Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
James Brown, 72 tahun. Di atas pentas yang berlampu warna-warni, kulitnya hitam berminyak, giginya putih mengkilat.
Kita tahu, sejak keberhasilan album pertamanya, Please Please Please pada 1956, selalu saja ada suara teriakan dalam album-albumnya. Dalam Soul Survivor, James Brown Story, sebuah narasi tentang perjalanan hidup dan musik "bapak moyang musik soul" ini, ia mengaku dengan suara serak: ada perasaan terluka ketika orang berteriak.
Memang, suara Brown tidak melodius. Secara umum bisa dikatakan, musiknya hanya permainan irama yang teramat kaya. Teriakannya menyelinap di antara ketukan: terkadang mengejutkan seperti tembakan kanon, terkadang hanya menegaskan aksentuasi barisan peniup trombon, trompet, atau saksofon. Tapi bukan itu yang teramat penting. Teriakan James Brown mewakili tradisi kulit hitam di gereja-gereja baptis. Ya, gospel yang riuh-rendah, dengan khotbah dan jemaah bersahutan dalam suara yang padu: melupakan kemiskinan dan ketidakadilan, membayangkan surga pada kehidupan berikut.
Tidak persis seperti itu sebenarnya. Brown lahir pada 1933, di masa-masa Great Depression, mengenal segregasi kulit hitam-putih yang dalam prakteknya berlanjut hingga 1967. Ya, ia dibesarkan bibinya di sebuah rumah bordil di Augusta, Georgiasesuatu yang ditafsirkannya sebagai "cara bertahan hidup". Ketika remaja, ia masuk penjara, tapi ia tak tumbuh menjadi pecundang. Di dalam dunia musik, suaranya menggema: kulit hitam itu hebat.
Say It Loud I'm Black and I'm Proud musik yang sangat bersahaja. Musik yang ternyata sangat dekat dengan rap. Musik yang tugasnya hanya memberikan bingkai, seraya menyerahkan ruang sangat luas bagi penyanyi untuk menyampaikan lirik. Dalam lagu itu Brown meminta orang-orang kulit hitam mencampakkan keraguannya: lebih baik mati daripada hidup dalam belas kasihan orang lain. Saat itu, musim panas 1967, setahun sebelum Dr Martin Luther King Jr. terbunuh. Orang-orang kulit hitam histeris mendengar lagu yang begitu pas dengan suasana hati mereka yang lagi bergolak. Tapi orang-orang kulit putih terperanjat dan ciut mendengar kata-katanya yang menuntut: "Kami tidak akan berhenti, sampai tuntutan ini tercapai, kita telah diperlakukan dengan buruk."
James Brown, kini 72 tahun. Di atas pentas yang berlampu warna-warni, kulitnya hitam berminyak, giginya putih mengkilat.
Dalam Soul Survivor, James Brown Story, Brown sosok yang tampak semakin tambuntapi tentu masih memiliki teriakan istimewatenang di dalam limusin hitam. Di tangan kanannya, putranya yang balita berkulit terang tapi berambut keriting. Dan di sebelah kirinya, istrinya yang ketiga, seorang perempuan kulit putih di usia 30-an dan pandai menyanyi soul. Ya, Brown seperti seorang kakek tua yang bercerita tentang masa lalunya yang suram. Limusin bergulir di jalanan Kota Augusta, Georgia, dan ada rasa bangga dan lega ketika ia bercerita tentang suasana kota waktu itu: orang-orang kulit putih tinggal di sebelah kanan jalan, kulit hitam di sebelah kiri. Brown bercerita tentang rumah tinggalnya yang sempit, tapi dihuni 18 orang.
Narasi terus berjalan, tapi lanskap kini berganti. Kamera menyoroti sebuah rumah di tengah tanah lapang, dengan belukar di sisi kanan-kirinya. Brown menunjuk: ia lahir di rumah itu, di Barnwell, South Carolina, pada 1993. Satu peristiwa yang sangat diingatnya di rumah itu: ayah-ibunya berpisah, dan ibunya pergi meninggalkannya ketika ia berusia empat tahun.
James Brown, masa silamnya pahit. Kini semua itu berlalu, dan sejarah musik menyimak dan mencatatnya dengan baik. Dengan musik gospel di dalam kepalanya, Brown mengembangkan soul pada 1960-an, membuka dan menyerap elemen lain hingga lahirlah funk pada 1970-an, lalu rap yang muncul pada 1980-an dan memberi ruang gerak lebih luas bagi penyanyi, dan terakhir hip-hop pada 2000-an ini. Beberapa kejadian buruk, termasuk kematian putranya, istrinya terdahulu, bahkan kembalinya dia ke penjara, lantas menerpa hidupnya. Tapi Brown berhasil mempertahankan reputasinya sebagai seorang penghibur, entertainer, yang sangat meyakinkan. Di atas pentas, ia menghibur dan egonya mendapat tempat berkembang biak yang subur.
Dalam pertunjukan-pertunjukannya, ia membelai dengan sebuah nomor blues, It's A Man's, Man's, Man's World. Harmoni yang bagus tercipta: suaranya yang parau bertemu dengan suara latar tiga perempuan. Penonton tak menyadari, diam-diam ia telah mempersiapkan sebuah kejutan. Blues masih menyayat-nyayat ketika trompet, trombon, saksofon, bas, dan gitar elektrik sekonyong-konyong banting setir, mengawali sebuah soul yang panas, Get on the Good Foot. Ia semakin sempurna. Kejutan yang menyenangkan penonton, juga mendatangkan rasa puas baginya.
Dalam pertunjukan-pertunjukannya, seseorang akan meraih mikrofon dan melukiskan Brown dengan sejumlah gelar superlatif: Godfather of Soul, Soul Brother Number One, Hardest Working Man in Show Business, Mr Dynamite, bahkan kadang-kadang The Original Disco Manmeski kita pun tahu, musik disko berhasil menggantikan soul pada 1980-an.
Dalam pertunjukannya di Java Jazz Festival barusan, ada kelompok-kelompok dengan nama besar: Deodato, Incognito, George Duke, Earth Wind and Fire, dan beberapa lainnya. Deodato, misalnya, tampil memukau ketika memainkan Also Sprach Zarathustra, nomor musik hasil kreasi Richard Strauss. Tidak ada timpani besar yang membubuhkan kesan dramatis. Tapi irama yang dipilih meyakinkan kita bahwa itulah buah kreativitas. Tapi hal sebaliknya terjadi ketika kelompok yang dipimpin Eumir Deodato, asal Brasil, memaksakan diri bermain Black Dog karya Led Zeppelin. Identitas Deodato sekonyong-konyong lenyap, karena itulah hasil fotokopi permainan Led Zeppelin.
James Brown bintang yang paling mencorong dalam Java Jazz. Sejumlah pemusik hebat berdiri di belakangnya, tapi semua tahu Brown telah menyanyi, menari, bahkan dengan caranya sendiri memerankan konduktor dalam pertunjukannya yang memikat. Brown meneriakkan luka, sekaligus membuktikan kekuasaannya di atas panggung.
Ya, James Brown, 72 tahun. Di atas pentas yang berlampu warna-warni, kulitnya hitam berminyak, giginya putih mengkilat.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo