghapus ambang batas presiden juga mengamanatkan parpol dapat berkoalisi sepanjang koalisi itu tak menyebabkan dominasi.

7 Januari 2025 | 16.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan dominasi koalisi pada pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara proporsional. Dia menilai aturan dominasi yang rasional itu penting setelah Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan ambang batas presiden atau presidential threshold.

Khoirunnisa menuturkan MK dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden juga mengamanatkan partai politik dapat berkoalisi sepanjang koalisi tersebut tidak menyebabkan dominasi.

Menurut dia, dapat dikatakan sebetulnya MK menyarankan perlu ada ambang batas maksimal koalisinya, supaya tidak menjadi koalisi yang dominan.

“Dalam merumuskan angka, misalnya dalam bentuk persentase, itu juga kita perlu dorong agar pembentuk undang-undang ini juga berdasarkan hitung-hitungan yang rasional,” kata Ninis, sapaan akrabnya, dalam webinar yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Hal serupa diungkapkan Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes. Menurut dia, pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan agar tidak terjadi koalisi dominan, sebagaimana amanat putusan MK.

“MK concern (perhatian) betul bahwa batasan koalisi itu harus diatur sehingga tidak terjadi adanya koalisi yang dominan karena menurut MK, kalau terjadi dominasi koalisi itu akan membatasi pilihan masyarakat dalam pemilu,” ucapnya pada kesempatan yang sama.

Menurut Arya, pengaturan agar tidak terjadi koalisi dominan terbilang rumit dan kompleks, karena pembentuk undang-undang perlu merumuskan definisi dari dominasi suatu koalisi partai politik.

“Kerumitan yang pertama adalah apa yang disebut dengan dominasi itu. Berapa ukurannya? Apakah dominasi itu ukurannya lebih dari 50 persen? Ataukah dominasi itu ukurannya lebih dari 2/3 atau 1/3 atau apa? Bagaimana, apa yang dimaksud dengan dominasi itu?” kata dia.

Sebelumnya, pada Kamis, 2 Januari 2025, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

MK menyatakan ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Lima Pedoman Rekayasa Konstitusional dari MK

Pada pertimbangan hukumnya, MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus ketentuan ambang batas presiden.

Hakim MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut,” kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah, pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Tanggapan PDIP Soal Rencana Arab Saudi Larang Jemaah Usia 90 Tahun ke Atas Berangkat Haji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus