Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ngebut Sidang demi Pemilu

Pemilu 2004 makin dekat. Tapi sejumlah perangkat undang-undangnya baru dibahas. Mungkinkah deadlock seperti UU Pemilu?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMOKRASI kita di ambang bahaya. Begitulah komentar para pengamat politik di berbagai diskusi melihat kesiapan pelaksanaan Pemilu 2004 yang masih jauh panggang dari api. Betapa tidak, dari empat paket rancangan undang-undang politik yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, baru RUU Parpol dan RUU Pemilihan Umum yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Dua RUU lainnya, yakni RUU Susunan dan Kedudukan (Susduk) Anggota MPR/DPR/DPRD/DPD dan RUU Pemilihan Presiden, baru dibahas mulai pekan ini. Padahal, di luar paket UU Politik, wakil rakyat itu harus pula merampungkan satu "ekstra" RUU, yakni RUU Mahkamah Konstitusi. Soalnya, Mahkamah Konstitusi itulah yang nantinya akan menyelesaikan sengketa hasil-hasil pemilu. Artinya, undang-undang ini pun harus tersedia sebelum pemilu digelar Maret tahun depan. Bahkan, merujuk Amendemen UUD 1945, RUU ini harus sudah selesai Agustus nanti. Melihat kinerja DPR yang jeblok belakangan ini, tak aneh jika publik meragukan selesainya ketiga undang-undang itu. Apalagi jika berkaca pada permainan partai-partai besar dalam proses kelahiran dua paket UU Politik sebelumnya—alot dan bahkan deadlock di tingkat paripurna. Padahal, untuk menyelesaikan UU Pemilu saja, mereka menghabiskan waktu sembilan bulan. Layaklah kalau kemudian publik menaruh syak wasangka. Jangan-jangan dua undang-undang berikutnya tak dapat mereka selesaikan tepat waktu. "Partai-partai politik yang ada sekarang ini betul-betul berselingkuh dan mau menguasai kancah pemilihan umum. Dari sinilah kita melihat bahwa demokrasi kita dalam bahaya," kata Todung Mulya Lubis kepada Tempo News Room. Seberapa besar peluang selingkuh itu berulang pada pembahasan dua RUU yang ditunggu-tunggu rakyat ini? Di mata Yahya Zaini, Ketua Panitia Khusus RUU Susduk, kekhawatiran seperti itu bisa dibenarkan. Cuma, "Itu mungkin benar menyangkut RUU Parpol dan Pemilu. Saya kira, kalau menyangkut RUU Susduk dan RUU Pemilihan Presiden dan Wapres, nuansa politisnya tidak demikian besar. Ini lebih banyak menyangkut teknis kelembagaan dan pemilihan. Jadi, tak banyak kepentingan partai di dalamnya," ujar Yahya Zaini. Tapi Samuel Kotto, anggota Pansus Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari Fraksi Reformasi, melihat sebaliknya. Menurut dia, banyak pasal alot akan ditemukan, baik di RUU Susduk maupun di RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Di panitia khusus yang ia ikuti, misalnya, pasti akan muncul perdebatan alot soal persyaratan calon presiden, pencalonan oleh bekas anggota PKI, syarat partai yang bisa mencalonkan, jenis-jenis kampanye, pengawasan penggunaan fasilitas negara, opsi jika terjadi force majeure dan kevakuman kekuasaan, dan sebagainya. Sedangkan di RUU Susduk akan muncul perdebatan alot soal kepemimpinan MPR, apakah bersifat permanen atau joint session, dan bagaimana bentuk dan hubungan lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "Sudah saya pelajari, saya kira akan mirip RUU Pemilu. Panjang dan alot karena banyak koridor yang harus dibicarakan," ujar Samuel Kotto. Di luar tarik-ulur pasal-pasal alot yang sudah diinventarisasi Samuel, kekhawatiran molornya pembahasan dua RUU itu juga karena waktu sidang yang mepet serta konsentrasi para politikus Senayan yang mulai terbelah. Mereka mesti mulai pasang kuda-kuda untuk kampanye pemilu mendatang. Pemimpin DPR sudah mengantisipasi hal ini. Mereka mengambil langkah sigap dengan membentuk dua pansus sekaligus agar dua RUU itu bisa segera dibahas dalam waktu bersamaan. Pansus Susduk sudah dibentuk akhir Februari lalu, sedangkan Pansus Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disahkan pada penutupan masa sidang, Jumat pekan lalu. Selain itu, pemimpin DPR memberikan izin khusus agar anggotanya tetap bisa bersidang meski dalam masa reses. "Kebijakan ini sudah mendapat persetujuan dalam rapat pimpinan dewan agar anggota pansus bisa memanfaatkan waktu resesnya untuk tetap bersidang. Supaya tak ada lagi kekhawatiran publik akan tersendatnya pembahasan dua RUU itu. Insya Allah, semua selesai sebelum Agustus," kata Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber. Tak hanya mengizinkan bersidang saat reses, Badan Legislasi DPR, menurut Zain, juga mengambil jalan terobosan dengan memprakarsai penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Susduk. "Ini terobosan yang kami ambil agar pansus bisa bekerja lebih cepat dengan waktu yang mepet," ujar Zain. Bak gayung bersambut, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Ferry Mursidan Baldan, mengamini langkah yang diambil pemimpin DPR. "Kami siap bersidang dalam masa reses agar RUU itu selesai cepat waktu. Mudah-mudahan Juni sudah selesai," katanya kepada TEMPO. Semoga bukan janji-janji manis tanpa bukti. Adi Prasetya, Andi Dewanto (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus