Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nu: menuju islam indonesia

Persiapan muktamar NU ke-27 di Situbondo berjalan lancar. Langkah awal menjelang muktamar menyederhanakan jumlah cabang. Semboyan kembali ke khittah NU 1926 membuat ulama sebagai pimpinan tertinggi NU.(nas)

8 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pemandangan baru di pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Sejak akhir pekan lalu, belasan truk ABRI mondar-mandir keluar masuk pesantren. ABRI masuk pesantren? "Kami mengangkut perabotan pesta," ujar seorang perwira Kodam VIII/Brawijaya yang memimpin konvoi truk itu. Yang diangkut truk tersebut memang perabotan dapur, seperti kompor dan peralatan masak, serta tenda dan veldbed. Semua itu untuk menyambut "pesta" pada 8-12 Desember mendatang: Muktamar Nahdatul Ulama ke-27 yang diselenggarakan di pesantren pimpinan Kiai As'ad Syamsul Arifin tersebut. Kodam Brawijaya juga telah menjanjikan bantuan pengamanan selama muktamar berlangsung. "Karena santri tak punya bedil, sudah pasti saya minta bantuan ABRI untuk pengamanan," kata Kiai As'ad. Kabarnya, permintaan bantuan itu disampaikan As'ad kepada Pangab Jenderal L.B. Moerdani tatkala keduanya bertemu di Jakarta awal November lalu, yang langsung disetujui Pangab. Bantuan untuk penyelenggaraan muktamar memang mengalir deras. Dari ABRI, selain tenda dan veldbed yang berjumlah 2.000 unit, juga 46 kompor lengkap dengan juru masaknya, sekalipun pihak pesantren sendiri telah menyiapkan 100 juru masak. AlRI juga telah menyiapkan beberapa pembangkit tenaga listrik. Sedang Perumtel telah memasang sebuah SLJJ (sambungan langsung jarak jauh) untuk telepon. RRI juga telah mempersiapkan peralatan untuk bisa secara langsung menyiarkan jalannya muktamar ini. Bantuan masyarakat pun tak kurang banyaknya. Sampai akhir pekan lalu, sumbangan beras telah 30 ton, sapi 24 ekor, kambing 120 ekor, dan ayam ribuan ekor. Acara yang akan berlangsung mulai Sabtu pekan ini memang istimewa. Selain muktamar NU, yang akan dihadiri 3.500 peserta, pada saat yang sama diselenggarakan juga muktamar Fatayat dan Muslimat NU di pesantren Nurul Jadid (2.C00 peserta), serta muktamar Rabitah Ma'arif dan Tarikat (1.500 peserta) di pesantren Kalikajar, Probolinggo. Pembukaan dan penutupan ketiga pertemuan itu diadakan di Situbondo. Presiden Soeharto telah menyatakan kesediaannya untuk membuka muktamar NU itu. Setelah itu, sepuluh pejabat tinggi, termasuk Mendagri, Pangab, Menko Polkam, dan Menko Kesra, akan memberikan ceramah. Khusus untuk para tamu istimewa itu, Kiai As'ad teiah menyediakan kursi milik putra putrinya. "Pak Harto sudah berpesan, supaya jangan memakai kursi luks, tapi pakai saja kursi yang ada," kata Kiai As'ad. Terselenggaranya muktamar NU ini terutama memang berkat rintisan Kiai As'ad. Akhir September lalu ia memimpin enam sesepuh NU menemui Presiden Soeharto di kediaman Presiden di Jalan Cendana. Selain melaporkan bahwa rujuk dalam NU - antara kelompok Situbondo dan Cipete - telah tercapai, As'ad juga meminta persetujuan menyelenggarakan muktamar. Kiai As'ad yang berusia 87 tahun itu ternyata sigap. Dua pekan setelah itu ia kembali keJakarta. Selama dua hari ia menemui enam menteri, antara lain Menko Polkam, Menteri Agama, dan Pangab. Dukungan dan restu Presiden dengan sendirinya membuat persiapan muktamar lancar. Menjelang muktamar, tidak ada tantangan terbuka terhadap muktamar. "Segalanya berjalan lancar," kata Abdurrahman Wahid, ketua panitia muktamar. Sebagai bukti, Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Cak Dur, menunjuk masalah utusan, yang biasanya selalu menyebabkan pertentangan. Pada 28 November lalu Cak Dur terbang ke Medan untuk menyelesaikan adanya dewan pimpinan wilayah (DPW) kembar. Langkah pertama Abdurrahman menjelang muktamar adalah menyederhanakan jumlah cabang. "Dulu tak ada ukuran. Kalimantan Timur yang mempunyai 7 daerah tingkat Il memiliki 23 cabang, sedangJakarta memiliki 30 cabang. Panitia memutuskan untuk mengadakan penyusutan, dengan prinsip bahwa setiap daerah tingkat 11 mempunyai satu cabang, walau ketentuan ini tidak ketat dijalankan," kata Cak Dur. Dari 23 cabang di Kal-Tim, misalnya, akan disederhanakan menjadi 10, sedang Ja-Tim dari 46 menjadi 39. Namun, menurut Said Budairi, sekretaris panitia, "Semua cabang, yang jumlahnya sekitar 370, akan diundang. Tapi cabang yang boleh bersuara akan ditentukan," katanya. Ia memberi contoh Kabupaten Pasuruan yang memiliki tiga cabang, tapi dalam muktamar yang berhak bersuara hanya dua. Salah satu penyebab lancarnya persiapan muktamar adalah tiadanya lagi kubu Situbondo dan Cipete. Pimpinan kelompok Cipete, Idham Chalid, tampaknya sangat gembira dengan rujuk ini, yang berarti bahwa iaditerima kembali oleh para kiai terkemuka NU. Komposisi kepengurusan NU memang merupakan salah satu masalah yang paling hangat menjelang muktamar. Muktamar ke27, yang dilandasi semboyan "Kembali ke khittah NU 1926", menandai dikembalikannya ulama sebagai pimpinan tertinggi NU, hingga cukup banyak perubahan yang terjadi Kiai As'ad menghendaki adanya Majelis Isytsisyari yang berfungsi bukan saja sebagai penasihat, tapi juga sebagai pembina dan pembimbing. (Dalam kepengurusan lama memang ada sejumlah mustasyar yang berfungsl sebagai penaslhat). Malehs yang beranggotakan sembilan orang ini akan terdiri dari para ulama terkemuka NU. Beberapa nama yang disebut, antara lain, Kiai As'ad, Ali Ma'shum, Anwar Mussadad, Idham Chalid, Masjkur, Machrus Aly, Saifuddin Zuhri, Munasir, dan Jusuf Hasjim. Dimasukkannya nama Kiai Ali Ma'shum, yang kini menjabat rais a'am NU, ke dalam dewan Isytisyari ini kabarnya karena pemerintah tidak menyetujui Ali Ma'shum tetap menjadi rais a'am. Karena Kiai As'ad menolak menjabat rais a'am, dicari tokoh pengganti yang bisa diterima semua pihak. Figur ini ialah Achmad Siddiq, 58, pimpinan pesantren As-Shiddiqiyah di Jember, yang dalam Munas Ulama NU tahun lalu menjadi bintang karena rumusannya yang menggolkan penerlmaan asas Pancasila. Achmad Siddiq akan dibantu beberapa rais, antara lain Ali Yafie, Mustamid Abbas, dan Tholchah Mansoer, serta sejumlah khatib, dengan Rhodi Saleh sebagai khatib a'am. Ketua Tanfidziah bisa dipastikan akan dijabat Abdurrahman Wahid. Sebagai putra Wahid Hasjim, pendiri NU, ia memiliki posisi tersendiri dalam NU, yang masih menganggap tinggi faktor- keturunan. Para ulama terkemuka mendukungnya, begitu juga kalangan muda. Juga, pemerintah rupanya cocok dengan banyak gagasannya. Di samping Abdurrahman, yang banyak disebut-sebut akan masuk dalam kepengurusan Tanfidziah yang juga berjumlah sembilan orang, antara lain Mahbub Djunaidi, Fahmi Dja'far, Said Budairi, Abdullah Padarej Hasjim Latief, dan Aminuddin Aziz. Salah satu keputusan muktamar yang sangat ditunggu adalah: hubungan NU dengan PPP. Apakah NU secara resmi akan bercerai dengan PPP? Tampaknya, bukan cuma pihak PPP yang khawatir bila NU, set:agai pendukung terbesar PPP, meninggalkannya. Pemerintah tampaknya juga waswas bila orang-orang NU serentak meninggalkan PPP, lowongan itu bisa diisi mereka yang berpaham ekstrem. Mungkin karena itu akan dicari suatu rumusan yang bisa diterima semua pihak. Menurut sebuah sumber, rumusan tersebut akan berdasarkan pada amanat Munas Ulama: karena keanggotaan parpol bersifat perorangan, warga NU bebas menentukan pilihannya. Pengurus NU nantinya akan dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus harian organisasi politik. Ini berarti, Mahbub Djunaidi, yang kini menjadi wakil ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PPP, bisa menjabat wakil ketua Tanfidziah NU, karena MPP itu bukan pengurus harian PPP. Muktamar NU pekan depan tampaknya akan mengawali tumbuhnya NU yang baru. Itu terlihat dari ucapan Abdurrahman Wahid. "Selain akan secara kongkret masuk dalam kegiatan masyarakat, kami juga akan memproses lebih jauh formulasi keislaman di Indonesia yang seharusnya kayak apa. Dalam hal ini, agama memiliki fungsi transformator yang harus diletakkan dalam konteks integrasi nasional. Dengan kata lain, NU akan lebih menekankan Islam yan keindonesiaan, Islam yang lebih menekankan pada integrasi nasional."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus