Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Oknum-oknum di jatiroto

Sewa menyewa tanah untuk tanaman tebu di jatiroto lumajang kacau, karena permainan penyewa tanah. suwandi, bupati lumajang akhirnya menyarankan untuk menerapkan inpres no.9 tentang tri.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH sampailah berita ke telinga Bupati Lumajang, Suwandi. Petani di Jatiroto melaporkan ada seorang bernama S menyewa tanah untuk tanaman tebu dengan harga semaunya. Yaitu. masing-masing per hektar per musim tebu (18 bulan) seharga Rp 60 ribu dan Rp 40 ribu. Meliputi 28 hektar di desa Kedungklampok dan 40 hektar di desa Tunjung. Meskipun pabrik sendiri punya peraturan harga sewa Rp 275 ribu per hektar per musim . Tapi S yang memperoleh sewaan tanah murah itu mungkin tak kena diperkara. Sebab ia bukan pabrik, lagi pula tidak dengan cara pabrik punya, ancam dan paksa. Hanya karena bupati dan petani kini tengah asyik maksyuk, maka tiba-tiba nongol bukti yang lain. S yang pensiunan pegawai Japen Kecamatan itu dianggap kurang bonafid untuk sejumlah uang. Tapi dengan kemampuannya sebagai ahli bicara S mempengaruhi petani seolah olah tengah melaksanakan kebijaksanaan bupati tentang perluasan areal tanaman tebu. S dituduh mencatut nama bupati. Begitulah. Ujung cerita: S hanya merupakan tangan (dan mulut) yang dipinjam oleh para sinder, pegawai PG Jatiroto. Dalam gugatan yang diajukan oleh Kepala Desa setempat dan Bupati, Kejaksaan Negeri Lumajang memanggil dan memeriksa 20 orang sinder yang diduga terlibat itu. Bernomor AX Mudah diduga. pabrik tidak suka kepada tindakan bupati. Pemeriksaan terhadap para sinder minta dihentikan. Alasannya. dapat mengganggu ketenangan menjelang musim tebang tebu dan dikawatirkan dapat menurunkan produksi gula dan bakal mengancam pengadaan pangan nasional. Tapi Bupati diam-diam terus menyelusuri jejak oknum pabrik gula yang dianggap merugikan petani itu. Lalu, ditemukan lagi dari petani kontrak tebu rakyat bahwa sejumlah pemenggalan masih juga menimpa mereka. Dilaporkan, pabrik gula Jatiroto membebankan biaya tebang dan angkut terlalu tinggi kepada tebu rakyat yang digulakan di pabrik. Yaitu, Rp 75 per kwintal. Berarti Rp 90.000 per hektar yang lazimnya menghasilkan 12 ton tebu. Begitu pula penetapan harga biaya secara sefihak dengan surat edaran Nomor: AX/SURED-75.003 tanggal 23 Juli '75 ini oleh petani ditanggapi, bukan saja memberatkan, bahkan dianggap bertentangan dengan SK Menteri Pertanian yang telah dikeluarkan 2 bulan sebelumnya tentang intensifikasi tebu rakyat, tertanggal 30 April 75 itu. Dalam lampiran SK ini tegas-tegas dicantumkan harga Rp 34.000 saja biaya tebang dan angkut tebu per hektar, dalam bentuk kredit. Dilaporkan juga, pabrik mengharuskan petani membeli karung gula dengan harga Rp 420 per lembar, padahal di luaran cuma Rp 300. Untuk pinjaman pupuk ZA juga tersembul bunga 1 1/2% per bulan. Sebaliknya, jika pabrik memerlukan bibit pucukan (bagian ujung batang tebu) diambil saja dari petani tanpa pembayaran. PG Jatiroto sendiri menjual bibit pucukan itu kepada pabrik gula lain dengan harga Rp 30.000 per hektar, terdiri dari 10 ribu potong. Para petani mengakui telah teken kontrak untuk kesemuanya itu pada saat mula menyatakan kerjasama usaha tebu dengan PG Jatiroto. tapi yang diinginkan adalah adanya musawarah untuk kesepakatan harga dan biaya. Bukan lantas main potong dari jumlah gula petani yang di pabrik. Inpes No.9 Tampaknya rumus kejadian ini segera dikenali Bupati Suwandi. Dari petani tebu Malang selatan yang khusus diundang ke Lumajang diperoleh perbandingan. Misalnya selama ini PG Kebon Agung dan PG Krebet di Malang senantiasa melayani segala kebutuhan di tempat petani. Malahan hak sortuatas tebu yang akan digiling diakui. Petani juga berhak menggiling tebunya sendiri. bila pabrik tak mampu penuhi persyaratan petani. Yang demikian itulah, akan ditrapkan di Lumajang. "Daripada petani tak mau tanam tebu lagi". ujar Suwandi agak merajuk. Sungguhpun demikian Inpres No.9 tahun 1975 tentang intensifikas tebu rakyat -- oleh petani dianggap ampuh. Tentunya, karena di samping upaya peningkatan produksi gula juga sekaligus pendapatan para petani digalakkan. Tapi hitung-hitung, setelah membaca SK Mentan No. 022/SK/MENTAN/BPB/75 yang menjabarkan Inpres itu dirasakan tumpul. Khususnya tentang prosentase yang 557 petani dan 457 pabrik. Seorang petani di Jatiroto menyatakan penilaiannya: "Realisasi SK Mentan lebih meng untungkan pabrik daripada petani". Ia menopang pendapat itu dengan hitungan perbandingan hasil tanaman padi dan tebu begini: Padi, 3 kali musim ( 4 ton = 12 ton/hektar, seharga Rp 660.000 dipotong biaya garap dan sarana produksi Rp 150.000 sisa (pendapatan bersih) = Rp 510.000. Tebu, rendemen 8 -- maksudnya tiap 1 kwintal tebu jadi 8 kilogram gula -- kali 1200 kwintal tebu perhektar= 96 kwintal gula. Bagian petani adalah 55 dari 96 Kw = 52,80 Kw gula, seharga Rp 642.930, dipotong paket kredit sejumlah Rp 315.000 sisa (pendapatan bersih) = Rp 327.930. Kalau tanaman tebunya terbakar atau kena hama? Bukan lagi tanggungan pabrik. Begitulah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus