Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Moguratataki dari kemayoran

Pembangunan gedung Jakarta International Trade Fair (JITF) di Kemayoran hampir selesai. pemilik JITF adalah perusahaan patungan Jepang-Indonesia. Indonesia menguasai saham 52,5% lewat PT JNP.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGKANLAH sebuah kota yang sungguh ideal. Jalanjalannya lebar tanpa macet, karena di tiap titik persimpangan dibangun jalan layang. Penduduknya juga tak usah berkendaraan terlalu jauh setiap hari, karena tempat kerja mereka di situsitu juga letaknya. Kota itu juga menjadi pusat beredarnya uang, karena menjadi pusat perdagangan ekspor dan impor. Hawanya segar bak di gunung, karena polusi asap kendaraan semuanya diserap habis pohon rimbun di hutan kota. Fasilitas hiburan, jangan tanya, lengkap. Begitulah kira-kira gambaran sebuah kota baru yang akan muncul di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta. Areal seluas 450 hektare di situ, kira-kira lima kali luas Taman Mini Indonesia Indah, akan diubah menjadi sebuah kota kecil dalam jangka waktu 13 tahun sejak dibangun pertama kali pada 1990. Konsep yang disusun Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK), yang dipimpin Menteri Sekretaris Merdiono, itu adalah new town in town atau "Kota Baru Bandar Kemayoran". Bagi Pemerintah DKI Jakarta, pembangunan kota baru Kemayoran bukanlah sekadar memanfaatkan sebuah lahan luas di lokasi strategis. Pembangunan ini mempunyai arti penting dalam menyeimbangkan pertumbuhan Jakarta yang selama ini sudah dinilai melenceng. Menurut Ir. Hindro Tjahjono, ketua Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Proyek Kemayoran, "Pembangunan kota baru ini penting untuk mengurangi pertumbuhan ke arah selatan." Kawasan selatan Jakarta, yang mestinya digunakan untuk daerah hijau dan penyerap air, belakangan ini memang sudah dirambah habis-habisan oleh warga Jakarta yang rakus akan lahan perumahan. Untuk itulah apa yang akan dibangun di Kemayoran ini diupayakan mampu menarik peminat. Salah satunya adalah lingkungan yang segar. Maka, 23% atau sekitar 106 hektare dari seluruh areal akan diubah menjadi hutan kota yang dilengkapi dengan waduk buatan dan sarana olahraga. Jalan-jalan juga akan dibuat senyaman mungkin. Itu sebabnya sekitar 137 hektare (31%) lahan akan termakan untuk jalan, trotoar, dan saluran. Panjang jalan diperkirakan 35 kilometer, terdiri dari jalan arteri utama, sekunder, kolektor, sampai ke jalan lingkungan. Suasana ini diharapkan dapat menarik minat warga Jakarta untuk berdiam di situ. Maka, tak kurang dari 30 ribu unit rumah dari kelas bawah sampai kondominium mewah akan dibangun di atas tanah seluas 88 hektare (19%). Rumah bertingkat sederhana, yang konon merupakan rumah susun Perumnas pertama yang dilengkapi dengan lift, sebanyak 16.600 unit di atas tanah 30 hektare. "Itu untuk menampung yang daya belinya rendah," kata Soeprapto, Sekretaris BPKK kepada TEMPO. Bagian rumah susun ini telah diresmikan Presiden Soeharto beberapa waktu lalu. Untuk kelas menengah akan dibangun 10.000 buah dan kondominium mewah yang saat ini juga menjamur di Jakarta akan dibuat 3.000 lebih. Perumahan sebanyak itu tampaknya tak akan terlalu sulit terjual. Banyak fasilitas bisnis akan dibangun yang tentunya pekerjanya perlu rumah di situ. Pusat perkantoran, perdagangan, dan bisnis seluas 122 hektare (26%) akan berdiri di sana. Di dalam areal ini akan berdiri dua hotel, satu berbintang tiga dan satu lagi berbintang empat. Di kawasan bisnis ini tampaknya segala usaha bakal dapat dilakukan. Pusatnya adalah pencakar langit raksasa kembar, yang masing-masing terdiri dari 32 lantai. Inilah yang nantinya disebut sebagai Indonesian International Trade Centre atau IITC, yang dirancang sedemikian rupa sehingga bisa melayani businessman dari seluruh dunia. Istilah keren IITC adalah one stop service. Sebagian besar dari semua itu memang masih rencana raksasa jangka panjang yang baru akan komplet tahun 2004. Satu lagi yang juga sudah mendekati penyelesaian adalah arena pameran kelas dunia yang disebut Jakarta International Trade Fair (JITF). JITF inilah yang sebenarnya pindahan dari Arena Promosi dan Hiburan Jakarta alias APHJ, yang kini terletak di kawasan Monumen Nasional dan kondang sekali dengan julukan Arena Jakarta Fair. Di Kemayoran, tentu saja semuanya akan lebih hebat. Ada dua gedung, yang satu berlantai enam dan satu lagi enam belas lantai. Yang berlantai enam bulan Juni 1992 ini sudah mulai dioperasikan sebagai tempat promosi perdagangan. Pembangunan gedung JITF inilah yang kini menjadi santapan pers Jepang di negaranya sebagai suatu skandal. Pemilik JITF adalah perusahaan patungan Jepang-Indonesia, yakni Jakarta Trade Fair Corporation atau JITC. Indonesia menguasai 52,5 persen saham JITC lewat PT Jaya Nusa Pradana (JNP), sebuah konsorsium perusahaan swasta di Jakarta yang dibentuk oleh Gubernur Wiyogo. Saham sebesar itu dibagi antara Yayasan Pekan Raya Jakarta 25% dan PT Griya Nusantara Pradana 75%, yang di dalamnya termasuk PT Summa. Presiden Direktur JNP itu adalah Mohammad S. Hidayat, ketua Real Estate Indonesia. Dari Jepang pemilik JITC adalah Jakarta Development Corporation dengan saham 42,5%. Saham terbesar dipegang OECF sebesar 25%, selebihnya adalah patungan 18 perusahaan dan industri di Jepang, antara lain Bank of Japan, Shimizu Corp., sebuah perusahaan konstruksi ternama, Nisho Iwai, salah satu Sogo Shosha top, Far East Oil Trading, yang menjadi penyalur minyak Indonesia di Jepang, dan Konan Tsusho alias Konan Trading. Yang terakhir inilah yang disebut-sebut mempunyai hubungan erat dengan Michio Watanabe. Sementara itu, Badan Pengelola Kompleks Kemayoran mempunyai andil 5%. Dihitung secara ekonomis, memang pantas banyak orang ngiler pada proyek ini. Tahun pertama saja diproyeksikan sudah ada keuntungan masuk. Begitu JITF dibuka Juni nanti akan diadakan Jakarta Expo yang akan berlangsung selama empat bulan dan diperkirakan menyedot 7 juta orang. Expo inilah yang akan menjadi andalan utama untuk menambang keuntungan. Di atas kertas, sampai akhir tahun pertama pengoperasian, JITC akan menarik keuntungan bersih setelah dipotong pajak, penyusutan dan cicilan utang sekitar 705 juta yen atau sekitar Rp 10 milyar. Ketika mendengar rencana pemindahan Jakarta Fair ke Kamayoran, ada sebuah konsorsium pengusaha Prancis mencoba-coba ikut mengajukan tawaran. Lewat perwakilan sebuah bank Prancis di Jakarta, Bank Credit du Nord, konsorsium ini lalu membuka kontak dengan Yayasan Pekan Raya Jakarta. Mereka juga sempat mengajukan proposal perkenalan, pada akhir 1988, termasuk siapa saja anggota konsorsium yang dipimpin oleh Areas, sebuah perusahaan besar di Prancis. Sialnya, usulan itu tidak ditanggapi. Selain Prancis, sebenarnya perusahaan Amerika dan Australia sempat pula mencoba ikut menawar. Namun, Jepang ternyata sudah menjadi pilihan sejak bulan Agustus 1988. Dan itu langsung mendapat restu dari Presiden. Namun, rupanya tuduhan skandal memang terlalu gampang dilemparkan di Jepang. Kali ini yang dituduh adalah Watanabe sendiri. Bahkan, ada yang mengibaratkan, skandal di Jepang mirip permainan mogurataki, yakni permainan memukuli boneka di dalam lubang. Bila dipukul di ujung sini akan muncul kepala di ujung sana. Demikian seterusnya. Yopie Hidayat, Leila S. Chudori, Sri Wahyuni (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus