Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berkah di Atas Reruntuhan

Pasca-tsunami hebat, bisnis kembali menggeliat di Aceh. Panti pijat, rental mobil, penyewaan rumah, dan hotel tengah booming.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG-orang asing itu tengah asyik menikmati layanan spesial Klinik Pijat Fakhriah di Jalan Sudirman, Geuceu Inem, Banda Aceh, pekan lalu. Cukup dengan Rp 150 ribu, mereka menerima menu komplet: pijat refleksi, bekam Tiongkok, lulur, dan mandi sauna. Selama satu setengah jam, tangan-tangan piawai nan lembut memanjakan tubuh-tubuh yang penat. "Saya kembali fresh dan siap menghadapi situasi Aceh yang berat," ujar Janet Viona, pengunjung Klinik Pijat Fakhriah.

Ya, tsunami yang menghajar Aceh 26 Desember 2004 silam justru membawa berkah bagi Klinik Fakhriah. Jumlah pelanggan yang datang meningkat. Kini setiap hari tak kurang dari 15 tamu datang untuk melepas penat. Dan Fakhriah, 31 tahun, perempuan pemilik klinik itu, optimistis jumlah tamunya akan terus bertambah. "Dulu setiap hari cuma ada lima tamu. Ini berkah tsunami," ujar Fakhriah.

Boleh jadi, Aceh kini menjadi lahan subur bagi bisnis melemaskan otot. Tak cuma panti pijat "serius" yang menangguk berkah. Beberapa panti pijat yang mempekerjakan tunanetra juga meraup untung besar. Panti Pijat Tunanetra Mandiri, misalnya, kini kebanjiran tamu. Dengan tarif Rp 15 ribu untuk pemijatan all in, panti pijat yang berlokasi di depan Hotel Sultan, Banda Aceh, ini dipenuhi tamu. Bukhari, salah seorang pemijat senior, mengaku tiap hari memijat sekitar dua puluh orang. "Sehari saya bisa mendapat Rp 300 ribu, dua kali lipat dibanding sebelum tsunami," ucapnya.

Jangan lupa, Aceh adalah negeri yang menerapkan syariat Islam dengan ketat. Jangan sekali-kali membayangkan sebuah panti pijat esek-esek yang bisa memberi layanan "plus". Di Klinik Pijat Fakhriah, misalnya, tamu laki-laki hanya akan dilayani pemijat laki-laki. Sebaliknya, tamu perempuan juga hanya mendapat sentuhan pemijat perempuan. "Jangan berpikir macam-macam soal klinik pijat di Aceh," ujar Fakhriah.

Bisnis hotel juga sedang menangguk untung besar. Ribuan relawan asing, aktivis LSM, dan wartawan kini memilih hotel sebagai akomodasi yang "murah". Beberapa hotel, antara lain Hotel Sultan, Hotel Medan, Hotel Prapat, dan Hotel Rasamala, sejak bulan lalu kembali beroperasi. Tingkat hunian kamar hotel itu kini hampir selalu mencapai 100 persen. Tengok saja Hotel Sultan, yang terletak di jantung Kota Banda Aceh, kini selalu berstatus fully-booked. Dengan tarif kamar Rp 250 ribu hingga Rp 1,25 juta per hari, hotel yang memiliki 86 kamar ini tak pernah kekurangan tamu. "Kami terpaksa kerap menolak tamu yang datang," ujar Tarmizi Ali, penyelia tamu Hotel Sultan.

Muhammad Surya, wartawan Asahi Shimbun, misalnya, mengaku memilih hotel karena praktis dan relatif murah. Berbeda dengan saat awal tsunami, Surya mengakui kantornya mulai membatasi dana liputan di Aceh. Untuk dua wartawannya, biaya akomodasi hotel yang berfasilitas lengkap, Asahi Shimbun "hanya" mengeluarkan Rp 15 juta per bulan. "Itu lebih murah ketimbang menyewa sebuah rumah," ujar Muhammad Surya.

Meskipun beberapa hotel telah beroperasi, bisnis penyewaan rumah masih tetap marak. Iklan di koran lokal dan "iklan tempel" di pohon-pohon kini ramai menawarkan penyewaan rumah. Soal tarif? Masih selangit. Lihat saja sebuah rumah di kawasan Geuceu, Banda Aceh, yang kini disewa sebuah LSM asing. Rumah asri yang memiliki enam kamar lengkap dengan pelbagai perabotan itu dilepas dengan harga sewa Rp 500 juta per tahun. "Mereka butuh rumah yang cocok untuk aktivitas di Aceh," ujar Hamdan, kerabat pemilik rumah.

Memang tak semua rumah mematok harga kelewat tinggi. Husein, pemilik rumah di Jalan Iskandar, Ulee Kareng, Banda Aceh, menyewakan rumahnya dengan harga "miring". Rumah yang memiliki empat kamar lengkap dengan perabotannya itu disewa LSM CARE dengan Rp 120 juta per tahun. "Harga itu jauh di atas pasaran sebelum tsunami," ujar Husein. Kini rumah itu ditempati beberapa staf medis CARE.

Ada juga bisnis lain yang tetap menggeliat. Khairul Huda, pengusaha penyewaan mobil di Banda Aceh, misalnya, mengaku meraup untung besar berkat tsunami. Pemilik sembilan mobil Kijang itu kini mematok tarif sewa Rp 600 ribu per hari. Khairul mengaku tak terlalu memasang harga tinggi agar pelanggannya tak kabur. Wartawan, relawan, dan warga asing yang menyerbu Aceh menjadi pelanggan mobil sewaan miliknya "Pasca-tsunami, saya bisa beli satu Kijang baru," kata Khairul.

Rupanya, selalu ada celah dalam setiap kesulitan. Bagi mereka yang jeli dan bernasib baik, bencana besar itu justru menjadi peluang meraup rezeki.

Setiyardi, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus