Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pada Sebuah Kapal

Selain membantu warga Aceh, rumah sakit terapung USNS Mercy membuka mata sebagian warga Amerika tentang bencana di Aceh. Wartawan Tempo Arif Zulkifli bermalam di kapal itu.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN wajah baru dipermak, raut lelaki itu praktis hanya punya satu mimik: paras yang merengut dengan rahang membengkak. Ia tak bisa tersenyum, apalagi bicara. Selama berbulan-bulan rahang Yulizar Yusuf, lelaki paruh baya itu, terserang tumor ganas. Pengobatan di Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh, tak membawa hasil.

Ia bahkan sudah empat kali dioperasi di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. Tapi rahangnya tetap membusuk. Beruntung Adliani, istrinya yang perawat di RS Zainoel Abidin, mendapat tawaran menarik. Suaminya bisa dioperasi di United States Navy Ship (USNS) Mercy?rumah sakit terapung Angkatan Laut Amerika Serikat yang dioperasikan membantu warga Aceh setelah tsunami.

Yulizar diterbangkan ke sana, dan keajaiban itu pun terjadi. "Tulang rusuk Bapak dicopot untuk menggantikan tulang rahangnya," kata Adliani sambil menyeka air mata. Untuk menambal hidung Yulizar yang ikut rusak, sekerat otot dari kepala bagian depan diambil. Bekas luka itu masih tampak: selarik jahitan panjang melintasi dahi Yulizar yang tak lebar.

Adliani bersyukur. "Mungkin ini takdir Tuhan," katanya. "Bangsa Amerika canggih, bangsa kita tak punya duit." Untuk semua pengobatan itu, sesen pun Adliani tak dikutip ongkos.

Sudah lebih dari sebulan Mercy beroperasi di perairan Aceh. Rabu pekan ini, kapal besar itu akan angkat sauh. Pemerintah Indonesia mematok tenggat 26 Maret kepada pasukan asing?kecuali badan tertentu yang diinginkan Indonesia?supaya balik ke negerinya masing-masing.

Bertolak sepekan setelah tsunami mengamuk, Mercy butuh satu bulan perjalanan dari pangkalannya di San Diego, Amerika Serikat, menuju Tanah Jeumpa. Di Aceh, ia menggantikan Kapal Induk Abraham Lincoln yang sudah lempar sauh sebelumnya.

Berlayar perlahan di perairan Aceh?kecepatan maksimalnya hanya 17,5 knot?Mercy mengobati semuanya: para pasien korban tsunami atau bukan. Yulizar termasuk yang kedua. Rumahnya di kawasan Ketapang, Banda Aceh, tak ikut diterjang tsunami.

Mereka yang dibawa ke Mercy dipilih berdasarkan rekomendasi berbagai pihak: dokter Amerika yang bertugas di darat, Palang Merah Indonesia, Palang Merah Internasional, dokter dalam negeri, atau relawan asing. "Ada pula yang dibawa ke sini sekadar untuk menjalani pemeriksaan CT-scan," kata seorang suster di Mercy. "Soalnya, alat itu tak ada di darat."

USNS Mercy adalah kapal raksasa putih dengan tanda palang merah besar ditorehkan di anjungan dan lambungnya. Luasnya tiga kali lapangan sepak bola. Kapal ini meliputi tujuh lantai yang dihubungkan dengan lift. Lantai 01 dan 02, yang terletak paling atas, digunakan untuk menyimpan obat-obatan, laboratorium, dan sejenisnya.

Lalu M (main deck) di bawahnya meliputi ruang gawat darurat dan ruang operasi. Di bawahnya lagi tersusun lantai 2 hingga 5, yang digunakan sebagai bangsal para pasien. Mercy memiliki 250 tempat tidur, dan bisa ditambah hingga 1.000 jika diperlukan. Di dalam kapal itu ada 12 kamar operasi, 20 tempat tidur untuk perawatan pasca-operasi, dan 80 dipan untuk perawatan intensif.

Dokter rumah sakit terapung itu mampu menjalankan pelbagai jenis operasi kelas berat seperti bedah jantung atau operasi tulang seperti yang dialami Yulizar. Mau cabut gigi? Di sana ada poliklinik gigi dengan enam bilik pemeriksaan. "Ada dua dokter gigi sipil dan empat dokter gigi militer di sini," kata Randy Walker, pimpinan unit gigi USNS Mercy.

Para pasien diberi makan tiga kali sehari dengan menu yang diupayakan sesuai dengan selera mereka. Hari itu para pasien disuguhi steak daging sapi seukuran dua telapak tangan orang dewasa, brokoli, dan sayur wortel. Hospital ini juga menanggung seorang penunggu pasien yang diberi dipan di sebelah si sakit.

Selama dalam perawatan, pasien sesekali diberi kesempatan menghubungi keluarga dengan telepon milik kapal. Telepon genggam tak meraih sinyal dalam perut kapal yang rapat tertutup. Adliani senang di rumah sakit itu, mesti berhari-hari ia tak menatap langit. "Di sini siang dan malam sama saja," katanya.

Sepekan sekali seorang prajurit AL memberikan siraman rohani kepada para pasien, sesuai dengan agama si sakit. Untuk pasien muslim, pendakwah itu bernama Husein, tentara mualaf yang fasih mengutip kisah-kisah nabi. Soal halal-haram makanan yang disajikan kepada pasien, "Saya tak peduli," kata perempuan berjilbab itu. "Yang penting suami saya bisa sembuh."

JANGAN membayangkan Mercy hospital mewah. Ruang-ruang di sana sangat bersahaja. Dinding kamar dari baja dicat putih, krem, atau hijau muda. Tak ada sofa mentereng atau televisi di ruang pasien. Ruang kerja awak kabin hanya kamar 3x4 meter berplafon rendah. Semua ruang berpenyejuk udara karena tak ada jendela.

Semua pasien tinggal di dalam barak berukuran sekitar 200 meter persegi?tak ada kelas-kelasan. Di dalamnya terdapat 20 tempat tidur bertingkat dua: dipan 1x2 meter dengan kasur lateks berseprai putih. Pada sisi masing-masing dipan ada lampu baca, tangki oksigen, dan sebuah rak kecil dari besi.

Kamar mandi di bagian belakang, khas sailor. Sebuah ruang besar yang terdiri dari wastafel besar, empat WC, dua urinoir, dan tujuh bilik mandi. Buat orang Indonesia, bilik ini jadi persoalan. Dilengkapi shower, ukuran bilik ini 1x0,5 meter, dan hanya ditutupi gorden plastik. Di dalam bilik tak ada gantungan baju. Walhasil, seseorang yang hendak mandi hanya bisa membawa handuk yang diselipkan di dekat shower. Untuk berpakaian lengkap, ia harus keluar setengah telanjang.

Para wartawan yang diundang menginap di USNS Mercy diletakkan dalam dua barak tanpa pasien. Wartawan perempuan di lantai tiga, wartawan pria di lantai lima. "Morning," Bruce Wallace, wartawan Los Angles Times, suatu pagi menyapa. Dia menyembulkan kepala dari balik kamar mandinya dan mempertontonkan sebagian tubuhnya yang tanpa busana. "Morning," jawabku seadanya. Dalam hati aku mengumpat: seandainya aku berada di bilik pasien wanita....

SEBELUM menjadi hospital terapung, USNS Mercy adalah supertanker. Pada 1986, di San Diego, kapal ini disulap menjadi rumah sakit. Palkanya dibedah, ditata ulang, dan diisi dengan peralatan medis modern. Di lambung kiri dan kanan diberi ruang yang diisi 35 ribu ton air laut, sebagai penyeimbang kapal.

Dengan kelengkapan itu, kapal praktis tidak oleng meski dihantam ombak. Itulah sebabnya, operasi berpresisi tinggi, seperti bedah jantung, bisa dilakukan meski kapal sedang melaju. Untuk mengurangi guncangan, kabin bedah diletakkan di tengah perut kapal.

Selain memiliki USNS Mercy, Amerika mempunyai kapal sejenis bernama USNS Comfort. Jam terbang Mercy tak seberapa dibandingkan dengan kawannya itu. Comfort pernah beroperasi dalam Perang Irak sepanjang 2002-2003. Dalam insiden 11 September, Comfort menampung banyak korban serangan teroris terhadap menara WTC di New York itu. Jika sedang tak beroperasi, Comfort memang mangkal di Manhattan, New York.

Sepanjang sejarahnya, Amerika Serikat pernah memiliki beberapa rumah sakit terapung. Dalam Perang Vietnam, Amerika mengoperasikan USS Repose. Dalam Perang Korea ada USS Consolation, USS Haven, dan USS Repose. USS Solace dan USS Relief dikenang karena perannya dalam menyelamatkan korban serangan Jepang terhadap pangkalan Amerika di Pearl Harbor, Desember 1941.

Mercy belum banyak berperan. Sebelum ke Aceh, ia pernah bertugas dalam Operasi Badai Gurun 1991. Selebihnya ia hanya menunggu di pangkalannya di San Diego. Selama tak beroperasi, Mercy hanya ditunggui beberapa teknisi.

Dioperasikan oleh Marinir Amerika Serikat, USNS Mercy jauh dari kesan sangar. Di geladak kapal hanya terdapat dua senapan berpenyangga?di kiri dan kanan?menghadap laut. Pada siang yang menyalak hari itu, hanya terlihat dua marinir Amerika bersenjata lengkap serta tiga tentara Jerman yang sedang bertamu. Tentara Amerika lainnya bekerja dengan baju loreng tanpa senjata. Selebihnya adalah prajurit dengan wear pack biru pekat atau seragam operasi para dokter berwarna hijau muda.

Adakah bedanya melakukan operasi militer dan operasi kemanusiaan seperti di Aceh? Kapten USNS Mercy, David M. Llewellyn, menjawab sama saja. "Perang atau bencana, keduanya bagi kami sama-sama tragedi," katanya. "Lalu mengapa perang Irak mesti terjadi? Mengapa Amerika menyerang Irak?" saya menyergah. Llewellyn tersenyum. "Wah, kalau itu, lain soalnya," katanya. Ia tak melanjutkan bicara.

MANN, bisa bantu kami mengangkat peti ini," seorang tentara muda menyapa Mann Bashon, petugas hubungan masyarakat yang hari itu mengantar kami menyusuri lorong-lorong USNS Mercy. Lelaki berkulit hitam dan berbadan ekstrakekar itu berhenti. "Saya bantu mereka dulu, ya," katanya.

Sesaat ia membungkukkan badan, tapi, surprise!..., seorang marinir perempuan melompat dari dalam peti. Bashon hampir terlempar karena kaget. Semua orang tertawa. Juga Bashon. Barisan gigi putih menyembul dari balik bibirnya yang hitam pekat.

Selalu ada cara untuk mengusir jenuh di USNS Mercy. Kalau tidak bercanda dengan sesama prajurit, awak Mercy ngobrol dan merokok di geladak?satu-satunya ruang tempat orang diizinkan merokok. Harap maklum: hampir dua bulan sebagian besar awak Mercy tak pernah meninggalkan kapal.

Aktivitas lainnya adalah bermain pingpong, berbelanja di minimarket, mengirim surat melalui kantor pos, atau berselancar di Internet. Malam hari ada kelas senam dan yoga. Jika sedang iseng, para penghuni kapal bisa juga membeli camilan di mesin penjual minuman kaleng dan makanan kecil. Tentu saja mesin itu hanya menerima recehan dolar.

Ruang makan adalah tempat favorit para marinir melepas lelah. Sebuah ruangan jembar, sekitar 200 meter persegi. Kursi-kursi makan biru disusun mengitari beberapa meja berbentuk persegi panjang. Agak ke sisi kiri terdapat meja besar tempat orang mengambil buah, aneka minuman panas dan dingin. Di depan, sebuah tv flat besar tergantung dan memutar film-film Hollywood. Sebuah kamar untuk mengambil makanan terletak di sisi restoran.

Semua bahan makanan USNS Mercy dipasok dari Amerika Serikat. Secara rutin, sebuah kapal pemasok mendatangi Mercy untuk menyuplai makanan dan bahan bakar. Bahkan telur dan beras "diimpor" dari negeri asal kapal itu. Itu sebabnya tak pernah ada nasi yang pulen di sana. Yang ada nasi buyar berbutir besar khas produk Amerika. "Semua bahan makan diperiksa dulu sebelum dikirim kemari," kata Jhun Millan, kepala bagian gudang. Itulah sebabnya biaya operasi USNS Mercy sangat besar. Diperkirakan sehari kapal itu menghabiskan US$ 70 ribu atau sekitar Rp 640 juta.

TAK semua awak Mercy pernah ke daratan Banda Aceh. Umumnya mereka bahkan baru pertama kali ini datang ke Indonesia. Beberapa awak ikut berlayar bersama USNS Mercy sejak dari San Diego. Yang lain diterbangkan dari Washington menuju Aceh, lewat Singapura dan Medan. Di Aceh mereka hanya menunggu sebentar di Pangkalan TNI AU Blang Bintang, untuk kemudian dijemput helikopter menuju kapal.

"Bagaimana keadaan di darat sana?" kata Bobby, begitu ia menyebut namanya. Ia seorang pria Hawaii berdada lebar dan memakai emas di dua gigi seri sebelah kiri. Bobby adalah teknisi di kapal itu. Siang itu, bersama seorang kawan ia sibuk memperbaiki mesin sebuah sekoci. Ia mengundangku naik ke sekocinya.

Aku bercerita tentang kehancuran Aceh pascatsunami. Tentang orang-orang yang mati, anak-anak yang kehilangan orang tua, rumah-rumah yang rata tanah. Bobby termangu. "Semua habis begitu saja," katanya sedih.

Kapten David M. Llewellyn mengakui kunjungannya ke Aceh membuka matanya tentang penderitaan para korban. "Hikmah kasus ini adalah kita menyadari bahwa di Pasifik ini kita semua bertetangga," katanya.

Dalam sebuah obrolan di sela santap malam, Bruce Wallace mengagumi perhatian pemerintah Amerika terhadap korban tsunami. Padahal, katanya, tak ada warga Amerika yang menjadi korban. Bandingkan dengan Swedia, yang kehilangan 3.000 warganya yang tengah berwisata di Thailand ketika humbalang air itu datang.

Sudah lama memang warga Amerika dikenal tak merasa perlu pergi ke luar negeri. Saat ini kurang dari 10 persen warga Amerika yang memiliki paspor. Mereka dinilai tak berkepentingan mengetahui dunia luar. Llewellyn menyadari fakta itu. Pada akhir kunjungan kami, pria asal Inggris yang beristrikan perempuan Cina-Amerika itu melempar lelucon teka-teki.

"Anda tahu apa sebutan bagi orang yang menguasai tiga bahasa?" katanya.

"Trilingual person," jawab seorang teman.

"Kalau dua bahasa?" "Bilingual." "Satu bahasa?" "Monolingual." "No, Anda salah. It's us, Americans."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus