Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Proyek kemayoran, di mana salahmu

Perjalanan terbentuknya pt jitc penggarap jfk. menlu watanabe disorot parlemen jepang. ia dituduh terlibat dalam proyek jitc. gubernur wiyogo disebut-sebut memperlancar proyek pembangunan jitc.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MICHIO Watanabe, Wakil PM dan Menteri Luar Negeri Jepang, sepanjang pekan lalu dituding partai oposisi soal keterlibatannya di proyek Jakarta Fair Kemayoran (JFK). Kebetulan Kamis sampai Ahad lalu Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto, yang empunya proyek, mampir di Tokyo. Untuk bertemu dengan Watanabe? "Wah, tidak sempat karena beliau amat sibuk," ujar bekas Dubes RI di Jepang itu kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Wiyogo datang untuk bertemu dengan Gubernur Tokyo Shunichi Suzuki untuk memperlancar kerja sama "kota kembar" Jakarta-Tokyo. Konon rute perjalanan dinasnya adalah Singapura, Beijing, Amsterdam. Di Tokyo, Gubernur Wiyogo barangkali masih sempat mendengar ribut-ribut sekitar Watanabe dan proyek JFK tadi. Mulanya, adalah San Jose Mercury News, satu dari grup 30 harian lokal di Amerika, pada edisi Minggu 19 April lalu menurunkan berita utama: "How Japanese Foreign Aid Helps Japan's Economy". Dengan sub judul, "Top Official Linked to Project: Watanabe's Role in Funding Developing Jakarta Trade Complex" (Hubungan Pejabat Tinggi dengan Proyek: Peran Watanabe dalam Pendanaan Pembangunan Kompleks Perdagangan Jakarta, Red.). Disebutkan dalam berita, yang kemudian dikutip berbagai pers di Jepang, Watanabe sejak empat tahun lalu mengumpulkan dana pemerintah dan swasta Jepang. Tujuannya untuk membangun kompleks perdagangan modern di bekas Airport Kemayoran yang butuh investasi US$ 220 juta (sekitar Rp 440 milyar). Keterlibatan Watanabe, menurut koran di San Jose, adalah pada pendirian Jakarta Development Corporation (JDC), konsorsium perusahaan Jepang yang memodali JFK. JDC didirikan oleh Konan Trading Corporation, yang di Jepang lebih dikenal sebagai Konan Tsusho. Ternyata, baik JDC maupun Konan dipimpin oleh Mitsuo Marume, seorang pejabat senior Deplu Jepang. Selain dikenal sebagai penasihat Watanabe, Marume juga disebut-sebut sebagai sekretaris pribadi Menlu Jepang itu. Alkisah, timbul dugaan, lewat Marumelah bisnis Watanabe dijalankan dalam proyek JFK. Koran di San Jose menyebutnya sebagai dummy alias boneka Watanabe.... Koran itu juga mengungkapkan hasil investigasi wartawannya ketika melacak perusahaan lain milik Mitsuo Marume di Tokyo, yakni Marume Ex-Im. Perusahaan kecil ini punya pekerjaan besar. Yakni, ikut mengurusi bantuan Jepang kepada Indonesia, Kamboja, dan Vietnam. "Kami adalah staf untuk Asia Tenggara. Semua berasal dari kantor Michio Watanabe. Kami menangani semua urusan yang tak bisa ditangani kantornya di Deplu," kata seorang pejabat Marume Ex-Im. Nama bekas Dubes RI untuk Jepang ketika itu tak urung ikut disebut-sebut oleh koran di dekat San Francisco itu. Hatta, tujuh tahun silam, dalam suatu resepsi perpisahan untuk Dubes Wiyogo di Tokyo pertengahan Agustus, Watanabe ikut senang ketika mendengar Wiyogo diminta untuk jadi Gubernur DKI. Entah mendengar dari sumber mana, koran lokal di AS itu bahkan menyebutkan, Watanabe sempat "menitip" pesan agar Wiyogo membantu pembangunan di bekas lapangan udara Kemayoran. Tak lama setelah Wiyogo menjabat Gubernur DKI, Proyek Kemayoran dibangkitkan lagi setelah "mandek" di tahun 1985. Bulan September 1988, setahun setelah Wiyogo menjadi gubernur, dia menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) proyek JFK bersama Menlu Michio Watanabe selaku chairman Japan Indonesia Association (Japinda). Badan ini dibentuk tahun 1958 dengan tujuan mempererat kerja sama di berbagai bidang dengan Indonesia. Japinda kini beranggotakan 270 perusahaan Jepang dan 370 anggota individual. Dan sampai sekarang adalah Menlu Watanabe yang menjabat sebagai Ketua (chairman) Japinda. Posisi Watanabe itulah termasuk yang diributkan Parlemen Jepang. Dan Menlu asal Partai Liberal Demokrat (LDP) ini tampaknya cukup repot menangkis serangan Partai Sosialis, lawannya di Parlemen Jepang, Selasa dan Rabu pekan lalu. Adalah Kozo Igarashi dari Partai Sosialis yang melontarkan pertanyaan tajam, "Bagaimana mungkin Anda sebagai Menlu sekaligus menjabat ketua asosiasi untuk sebuah negara berkembang yang menerima bantuan resmi dari pemerintah Jepang? Bukankah itu kurang baik? Saya kira Anda sebaiknya mundur dari jabatan itu ketika menjabat Menlu." Watanabe menjawab, "Meskipun sebagai Ketua Japinda, saya hanya hadir rapat tahunan sekali setahun. Itu jabatan sekadar nama. Kalau ada suara menuntut saya mundur itu boleh saja, tapi semuanya minta agar saya tetap menjabat." Akiko Domoto dari Partai Sosialis lalu mengacungkan fotocopy koran di San Jose sembari berkata, "Artikel ini sangat menarik. Penulisnya (maksudnya Lewis M. Simons, Kepala Biro Tokyo koran itu, Red.) adalah pemenang Hadiah Pulitzer tentang kekayaan yang disembunyikan Marcos." Watanabe kelihatan berang. Dia memotong, "Anda menuduh." Lalu Watanabe mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Pada mulanya, menurut Menlu Watanabe, ada sebuah trade fair di Jakarta. Tapi pameran tersebut, dengan ukuran bisnis di Indonesia yang kian berkembang, sudah dianggap terlalu kecil. Maka ada rencana pihak di Jakarta untuk membuat yang lebih besar. Maka, menurut Watanabe, timbul gagasan untuk membantu dana yang dicari dari perusahaan-perusahaan di Jepang. "Dulu yang menggerakkan adalah orang bernama Shigeki Taniguchi, dia adalah direktur Japinda. Sayang, ia meninggal dunia tapi proyek terus berjalan," jawab Watanabe. Merasa belum puas, anggota parlemen Igarashi lalu bertanya tentang kedudukan sebenarnya dari Mitsuo Marume, sekretaris pribadi Watanabe. Sebab, Marume menyodorkan kartu nama dengan jabatan sebagai Staf Menlu Watanabe. Sang Menlu, yang sempat "kecipratan" rezeki dari Skandal Recruit (1989) ini, membantah keras. Katanya, Marume bukan Sekprinya, juga bukan stafnya. "Saya pernah dibantu secara suka rela, termasuk soal Kamboja, sebagai penerjemah. Dan saya tak membayarnya," jawab Watanabe. Agaknya memang banyak pertanyaan, juga kecurigaan, di seputar proyek JFK. Adalah Shigeki Taniguchi, pendiri Konan Trading, yang oleh Watanabe disebut sebagai pencetus gagasan untuk mendirikan JFK tersebut. Tapi ketika menggelar ide tersebut ke berbagai perusahaan Jepang, Taniguchi menurut Watanabe melakukannya tanpa persetujuan pihak Japinda. Di bulan April 1986 Taniguchi duduk sebagai Direktur Pelaksana Japainda. "Awalnya itu memang ide pribadi Taniguchi, dan baru kemudian disetujui oleh oleh rapat Japinda," ujar sebuah sumber TEMPO di Japinda. Taniguchi ini dikenal sangat dekat dengan Watanabe. Ketika Watanabe menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri (MITI), Taniguchi menjadi Sekjen Liga Parlemen Jepang-Indonesia (JIPL) yang berkantor di MITI. Dialah orang dekat Watanabe, yang oleh pers di Jepang dijuluki sebagai "bayangan Watanabe." Taniguchi pula yang pernah menjadi pengurus Japan Indonesia Science and Technology Forum, yang membangun kerja sama di bidang teknologi. Pokoknya, Taniguchi memang dikenal sebagai pelobi terkemuka Jepang-Indonesia. Adalah Taniguchi yang melobi sejumlah perusahaan Jepang untuk membantu proyek JFK. Akhirnya, terbentuk konsorsium perusahaan Jepang, terdiri atas 55 perusahaan dan OECF (Overseas Economic Cooperation Fund, lembaga keuangan milik pemerintah Jepang), yang bergabung dalam Jakarta Development Corporation. Hampir seluruh perusahaan dalam JDC masuk sebagai anggota Japinda. Dan pendiri JDC adalah Konan Trading, perusahaan milik Taniguchi. Ada sedikit keanehan dalam kasus Konan Trading ini. Perusahaan itu sebenarnya didirikan oleh Taniguchi pada Juli 1986. Namun, setahun kemudian, empat direkturnya mengundurkan diri dan praktis Konan Trading mati. Bulan Mei 1988, setahun setelah Konan mati, Japinda menyampaikan gagasan JFK kepada Gubernur Wiyogo dan Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK), yang dikelola Sekretariat Negara. Sebenarnya, juga ada gagasan dari Amerika dan Bank Credit du Nord Prancis, namun agaknya tawaran swasta Jepang itu yang dianggap lebih menarik. Soalnya, pihak Jepang mengajukan tawaran agar proyek ini dilakukan dalam bentuk kerja sama swasta Jepang dan swasta Indonesia. Akhirnya, pihak swasta Jepang ditunjuk lewat Keputusan Presiden untuk menangani JFK yang berdiri di atas tanah 44 hektare. Namun, sebelum proposal pihak Jepang diterima, Taniguchi menghidupkan lagi Konan Trading dan duduk sebagai presiden direktur. Dan Mitsuo Marume menjabat salah seorang direktur. Marume ini agaknya memang kenalan Wiyogo. Dialah yang ditunjuk sebagai liaison officer di Tokyo dalam urusan sister city. Dia juga punya kartu nama dengan logo DKI. Walaupun Wagub Herbowo di Jakarta menjelaskan bahwa DKI Jakarta tak punya kantor perwakilan di Tokyo. Ketika Taniguchi wafat, Marume tampil sebagai orang No. 1 di Konan Trading. Ada yang menarik soal Konan ini. Menurut akta pendirian kembali Konan Trading yang dicatat Kementerian Kehakiman Jepang pada 30 Juni 1988, ada sebuah nama Indonesia yang bertindak sebagai auditor Konan Trading. Dia adalah Soerjantono (Tony) Soerjo, Wakil Presiden Direktur Summa International, konglomerat sebuah grup perusahaan yang dipimpin pengusaha terkenal Edward Soeryadjaya. Sebuah sumber menduga, bangun kembalinya Konan Trading tak lepas dari bantuan keuangan Summa International. Tujuannya agar dana Jepang dalam pembangunan JFK bisa lancar. Hanya, mantan Gubernur DKI Jaya Soeprapto, kini Wakil Ketua DPR/MPR, menduga Edward Soeryadjaya sudah banyak keluar duit. "Termasuk untuk memberi ini dan itu kepada petugas dan pejabat," ujar Soeprapto. Belum ada penjelasan dari pihak Summa tentang hal ini. Pemda DKI Jaya juga mengundang sejumlah pengusaha swasta Indonesia untuk mendukung proyek JFK. Motornya adalah Summa International, yang sekarang kabarnya lagi sakit parah. Gabungan pengusaha Indonesia dan Pemda DKI lalu mendirikan PT Jaya Nusa Pradana (JNP). Kemudian JNP bersama JDC dan Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK) mendirikan PT Jakarta International Tradefair Corporation (JITC) yang menggarap JFK. JDC memegang 52,5% saham, JNP punya 42,5%, dan 5% sisanya milik BPKK. Dihitunghitung, seluruh saham Pemda DKI Jaya sekitar 13%. Sebuah sumber di Summa mengatakan, Pemda DKI mendapatkan saham itu dari penjualan tanah 44 hektare kepada JITC. Pemda membeli tanah itu dari Badan Pengelola Kompleks Kemayoran seharga Rp 75 ribu per meter. Tapi ini dibantah oleh Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Herbowo. Katanya, saham DKI bukan didapat dari penjualan tanah melainkan dari pembagian keuntungan. Soal kedudukan Wiyogo Atmodarminto dan Herbowo sebagai komisaris umum dan komisaris dalam JITC juga disorot. Masalahnya, mereka berdua duduk sebagai pribadi. Seorang pejabat tinggi menegaskan, jabatan itu seharusnya fungsional, artinya dijabat oleh wakil pemerintah DKI dan akan digantikan bila pejabat itu pensiun. Sebagai pribadi, mereka agaknya tak tergantikan, kecuali diganti oleh para pemegang saham. Atas dasar ini Mendagri Rudini pada Desember 1990 mencopot Wiyogo dan Herbowo dari JITC. Wagub Herbowo bilang, pencopotan itu sesungguhnya kesalahan redaksional dalam akta pendirian JITC. Setelah pers meributkan soal ini, kata Herbowo, "Saya baru tahu bahwa di dalam akta itu saya ditulis sebagai pribadi, juga Pak Wiyogo." Karena itu Herbowo mengaku mengajukan surat pengunduran diri, begitu pula Pak Wik -- sebutan akrab Wiyogo di DKI. Toh seorang pejabat tinggi punya pendapat lain. Masuknya Wiyogo sebagai pribadi, katanya, barangkali agar jalannya proyek bisa lancar. Lantas siapa pengganti Wiyogo dan Herbowo di JITC? Ini juga belum jelas. Ada yang bilang, Wiyogo dan Herbowo sebagai gubernur dan wagub otomatis duduk di JITC. Tapi, dalam wawancara dengan TEMPO di Tokyo, Wiyogo mengatakan, untuk menggantikan kursi presiden komisaris adalah urusan pemegang saham. Artinya, jabatan itu masih kosong. Hanya, Gubernur DKI dan wakilnya tetap mengawasi pembangunan JFK. Bekas Gubernur Soeprapto menilai, wewenang Pemda DKI mengatur proyek ini praktis hilang ketika bentuk hukumnya menjadi PT. "Ini kan penyimpangan, karena soal Jakarta Fair sudah diatur dengan peraturan daerah. Mestinya, kalau mau dijadikan PT, perdanya diubah dulu. Ini kan namanya blunder," kata Soeprapto. Menurut Herbowo, Pemda sudah menyiapkan perda baru untuk mengatur JFK nanti, walaupun sahamnya terbilang kecil. Agaknya, banyak pekerjaan rumah mengenai JFK yang masih perlu diselesaikan oleh Pak Wik sebelum dia mundur dari Balai Kota, September tahun ini. Toriq Hadad, Bambang Sujatmoko, Leila S. Chudori, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus