Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

P2G Sebut Praktik Jual Beli Seragam Sekolah Mahal Tak Tingkatkan Mutu Pendidikan

Seragam sekolah yang dijual dengan harga mahal seperti kasus di Tulungagung dinilai tak meningkatkan mutu pendidikan oleh P2G.

27 Juli 2023 | 21.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga membeli seragam sekolah di Pasar Jatinegara, Jakarta, Ahad, 29 Agustus 2021. Permintaan seragam sekolah meningkat menjelang pelaksanaan sekolah tatap muka di Jakarta yang akan dimulai Senin esok, 30 Agustus 2021. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyesalkan praktik jual beli seragam sekolah dengan harga mahal yang membebani orang tua siswa, seperti yang terjadi di Kabupaten Tulungagung baru-baru ini. Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Kamis, 27 Juli 2023, mereka menyampaikan lima poin kritik dan evaluasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

P2G melakukan observasi lapangan yang menunjukkan bahwa pada umumnya, terdapat lima jenis seragam sekolah. Jenis-jenis seragam tersebut adalah seragam putih yang dipadukan dengan warna sesuai jenjang SD/SMP/SMA/SMK, seragam olahraga, seragam Pramuka, seragam Jumat dan seragam khas daerah seperti batik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mempertimbangkan hal tersebut, juga biaya yang tinggi untuk membelinya, poin pertama P2G adalah meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Risetndan Teknologi (Kemendikbudristek) meninjau ulang Peraturan Mendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Siswa Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

“Fakta tersebut menunjukkan betapa banyaknya seragam yang dipakai siswa dan pembelian seragam sebanyak itu jelas membebani orang tua. Belum lagi baju kegiatan ekstrakurikuler lain,” kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri.

Selain dibebani biaya seragam sekolah, orang tua harus memenuhi kebutuhan sekolah lainnya, seperti sepatu, tas dan buku. Belum lagi, uang pangkal dan SPP yang harus dibayarkan untuk sekolah swasta.

"Hal tersebut membuktikan pendidikan nasional Indonesia masih membebani orang tua siswa dengan biaya mahal," kata Iman.

Imam mengingatkan bahwa kebijakan yang melahirkan pemakaian seragam yang begitu banyak tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan. “Jangan sampai kita terlalu sibuk mengatur seragam anak, lantas mengorbankan waktu dan tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan,’” ujarnya.

 Selanjutnya, menurut P2G, biaya seragam sudah seharusnya masuk dalam skema pembiayaan BOS dari pusat atau BOS Daerah, maka aturannya mesti diperluas untuk mencakup seragam. Selain dengan BOS, penyediaan seragam bisa dilakukan dengan skema lain yang dikembangkan oleh pemerintah daerah, misalnya, di Jakarta dapat digunakan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus bagi siswa dari latar belakang ekonomi tidak mampu.

P2G pun menilai praktik jual beli seragam dan atribut sekolah lain kerap terjadi karena tingginya demand atau permintaan dari orang tua. Karena itu, pihak sekolah melihat ada peluang bisnis sehingga terjadi fenomena demand and supply.

Padahal, praktik jual beli seragam di sekolah sudah dilarang berdasarkan Pasal 13 Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022. Komite Sekolah sebagai wadah orang tua siswa, baik individu atau kolektif juga dilarang melakukan jual beli seragam di sekolah menurut Pasal 12 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

"Artinya baik guru atau orang tua dilarang melakukan praktik bisnis jual beli tersebut,” ucap Dewan Pakar P2G, Anggi Afriansyah.

Kemudian, P2G juga mendesak Dinas Pendidikan untuk menyisir sekolah yang melakukan praktik terlarang itu. Sebab, sudah bukan rahasia lagi hal demikian berlangsung di sekolah negeri sejak lama.

“Mengapa praktik itu masih terjadi? Karena tidak adanya pengawasan dan sanksi tegas dari Dinas Pendidikan atau kepala daerah,” kata Anggi.

Bagi P2G, seharusnya keberadaan Pengawas Sekolah dapat mencegah terulangnya praktik ini. Tapi pengawas dinilai malah membiarkan dan menormalisasi hal tersebut. Faktor monitoring yang hanya administratif juga disebut menjadi penyebab sehingga tidak ada pencegahan atau penindakan praktik jual beli seragam dari pengawas.

P2G berpendapat bahwa kasus di Tulungagung menjadi contoh, untung saja orang tua siswa berani bicara dan mengangkat isu tersebut di media sosial. Mereka meminta orang tua dan siswa untuk jangan takut bersuara jika terjadi penyimpangan aturan di sekolah.

P2G pun meminta semua Dinas Pendidikan merevitalisasi peran pengawas agar bekerja profesional, objektif, transparan dan tegas sesuai hukum yang berlaku. “Pengawas jangan bertindak formalitas dan seremonial saja dalam memantau, mendampingi, dan mengevaluasi sekolah," kata Anggi.

Terakhir, P2G mendorong Dinas Pendidikan agar bersikap tegas memberi sanksi sesuai aturan kepada oknum guru, kepala sekolah, pengawas yang terindikasi kuat melakukan praktik jual beli seragam atau yang membiarkannya.

Nabiila Azzahra

Nabiila Azzahra

Reporter Tempo sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus