ALKISAH sampailah berita ke telinga Bupati Lumajang, Suwandi.
Petani di Jatiroto melaporkan ada seorang bernama S menyewa
tanah untuk tanaman tebu dengan harga semaunya. Yaitu.
masing-masing per hektar per musim tebu (18 bulan) seharga Rp 60
ribu dan Rp 40 ribu. Meliputi 28 hektar di desa Kedungklampok
dan 40 hektar di desa Tunjung. Meskipun pabrik sendiri punya
peraturan harga sewa Rp 275 ribu per hektar per musim . Tapi S
yang memperoleh sewaan tanah murah itu mungkin tak kena
diperkara. Sebab ia bukan pabrik, lagi pula tidak dengan cara
pabrik punya, ancam dan paksa. Hanya karena bupati dan petani
kini tengah asyik maksyuk, maka tiba-tiba nongol bukti yang
lain. S yang pensiunan pegawai Japen Kecamatan itu dianggap
kurang bonafid untuk sejumlah uang. Tapi dengan kemampuannya
sebagai ahli bicara S mempengaruhi petani seolah olah tengah
melaksanakan kebijaksanaan bupati tentang perluasan areal
tanaman tebu. S dituduh mencatut nama bupati. Begitulah. Ujung
cerita: S hanya merupakan tangan (dan mulut) yang dipinjam oleh
para sinder, pegawai PG Jatiroto. Dalam gugatan yang diajukan
oleh Kepala Desa setempat dan Bupati, Kejaksaan Negeri Lumajang
memanggil dan memeriksa 20 orang sinder yang diduga terlibat
itu.
Bernomor AX
Mudah diduga. pabrik tidak suka kepada tindakan bupati.
Pemeriksaan terhadap para sinder minta dihentikan. Alasannya.
dapat mengganggu ketenangan menjelang musim tebang tebu dan
dikawatirkan dapat menurunkan produksi gula dan bakal mengancam
pengadaan pangan nasional. Tapi Bupati diam-diam terus
menyelusuri jejak oknum pabrik gula yang dianggap merugikan
petani itu. Lalu, ditemukan lagi dari petani kontrak tebu rakyat
bahwa sejumlah pemenggalan masih juga menimpa mereka.
Dilaporkan, pabrik gula Jatiroto membebankan biaya tebang dan
angkut terlalu tinggi kepada tebu rakyat yang digulakan di
pabrik. Yaitu, Rp 75 per kwintal. Berarti Rp 90.000 per hektar
yang lazimnya menghasilkan 12 ton tebu. Begitu pula penetapan
harga biaya secara sefihak dengan surat edaran Nomor:
AX/SURED-75.003 tanggal 23 Juli '75 ini oleh petani ditanggapi,
bukan saja memberatkan, bahkan dianggap bertentangan dengan SK
Menteri Pertanian yang telah dikeluarkan 2 bulan sebelumnya
tentang intensifikasi tebu rakyat, tertanggal 30 April 75 itu.
Dalam lampiran SK ini tegas-tegas dicantumkan harga Rp 34.000
saja biaya tebang dan angkut tebu per hektar, dalam bentuk
kredit.
Dilaporkan juga, pabrik mengharuskan petani membeli karung gula
dengan harga Rp 420 per lembar, padahal di luaran cuma Rp 300.
Untuk pinjaman pupuk ZA juga tersembul bunga 1 1/2% per bulan.
Sebaliknya, jika pabrik memerlukan bibit pucukan (bagian ujung
batang tebu) diambil saja dari petani tanpa pembayaran. PG
Jatiroto sendiri menjual bibit pucukan itu kepada pabrik gula
lain dengan harga Rp 30.000 per hektar, terdiri dari 10 ribu
potong. Para petani mengakui telah teken kontrak untuk
kesemuanya itu pada saat mula menyatakan kerjasama usaha tebu
dengan PG Jatiroto. tapi yang diinginkan adalah adanya musawarah
untuk kesepakatan harga dan biaya. Bukan lantas main potong dari
jumlah gula petani yang di pabrik.
Inpes No.9
Tampaknya rumus kejadian ini segera dikenali Bupati Suwandi.
Dari petani tebu Malang selatan yang khusus diundang ke Lumajang
diperoleh perbandingan. Misalnya selama ini PG Kebon Agung dan
PG Krebet di Malang senantiasa melayani segala kebutuhan di
tempat petani. Malahan hak sortuatas tebu yang akan digiling
diakui. Petani juga berhak menggiling tebunya sendiri. bila
pabrik tak mampu penuhi persyaratan petani. Yang demikian
itulah, akan ditrapkan di Lumajang. "Daripada petani tak mau
tanam tebu lagi". ujar Suwandi agak merajuk. Sungguhpun
demikian Inpres No.9 tahun 1975 tentang intensifikas tebu
rakyat -- oleh petani dianggap ampuh. Tentunya, karena di
samping upaya peningkatan produksi gula juga sekaligus
pendapatan para petani digalakkan. Tapi hitung-hitung, setelah
membaca SK Mentan No. 022/SK/MENTAN/BPB/75 yang menjabarkan
Inpres itu dirasakan tumpul. Khususnya tentang prosentase yang
557 petani dan 457 pabrik. Seorang petani di Jatiroto
menyatakan penilaiannya: "Realisasi SK Mentan lebih meng
untungkan pabrik daripada petani".
Ia menopang pendapat itu dengan hitungan perbandingan hasil
tanaman padi dan tebu begini: Padi, 3 kali musim ( 4 ton = 12
ton/hektar, seharga Rp 660.000 dipotong biaya garap dan sarana
produksi Rp 150.000 sisa (pendapatan bersih) = Rp 510.000. Tebu,
rendemen 8 -- maksudnya tiap 1 kwintal tebu jadi 8 kilogram gula
-- kali 1200 kwintal tebu perhektar= 96 kwintal gula. Bagian
petani adalah 55 dari 96 Kw = 52,80 Kw gula, seharga Rp
642.930, dipotong paket kredit sejumlah Rp 315.000 sisa
(pendapatan bersih) = Rp 327.930. Kalau tanaman tebunya terbakar
atau kena hama? Bukan lagi tanggungan pabrik. Begitulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini