PELARANGAN pukul harimau nnyebabkan nelayan tradisional
melonjak kegirangan. Tapi beberapa Pemda merasa kehilangan
sumber penghasilan--sementara para pemilik trawler tak kalah
bingungnya.
Untuk menanggulangi akibat pelarangan pukat harimau tersebut, di
Semarang awal bulan ini Sekdalopbang Solihin GP mengadakan
pertemuan dengan Gubernur Ja-Tim, Ja-Teng, Ja-Bar dan Sum-Ut
bersama Dirjen Perikanan dan Dirjen Koperasi. Rumusan pertemuan
itu menurut Solihin akan digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan
menanggulangi semua akibat pelarangan trawler.
Solihin sendiri menyadari akibat pelarangan itu antara lain
tutupnya beberapa pabrik pengawetan udang, pengangguran dan
berkurangnya pendapatan daerah. "Tapi kita akan berusaha
menanggulagi gejolak ekonomi dan sosial yang mungkin timbul.
Kita sudah siap menghadapi semua itu," katanya.
Di Cilacap, Ja-Teng, pelarangan itu disambut para pemilik pukat
dengan catatan "Agar bisa menikmati musim panen ikan terakhir
kali September sampai Desember tahun ini," kata Andri Wijawa,
salah seorang pemilik pukat harimau di hadapan Bupati Cilacap
Pudjono Pranjoto.
Andri sendiri yang kurang lancar berbahasa Indonesia itu lebih
suka menyerahkan kapal pukatnya kepada pemerintah. "Saya akan
kembali menjadi nelayan kecil dengan kapal motor," katanya Dari
keuntungannya selama ini ia sudah memiliki 7 perahu compreng
bermotor tempel. Ia juga akan mempekerjakan 6 bekas awak
kapalnya.
2 Tahun
Pemilik trawler yang menyerahkan kapalnya kepada pemerintah akan
mendapat ganti rugi. Kapal itu kelak selanjutnya diserahkan
kepada KUD Perikanan setelah pukatnya diganti atau dirombak.
Tidak semua pemilik pukat di Cilacap akan menyerahkan
trawler-nya kepada pemerintah seperti Andri. Banyak di antara
mereka yang pulang ke Bagansiapi-api, Sum-Ut, asal sebagian
pemilik trawler di selatan Ja-Teng itu. "Mereka, yang berasal
dari Bagan itu, sekitar 36 orang, meliputi 200 jiwa. Hanya
sebagian kecil yang menyerahkan kapal kepada pemerintah," kata
Administrator Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilacap Soetardjo.
Yang gembira tentu saja nelayan tradisional. Kardjo yang sejak
30 tahun menjadi nelayan di Cilacap berharap, "mudah-mudahan '
sumber ikan dan udang belum habis seluruhnya." Tapi untuk
menikmati hasil laut itu ternyata tidak semudah dugaan Kardjo
dan nelayan kecil lainnya Sebab sudah 10 tahun perairan Cilacap
dikeruk oleh trawler. Menurut Indon Tjahjana, Ketua KUD Mino
Saroyo Cilacap, paling sedikit diperlukan waktu 2 tahun untuk
memulihkan produksi hasil laut di perairan ini. Sedang untuk
menyamai penghasilan pukat harimau, armada nelayan tradisional
(yang di Cilacap berjumlah 458 buah) harus ditambah, minimal
sampai 1.000 unit.
Kalau Kredit Lancar
Akibat penurunan produksi hasil laut itu, arltara lain 152
tenaga kerja di TPI Cilacap menganggur, mulai dari tenaga
administrasi, tukang lelang, tukang sampan, buruh pengangkut.
Ditambah dengan bekas awak pukat harimau dan buruh pabrik
pengawet udang, jumlah penganggur itu membengkak jadi 2.00
kurang lebih.
Untuk mengatasi penurunan produksi itu, Pemda Ja-Teng antara
lain akan meningkatkan pemeliharaan tambak-tambak ikan darat
yang luasnya meliputi 25.000 ha. Juga memberikan kredit
motorisasi bagi nelayan tradisional. Pemda Ja-Tim jua sudah
siap dengan kredit itu. "Kalau kredit itu lancar, kekurangan
produksi akan tertutup," kata Harimaryono SH, Sekwilda Ja-Tim.
Dan dengan begitu, 129.000 penghidupan nelayan di sana juta
terselamatkan.
Pemda Tapanuli Tengah, Sum-Ut, Sudah merencanakan membagi
kredit Rp 15 milyar untuk motorisasi perahu tradisional. Kredit
itu bisa dinikmati oleh sekitar 5.000 nelayan di sana. Tapi
menjelang batas terakhir operasi pukat hari mau di Sumatera 1
Januari 1981) nampak peningkatan kegiatan trawler di perairan
sekitarnya.
Juga ada beberapa bat asal pantai timur Sum-Ut mendadak muncul
di pantai barat. Di Sibolga, menurut catatar resmi ada 100 unit
pukat harimau, tapi yang beroperasi meningkat dua kali.
Peningkatan kegiatan pukat harima itu juga nampak di perairan
Pangandaran, Ciamis Selatan, Ja-Bar. Minggu kedua bulan ini ada
9 pukat harimau kepergok Keamanan Laut Pangandaran karena
melanggar batas operasi. "Dua di antaranya melarikan diri ke
Cilacap," kata Wiharsa, Ketua I DPC HNSI Ciamis. Ketujuh pukat
harimau itu kini ditahan. Menurut Wiharsa, sebagian besar dari
30 pukat harimau yang diizinkan beroperasi di wilayahnya milik
perusahaan daerah. "Kantor pusatnya di Bandung, dan anehnya awak
kapalnya non-pribumi," ujar Wiharsa.
Bukan hanya Pemda Ja-Bar yang miliki tawler PT Karya Mina,
perusahaan pemerintah di Riau juga memakai pukat harimau.
Ada pula di antaranya yang berlayar di bawah bendera berapa
yayasan atau koperasi milik instansi pemerintah, seperti di
Dumai dan Bagansiapi-api. Akibat pelarangan pukat harimau, Riau
akan kehilangan pendapatan Rp 3 milyar lebih setahun.
Dan karena pelalanan itu pula Ja-Teng akan kehilangan
pendapatan sekitar Rp 11 milyar setahun. Pendapatan dari ekspor
udang demikian pula. Devisa yang diperoleh Ja-Teng dari sektor
udang selama ini sekitar US$ 23 juta.
"Bagi Ja-Teng, komoditi udang itu menempati urutan pertama. Tapi
dibanding Sumatera, termasuk urutan kedua," kata Ir.
Adwinirman, Kepala Dinas Perikanan Ja-Teng.
Untuk melaksanakan Keppres 3 9/ 1980 itu ternyata tidak mudah.
Trawler yang akan diserahkan kepada KUD Perikanan misalnya, kini
masih banyak yang terkatung-katung. Dari 1.067 pukat harimau
yang ditahan karena melanggar operasi (sampai Juli 1978), baru
91 buah yang sudah dipastikan bisa dikelola oleh KUD perikanan
Sisanya menganggur dan siap jadi besi tua.
Itu pun hanya sebagian dari pukat harimau yang ditahan di
perairan Jakarta. Yang lain--terutama yang ditahan di perairan
Sum-Ut, Riau atau Kal-Bar, masih menunggu proses pengadilan.
Yang ditahan di Jakarta saja, 217 buah, ada di antaranya yang
telah tenggelam atau hilang, ada pula yang malah dikembalikan
kepada pemiliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini