TANAH sengketa itu persis di tebing Sungai Ayung, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Letaknya jauh dari jalan raya. Untuk sampai ke sana cuma ada jalan setapak. Ilalang dan batu-batu besar menutupi hampir seluruh bentangan. Luasnya cuma 4,192 ha. Sementara itu, kira-kira 500 meter dari situ -- masih di kawasan tebing -- bersemi sejumlah bungalo yang bermunculan sejak 1987. Itulah yang membikin tanah tebing itu jadi rebutan dan hingga pekan ini mengundang perbincangan sengit di Bali. Padahal dulu, "diberi pun saya nggak mau, sekarang malah jadi rebutan," kata seorang penduduk setempat. Maklum kini harganya melambung antara Rp 5 juta dan Rp 7 juta per are (100 meter persegi). Bahkan ada penduduk yang mengatakan sampai Rp 10 juta. Saat ini tanah itu di kuasai oleh lima petani buta huruf. Mereka adalah I Nardja, 'Tingglis, Ketut Tompel, Ketu Pecok, dan Sang Ayu Nyoman Kenyum. Konon, mereka memperolehnya dari leluhur mereka yang kebagian jatah program landreform pada 1963. Tapi dulu-dulunya tanah itu adalal milik seorang bangsawan, Tjokorda Gde Agung Sukawati. Sengketa bermula dari turunnya Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor K.52/XX/203/LRF/1988. Isinya, antara lain, membatalkan status obyek landreform tanah seluas 4,192 ha di Desa Kedewatan itu. Lalu tanah itu diserahkan kembali kepada pewarisnya Drs. Tjokorda Gde Raka Sukawati. Tentu saja Tingglis dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Begitu mengetahui SK Bupati, mereka segera mengajukan protes. Awal tahun lalu, mereka melayangkan warkah permohonan perolehan sertifikat kepada Deputi Pertanahan Nasional Pusat di Jakarta. Namun, entah bagaimana ceritanya, permohonan itu dikembalikan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Gianyar. Dan pada 20 Maret 1989, Drs. Suprapto mentah-mentah menolaknya. Sebaliknya, malah terbit sertifikat atas nama Tjokorda Gde Agung Sukawati. Tingglis cs pun gemas. Mereka tak mau menyerahkannya pada Tjokorde Gde Raka, bahkan pernah membawanya ke pengadilan. Belakangan mereka berniat mengadu ke DPRD. Ternyata, turunnya SK itu ada sejarahnya. Tersebutlah pada 10 Oktober 1986, Drs. Tjokorda Gde Raka Sukawati -- ahli waris Gde Agung -- melayangkan surat ke Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gianyar. Isinya menyatakan bahwa tanah yang diwarisi keturunan Tjokorde Gde Agung -- jumlah setelah diberlakukannya Surat Keputusan Panitia (SKP) Landreform Daerah Tingkat II Gianyar tanggal 21 Agustus 1963 Nomor 556/XX/203/63 -- luasnya tidak sesuai dengan catatan keluarga. Sebelum SKP Landreform diberlakukan, keluarga Tjokorde Gde Agung memiliki sawah seluas 25,885 ha dan tanah darat bukan sawah -- 42,300 ha. Setelah SKP mestinya dia hanya boleh memiliki tanah pertanian -- sawah -- seluas 8,25 ha. Tahun 1964 Tjokorde Gde Agung memilih 4,130 ha sawah dan 4,480 ha tanah darat. Jumlah seluruhnya menjadi 8,610 ha. Di samping itu, dia juga boleh mengambil tanah non-pertanian seluas 2,370 ha. Sisanya didistribusikan dan diserahkan kepada negara. Ternyata, tanah yang diwarisi keturunannya cuma 2,465 ha sawah dan 2,756 ha darat. Lacak punya lacak, kekurangan itu berawal pada 1964. Menurut SK, sebagian tanah itu telanjur jadi bagian yang didistribusikan, sebagian lagi dibagikan kepada para penggarap, dan sebagian lainnya dinyatakan hilang atau tidak ada. Nah, Pemerintah harus menggantinya. Kebetulan sebagian tanah Tjokorde Gde Agung terletak di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud. Luasnya mencapai 7,782 ha yang digarap oleh penduduk setempat dan dianggap sebagai tanah redistribusi. Namun, menurut SK Bupati, setelah diteliti ulang, yang diredistribusikan ternyata cuma 3,590 ha. Jadi, sisanya, 4,192 ha, adalah milik negara yang masih digarap Tingglis dan kawan-kawannya. Tanah inilah yang dijadikan pengganti kekurangan tanah Tjokorde Gde Raka. Tingglis belum menyerah, meski sempat diperiksa Polres Gianyar -- dengan tuduhan menyerobot tanah, dan belakangan digugat Tjokorde Gde Raka. Ia minta bantuan pengacara I Ketut Nurja, S.H.-- atas nama penduduk yang merasa di- rugikan. "Bupati tidak berhak membatalkan keputusan Panitia Landreform. Yang boleh membatalkan adalah Menteri Agraria, bukan Bupati," kata I Ketut Nurja gencar. "Landreform ditetapkan berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 yang dibuat DPR. Jadi Bupati sedikit pun tidak bisa membatalkannya." Kasus Desa Kedewatan ini cuma salah satu di antara sejumlah lokasi bekas redistribusi. Di kala para pengusaha hotel ramai-ramai mencari tanah di Bali dan harganya melejit gila-gilaan, muncul kekhawatiran. Jangan-jangan nasib Tingglis dan rekan-rekannya akan menimpa pentai-petani penggarap tanah redistribusi lain. Tapi Tjokorde Gde Raka buka suara. Ia menolak tuduhan bahwa panasnya harga tanah itulah yang sekonyong-konyong mendorong ia "menyengketakan" tebing Sungai Ayung itu. "Daripada saya jual, kan lebih baik saya usahakan sendiri," ucap pengelola Hotel Campuan, Ubud, itu. Priyono B. Sumbogo (Jakarta) dan Silawati (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini