SYARIFUDDIN Harahap tampak tenang dan percaya diri. Ditemui di rumahnya Minggu pekan ini, wakil ketua F-PP ini malah kelihatan gembira dengan banyaknya publikasi terhadap dirinya. "Belakangan ini tiap hari wartawan datang atau menelepon saya. Tiap hari saya juga mengirim pernyataan saya ke DPR," katanya. Banyaknya pemberitaan mengenai Syarifuddin memang bisa dimengerti. Pekan lalu ia melakukan sesuatu yang ( menggemparkan: ia menganjurkan agar J. Naro mengundurkan dlri sebagai ketua umum PPP. Alasannya: Naro dinilainya "mulai mundur cara berpikirnya". "Ini akan membuatnya ketinggalan dalam gerak cepatnya laju pertumbuhan pembangunan politik, dan PPP akan kerdil di bawah pimpinannya," katanya. Menurut Syarifuddin, Naro sudah besar jasa dan pengabdiannya untuk bangsa dan negara. "Buat apa bertarung dengan generasi muda PPP, sampai-sampai mau me-recall segala?" katanya pekan lalu. Jotosan Syarifuddin pada Naro itu rupanya untuk membalas pukulan yang diterimanya: sehari sebelumnya Naro pada pers mengungkapkan bahwa DPP PPP telah mengusulkan untuk me-recall keanggotaan Syarifuddin Harahap dan B. Tamam Achda dari DPR. selain juga terhadap Murtadho Makmur dan Ruhani Abdul Hakim. Namun, beberapa jam setelah itu DPP PPP dalam siaran persnya "meluruskan" pernyataan tersebut, dan menegaskan: "Naro tidak pernah mengucapkan kata-kata untuk me-recall Syarifuddin dan Achda." Pertikaian Syarifuddin Harahap dengan Naro menarik, karena Syarifuddin selama ini dikenal dekat dan satu kubu dengan Naro. Tatkala beberapa tahun lalu Syarifuddin mengkup kepemimpinan Syarikat Islam dari Mh. Ibrahim dan Gobel, Naro (yang sebelumnya juga pernah mengambil alih kepemimpinan Parmusi dari Djarnawi Hadikusumo) membela dan mendukungnya. Syarifuddin malah sering bertindak sebagai jurubicara kelompok Naro dalam pertikaiannya dengan kelompok NU. Syarifuddin sendiri menjelaskan, "Dalam politik ada dua hubungan: hubungan pribadi dan hubungan seperti ini. Yang saya serang pada Pak Naro bukan individunya, tapi kepemimpinannya. Saya berpendapat bahwa Pak Naro telah gagal." Perpecahan Naro dan Syarifuddin merupakan buntut pembahasan RUU Perubahan UU Pemilu bulan lalu. Dalam sidang pansus (panitia khusus), salah satu ganjalan utama adalah sikap DPP PPP yang ingin tetap mempertahankan tanda gambar Ka'bah. Jauh hari sebelumnya Naro telah menegaskan: bila perlu F-PP akan memaksakan voting jika masalah tanda gambar dibicarakan. Menurut Ridwan Saidi, ketua Departemen Oranisasi, Keanotaan, dan Pemilu DPP PPP, pada sidang pleno DPP lengkap di Hotel Kartika Chandra 3 November, Syarifuddin Harahap masih berbicara "Ka'bah sebagai lambang PPP tidak mungkin diganti karena sudah milik umat". Namun, "Anehnya, ia kemudian bicara lain di luar," kata Ridwan pekan lalu. Ridwan mengungkapkan, pada 13 November ketua F-PP Soedardji dan wakil sekretaris FPP Achda mengundang seluruh anggota fraksi bersidang. "Ini aneh. Sudah dua tahun tak ada sidang fraksi, yang ada cuma kelompok fraksi, kok mendadak ada sidang fraksi yang tak dijadwalkan," kata Ridwan. Kabarnya, dalam sidang tersebut Syarifuddin, Soedardji, dan Achda mendesak agar F-PP bersedia melepaskan tanda gambar Ka'bah. Sidang ternyata menolak keinginan tersebut. Ketiganya malah dianggap bersikap tidak disiplin pada keputusan partai. Pada 18 November malam, DPP PPP Harian dan 9 anggota pansus dari PPP mengadakan rapat di rumah Naro. Keputusannya antara lain: DPP PPP tetap akan mempertahankan tanda gambar Ka'bah dan kalau tak berhasil, PPP mengancam melakukan voting. Seluruh anggota pansus dari PPP diinstruksikan menaati sikap ini, dan Hartono Mardjono ditetapkan sebagai juru bicara. Rapat terakhir pansus RUU Pemilu 19 November pagi ternyata diskors hingga siang harinya. Hingga siang itu Naro tetap menginstruksikan agar F-PP memaksakan voting. Menurut sebuah sumber, Soedardji, Syarifuddin, dan Achda kemudian sepakat untuk mencabut instruksi Naro tentang voting. Surat itu kemudian ditandatangani Soedardji dan Achda, lalu disebarkan kepada para anggota pansus lain termasuk ketua pansus Soehardiman. Kabarnya, Naro sangat gusar hingga malam harinya memanggil Dardji ke rumahnya. Soedardji konon menolak karena suratnya telah tersebar luas. Naro terpaksa mengalah, hingga pada pukul 20.08 malam itu Hartono Mardjono secara resmi mencabut usulan F-PP yang memacetkan pembahasan RUU Perubahan UU Pemilu itu. Pada 26 November lalu DPP PPP mengadakan sidang pleno lengkap serta memanggil ketiga orang yang dianggap indisipliner tersebut. Hanya Soedardji yang hadlr. Sidang memutuskan bahwa DPP harian yang akan memutuskan tindakan terhadap para pembangkang tersebut. Dua hari setelah itulah Naro pada pers menyatakan rencananya untuk me- recall Achda dan Syarifuddin yang kemudian diralat lagi. DPP harian bersidang 30 November lalu. Dalam rapat yang dihadiri 19 orang itu diputuskan untuk menjatuhkan sanksi pada Syarifuddin dan Achda. Namun, sekjen DPP PPP Mardinsyah menolak mengungkapkan. "Nanti ketua umum DPP PPP sendiri yang akan mengumumkannya," katanya. Berbeda dengan Soedardji yang menolak berbicara, Syarifuddin Harahap malah terus menyerang. Ia menyebutkan adanya "pertentangan ideologis" dalam PPP dan menuntut agar DPP PPP m.enyatakan PPP bukan partai Islam. Bersama Achda ia telah membentuk semacam tim ahli perbaikan dan pengendalian operasional PPP yang akan bertugas memberikan pengarahan posisi partai. Juga menyempurnakan AD/ART partal agar sesual dengan tuntutan undang-undang dan Tap MPR. "Kami akan turun ke daerah, memberikan penerangan tentang Dekrit 17 November yang menyatakan bahwa PPP bukan partai Islam," ujarnya. Muktamar PPP Agustus lalu, kata Syarifuddin, tidak menerima asas Pancasila secara tuntas dan masih "menyembunyikan" asas Islam. Naro, katanya, secara sadar telah memberi kesempatan kepada "oknum-oknum fundamentalis" duduk dalam DPP yang dipimpinnya. Banyak yang menduga, Syarifuddin cukup mempunyai "beking" hingga berani menantang Naro, walau pada TEMPO ia mengaku, sikap dan tindakannya "spontan". Apakah kedua pembangkang Achda dan Syarifuddin akan di-recall, masih harus ditunggu. Mungkin DPP PPP akan bersikap hati-hati. Recalling terhadap dua anggota F-PP, Murtadho Makmur dan Ruhani Abdul Hakim, dengan alasan melanggar "aturan agama" dan alasan pribadi, tampaknya masih macet. Sesuai dengan prosedur, usul penarikan keduanya telah dikirimkan kepada ketua DPR 5 November lalu, tanpa menyebut alasannya. "Kami belum tahu alasannya. Berat kalau mengajukan kepada Presiden tanpa tahu alasannya. Ini bisa merepotkan Presiden, kami masih akan mengkonsultasikannya," kata ketua DPR Amirmachmud pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini