Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pilihan Pelik Wasit Pemilu

Undang-undang mengharuskan sembilan anggota KPU pada pilihan mundur atau cuti mengajar di kampusnya. Sudah dua yang menyatakan mundur.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seusai memberikan kuliah teori sosiologi di kampus Universitas Indonesia, Kamis dua pekan silam, Doktor Imam Budidarmawan Prasodjo melempar pertanyaan tertulis kepada 40-an mahasiswanya. Mana yang lebih baik baginya: tetap sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum atau kembali mengajar di kampus? Helai-helai kertas berisi jawaban mahasiswa kemudian ia kumpulkan. Sebagian besar ternyata meminta ia tetap menjadi dosen di almamater. "Bukan sesuatu yang begitu besar buat Anda untuk mengembalikan Toyota Soluna itu ke KPU. Kami butuh Anda di sini!" tulis seorang mahasiswa. Toyota Soluna yang dimaksudkan adalah kendaraan dinas Imam Prasodjo sebagai anggota KPU. Suara mahasiswanya itulah yang meneguhkan hati pria 43 tahun ini untuk mundur dari keanggotaan KPU. Padahal, di kediamannya di sudut Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Imam tengah berkutat dengan desain pendidikan pemilih. Aneka contoh poster pendaftaran pemilu yang dirancang para seniman dari Institut Teknologi Bandung dan Institut Kesenian Jakarta belum naik dicetak. Tapi Imam sudah memilih mundur. Langkah Imam juga diikuti F.X. Mudji Sutrisno, yang memilih tetap mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan UI. Mudji Sutrisno, doktor filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, adalah seorang biarawan yang akrab dengan dunia politik. Pada Pemilu 1999, ia menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum, lembaga yang memberinya banyak pengetahuan mengenai KPU. Kini ia pun memilih kembali ke kampus ketimbang berada di KPU. Pilihan mundur Imam dan Mudji memang konsekuensi Undang-Undang Pemilu yang sudah disetujui DPR. Pasal 18 undang-undang ini melarang anggota KPU merangkap jabatan. Aturan ini tentu saja menghadapkan sembilan dari 11 anggota KPU pada hanya dua pilihan: bekerja sepenuh waktu untuk KPU yang berarti meninggalkan kampus, atau mundur dari KPU. Meninggalkan kampus tidak harus berhenti total, terbuka kemungkinan untuk cuti di luar tanggungan negara sampai masa kerja KPU berakhir, Maret 2006. Sejak awal, kata Imam, tatkala menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR, dua tahun silam, ia menyatakan bersedia menjadi anggota KPU dengan syarat tetap dibolehkan mengajar di kampus. "Tapi saya akan mengurangi waktunya," kata Imam. Karena itulah, sejak di KPU, Imam, yang semula mengajar dua-tiga kali sepekan, hanya muncul di depan kelas saban Kamis selama dua jam. Di luar kampus, Imam juga memimpin sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sosial. Yayasan Nurani Dunia, begitu nama lembaga yang dibentuk pada 1999 itu, kini banyak mengurusi anak-anak pengungsi dari pelbagai daerah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Sulawesi Utara, dan Madura. Boleh jadi, bukan komitmen pada pendidikan semata-mata yang menjadi alasan Imam dan Mudji mundur dari KPU. Dalam rapat pleno pertama di KPU, Imam telah mengusulkan penataan ulang staf KPU yang ia nilai tidak efektif. "Kalau tidak ada perubahan, saya mundur," kata Imam, seperti dituturkan sumber TEMPO di KPU. Ancaman mundur Imam ini didukung Mudji Sutrisno. Ancaman itu kini ia buktikan. "Sebenarnya, tanpa UU Pemilu pun, secara moral Imam harus mundur karena di KPU sekretariat tidak diubah," kata sumber TEMPO tadi. Tapi, kata Imam, sebenarnya kalaupun ia memilih tetap di KPU dan cuti dari kampus, tanggapan orang pun belum tentu positif kepadanya. "Tuh kan, dia milih KPU yang gajinya besar? Pasti begitu," kata Imam. Di KPU, Imam menerima gaji lebih dari Rp 10 juta sebulan serta honorarium lain yang jumlahnya bisa lebih besar dari gaji. Selain itu, Imam memperoleh fasilitas mobil dinas Toyota Soluna dengan sopir yang dibayar negara. Padahal, sebagai dosen, Imam hanya menerima gaji Rp 1,3 juta sebulan. Mundurnya dua dari sebelas anggota KPU tentu saja menimbulkan pertanyaan: lalu bagaimana dengan kerja KPU selanjutnya? Maklum, kerja KPU sebenarnya baru dimulai tatkala UU Pemilu diundangkan pada 18 Maret mendatang. Saat ini, KPU masih dihadang pekerjaan besar: pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan, pembentukan KPU di daerah, pembentukan panitia pengawas pemilu, seleksi peserta pemilu, pengawasan proses logistik, dan pendidikan calon pemilih. "Ini harus diselesaikan KPU dalam waktu satu-dua bulan," kata Nazaruddin Syamsudin, Ketua KPU. Pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk yang kini tengah dilaksanakan, misalnya, akan menentukan banyak hal, dari jumlah kartu dan bilik suara sampai alokasi jumlah kursi di legislatif pada Pemilu 2004. Pekerjaan menyeleksi peserta pemilu mengharuskan KPU, lewat perwakilannya di daerah-daerah, melakukan verifikasi atas syarat-syarat sebuah partai boleh ikut Pemilu 2004. Misalnya, memeriksa betul-tidaknya dukungan minimal 1.000 orang di setiap tingkat kepengurusan partai di kabupaten. Pekerjaan berat lainnya adalah mengurusi logistik pemilu. Tidak sekadar menyiapkan barang, tapi juga mendistribusikannya ke daerah. KPU harus memastikan sampainya surat, kotak, dan bilik suara tepat waktu secara serentak di seluruh Indonesia, termasuk di daerah terpencil dengan kondisi alam yang tidak bersahabat. Di luar tugas rutin menyiapkan pemilu, KPU juga memandu pengisian keanggotaan DPRD di daerah baru hasil pemekaran dan juga membuat tata cara penggantian antarwaktu anggota DPR. Sejak 1999, sudah terbentuk empat provinsi dan 74 kabupaten dan kota baru hasil pemekaran wilayah. Dalam beberapa kasus, KPU menuai gugatan atas rekomendasinya. Untuk mengerjakan semua itu, KPU harus menyiapkan sedikitnya 30 peraturan pelaksanaan. Sepanjang tahun ini KPU juga harus menyusun 55 buah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. "Yang bisa diselesaikan Maret tahun depan hanya pedoman pelaksanaan pengucapan sumpah/janji anggota MPR/DPR dan DPRD," kata Nazaruddin. Jadi, KPU itu adalah organisasi kecil tapi dengan kerja besar. Beda dengan KPU sebelumnya, yakni menjelang Pemilu 1999, lembaga KPU beranggotakan 48 wakil partai peserta pemilu dan lima wakil pemerintah. Tapi, untuk menghadapi Pemilu 2004 ini, KPU tampaknya memerlukan organisasi yang ramping—beranggotakan maksimal 11 orang—tapi terdiri atas orang-orang independen dan nonpartisan. Karena itulah, mayoritas anggota KPU adalah para akademisi. Kendati begitu, toh beban mereka tak berkurang. Tak mengherankan jika anggaran pemerintah untuk lembaga ini juga terbilang raksasa: Rp 2,3 triliun. "KPU menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan melalui pemilu yang terbuka," kata Nazaruddin. Karena itulah, menurut Nazaruddin, mundurnya dua anggota KPU tentu akan berdampak terhadap kinerja tim. Apalagi pilihan mundur itu juga masih menghadang anggota KPU lain, kecuali Nazaruddin dan Valina Singka Subekti, yang sudah menyatakan hendak mengambil cuti panjang dari kampus. "KPU telah membebaskan anggotanya un- tuk mengambil sikap sendiri terhadap undang-undang tadi," katanya. Hamid Awaludin, anggota KPU lainnya, menganggap soal jumlah anggota tidaklah berpengaruh besar terhadap pekerjaan KPU. "Lembaga ini bukan personifikasi anggota. Ini kerja tim. Kalau sistem berjalan baik, tidak begitu besar arti pembicaraan tentang jumlah orang," katanya. Meskipun demikian, kata Hamid, anggota KPU bertanggung jawab atas divisi-divisinya. Imam Prasodjo, misalnya, sebelumnya berada di Divisi Pendidikan Pemilih dan Informasi KPU bersama Valina Singka Subekti. Sedangkan F.X. Mudji Sutrisno adalah salah satu anggota tim pendataan pemilih. Dengan kata lain, jika menilik jumlahnya, sembilan anggota KPU masih memadai. Apalagi proses pengangkatan anggota baru komisi ini bukan kerja enteng. Menurut Teras Narang, Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu DPR, kalau harus diganti, paling cepat anggota baru itu terpilih bulan Juni mendatang. "Calonnya harus diusulkan pemerintah lalu diseleksi DPR," kata Teras Narang. Padahal, mulai 10 Maret 2003, DPR sudah memasuki masa reses. Sofwan Chudhorie, anggota Panitia Khusus RUU Pemilu, bahkan menganggap tak perlu ada penggantian bagi anggota KPU yang mundur. "Di India, yang penduduknya banyak, anggota KPU hanya lima orang," kata Sofwan. Ibarat sepak bola, tim KPU memang bukan lagi sebuah kesebelasan. Dengan sembilan pemain, tim tanpa cadangan ini tetap menyiapkan hajatan besar demokrasi, Pemilu 2004. Tomi Lebang, Cahyo Junaedi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus