Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERSANGKUT masalah pengadaan kertas uang Peruri pada tahun 2000 tidak menjadikan bisnis PT Pura Barutama surut. Malah, pekan-pekan ini keuntungan besar tinggal menunggu waktu untuk jatuh ke tangan percetakan besar di Kudus itu. Pura Barutama tengah bertarung untuk memenangi tender pencetakan kartu pemilih pemilihan umum tingkat daerah. Yang dijual Pura untuk merebut tender tentulah kemenangannya dalam pengadaan kartu pemilih yang dipakai dalam tiga kali pemilu pada tahun 2004.
"Kami secara aktif sudah melakukan lobi-lobi," ucap Hasan Aoni Azis, Manajer Pemasaran Pura. Lobi itu kelihatannya berjalan baik. Pura mengaku sudah dihubungi beberapa Komisi Pemilihan Umum daerah.
Soal kartu pemilih adalah biang keributan setelah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya disebut pemilihan kepala daerah), yang ditandatangani Presiden Yudhoyono dua pekan lalu. Dalam lampiran peraturan pemerintah itu, melalui Departemen Dalam Negeri diputuskan membuat kartu pemilih baru.
Seperti diketahui, dalam tiga kali pemilihan umum sepanjang 2004, Komisi Pemilihan Umum sudah menerbitkan kartu pemilih. Kartu warna biru seukuran kartu tanda penduduk itu adalah lembar identitas pemilih yang sudah terdaftar. Hanya pemegang kartu pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya. Kartu itu ditunjukkan kepada petugas pemungutan suara sebelum pemegang kartu mencoblos. Di halaman depan terdapat keterangan nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, serta alamat pemilih. Di baliknya ada lima poin ketentuan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum. Di antaranya, pemegang kartu harus memperlihatkan kartu kepada petugas tempat pemungutan suara pada "setiap penyelenggaraan pemilihan umum".
Artinya, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), kartu pemilih juga dapat dipakai dalam pemilihan kepala daerah. Apabila sekarang diterbitkan kartu pemilih baru, tentu kartu pemilih versi KPU?yang dibuat dengan tender dan dana besar?akan mubazir. Kartu pemilih itu dibuat oleh PT Pura Barutama dan menghabiskan Rp 69 miliar.
Hamid Awaluddin, menteri yang pada tahun 2004 menjabat Ketua Panitia Pengadaan Kartu Pemilih, bahkan menyatakan kartu pemilih bisa menjadi kartu identitas seumur hidup untuk mengikuti pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Karena itu, kata Hamid yang kini menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kartu identitas pemilih pada Pemilu 2004 itu dibuat tahan lama, dengan teknologi security printing pula.
Maka, keputusan dari Istana ini memancing protes dari berbagai pihak. Salah satu pihak yang paling keras berteriak adalah Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua Komisi Pemilihan Umum. Menurut dia, sejak awal pembuatan peraturan pemerintah tentang pemilihan kepala daerah, Komisi Pemilihan Umum telah mempersoalkan rencana Departemen Dalam Negeri untuk menerbitkan kartu pemilih baru. Penerbitan kartu pemilih baru tentu akan menyedot dana yang besar.
"Jika dibuatkan kartu baru, negara ini bisa bangkrut," ujar Nazaruddin tegas. Ia yakin biayanya akan kian gendut lantaran tiap Komisi Pemilihan Umum daerah berwenang mencetak kartu sendiri. Pada Juni mendatang, akan ada 226 pemilihan, yaitu 11 gubernur, 179 bupati, dan 36 wali kota.
Tentu perlu tambahan dana tak sedikit untuk mencetak kartu pemilih yang baru. Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih tercatat sekitar 148 juta yang tersebar di 32 provinsi, 440 kabupaten, dan 5.110 kecamatan. Ketika itu dibutuhkan dana pencetakan kartu pemilih senilai Rp 69 miliar. Seandainya pemilihan 11 gubernur dan jajaran di bawahnya mulai Juni 2005 nanti dianggap berskala kegiatan sepertiga saja dari Pemilu 2004, secara hitungan kasar saja dana pencetakan kartu pemilih akan menghabiskan lebih dari Rp 20 miliar.
Protes pun bergema dari Senayan. Ryaas Rasyid, anggota Komisi II DPR, mengusung ketidaksetujuannya. "Ini hura-hura Depdagri dalam mengeluarkan dana pilkada," ujar Ryaas, yang menyingkat pemilihan kepala daerah dengan sebutan "pilkada". Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah ini menilai pembuatan kartu pemilih baru tak mungkin didahului pendaftaran ulang pemilih. Waktunya tak cukup. Maklum saja, pemilihan para bos di daerah ini akan digelar bulan Juni, tinggal tiga bulan lagi.
Dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6/2005, disebutkan bahwa kartu pemilih baru itu berisi lima data dasar: nomor, nama lengkap, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat pemilih. Persis seperti hasil pendataan pemilu lalu. Kalau dipaksakan pembuatan kartu baru dari data yang sama, "Itu namanya KKN yang telanjang,'' ujar Ryaas.
Problem sepotong kartu juga tertiup sampai daerah. Didik Prasetiyono dari Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur menyatakan pihaknya dalam dilema besar. Sebelumnya, KPU daerah se-Jawa Timur sepakat memakai perangkat Pemilu 2004 yang masih bisa dipakai, termasuk kartu pemilih. Tiba-tiba Jakarta menetaskan peraturan tentang kartu pemilih baru. "Mau tetap menggunakan kartu yang lama berarti melanggar PP. Kalau melaksanakan, berarti pembengkakan biaya dalam jumlah besar," keluhnya.
Saat ini KPU Jawa Timur?bersama 21 KPU daerah lain?tengah menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan mereka terhadap Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 itu. Dalam gugatannya, mereka menuntut agar dapat melaksanakan pemilihan kepala daerah cukup berdasarkan surat keputusan KPU, bukan peraturan pemerintah. "Kalau gugatan kami menang, salah satu efeknya jelas: penghematan kartu suara," ia menegaskan.
Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf menampik aneka tudingan itu. Menurut dia, pembuatan kartu pemilih baru ini bertujuan memperbarui data kependudukan yang orientasinya pada nomor induk kependudukan. Jadi, "Sambil membuat kartu pemilih, kita juga mendata kependudukan," kata Ma'ruf. Karena itu, program pendataan ini berada di bawah Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan.
Padahal, data yang sama sebenarnya telah dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan KPU lewat Program Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B), yang dipakai dalam pemilu lalu. Database ini telah disorongkan kepada Departemen Dalam Negeri, Desember tahun lalu. Mengapa tak memakai data yang sama?
"Dua pemilihan itu punya dasar hukum berbeda," kata Ujang Sudirman, Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri. Ia mengemukakan alasan: kartu pemilih yang dikeluarkan KPU pada Pemilu 2004 berlaku secara nasional, sehingga tak bisa digunakan untuk pemilihan pemimpin lokal. Meski data yang tertera sama, kartu pemilih baru dibuat lebih khusus, dengan logo daerah masing-masing. Tujuannya, kata Ujang, mencegah terjadinya penyelewengan. Misalnya, seorang pemilih yang sudah memberikan suaranya di satu daerah memberikan suara lagi di daerah lain.
Argumentasi begini kedengaran benar, tapi bisa didebat dengan segera. Alasan bahwa Kartu Pemilih 2004 tak bisa dipakai jelas tak benar, karena di kartu itu dijelaskan telak-telak bahwa kartu itu bisa dipakai "pada setiap pemilihan umum". Alasan perlu logo khusus juga terkesan dicari-cari. Kalau perlu identitas khusus, mengapa kartu tanda penduduk (KTP) tidak dipakai? Jelas penggunaan KTP lebih murah. Penerbitan kartu pemilih baru, selain memboroskan uang, juga gampang dituduh sebagai lahan korupsi baru.
Andari Karina Anom, Jojo Raharjo (Surabaya), Bandelan Amarudin (Kudus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo