AWAS penyakit AIDS, yang menular dari pakaian bekas. Ini bukan seloroh, tapi rasa khawatir yang dialami Bupati Sumbawa. Waswas ini bermula dari membanjirnya pakaian bekas dari Singapura yang masuk ke wilayahnya, dan beberapa orang penduduk yang memakainya dijangkiti penyakit gatal, yang kemudian menjadi borok. "Kalau AIDS yang menempel di pakaian itu, 'kan susah menanggulanginya. Bisa jadi bencana nasional," kata Bupati Sumbawa itu, H.L. Madilaloe ADT, pada TEMPO pekan lalu. Ihwal pakaian bekas dari luar negeri ini rupanya tergolong serius. Tak kurang sepucuk surat bertanggal 6 Maret melayang ke semua gubernur. Pengirimnya, Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD), atas nama Mendagri. Isinya: Berdasarkan data dan informasi yang diterima Dirjen, di beberapa daerah telah terjadi perdagangan pakaian bekas dari luar negeri, yang masuk secara ilegal. Akibatnya, terjadi persaingan tak sehat, bahkan mengancam produksi dalam negeri. Selain itu, "Dapat menularkan beberapa penyakit," tulis Dirjen PUOD, seraya mengingatkan para gubernur bahwa sesuai dengan SK Menteri Perdagangan dan Koperasi (1982) mengimpor barang bekas adalah terlarang. Sebelumnya, pada 3 Maret, lebih dulu keluar instruksi Gubernur Nusa Tenggara Barat dengan nada yang sama. Memang, sampai Februari lalu, di wilayahnya, terutama di Kabupaten Sumbawa, pakaian bekas dari Singapura bebas masuk dan diperdagangkan. Berpuluh-puluh perahu milik penduduk Labuhan Burung, di musim Barat, berdatangan pulang dari Pulau Batam. Setiap perahu rata-rata berdaya muat 20 ton, berawak 10 orang membawa 40-60 karung pakaian bekas. Awak perahu itu tak sulit melegonya. Banyak pedagang segera memborongnya. "Mereka membelinya seperti beli kucing dalam karung," ujar Abdurachim, Kepala Desa Labuhan Burung. Pakaian bekas itu memang dijual per karung, dengan isi berbagai ragam, dengan harga Rp 75.000. Para pengecer ini kemudian menjualnya per helai. Sehelai jas, misalnya, hanya berharga Rp 3.000, sedang celana jin Rp 2.500 sebuah. Kalau jaket buatan dalam negeri bisa berharga Rp 5.000, rombeng dari barang yang sama dari Singapura hanya Rp 1.500. "Akibatnya, jualan saya tidak laku," kata Chaeriah, pedagang produksi dalam negeri di Pasar Seketeng, Sumbawa Besar. Di Medan, "sampah-sampah" Singapura itu telah lama beredar luas. Para pedagang di sini menyebutnya Babebo, barang bekas bonafide. Berupa celana, kemeja, rok, blus, kutang, dan pakaian anak, dengan merk mentereng seperti Christian Dior, Chohya, Minister, dan Lanvin. "Seminggu saya menjual 3-4 bal," kata R. Ginting, yang telah dua tahun berdagang pakaian bekas impor ini. Satu bal celana panjang, katanya, berisi 300 potong, dan harganya hanya Rp 325.000. Karena harga yang miring, "Buatan luar negeri lagi," ujar Ginting, pembeli terus membanjir. "Terutama di hari-hari libur," tambahnya. Dengan hasil menjual Babebo dari Singapura inilah, ia bisa membiayai dan menyekolahkan 7 orang anggota keluarganya. Pakaian bekas impor itu terutama masuk dari negeri tetangga paling dekat. Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, misalnya "diserbu" rombengan Malaysia. Kutang merk Triumph hanya berharga Rp 100. Yang paling laku adalah training spack (pakaian olah raga) asli merk Puma dan Yonex. Meski tak ada salju, pakaian ski - celana dan jaket lengkap kerudung kepalanya - yang terbuat dari bahan parasut serta dalamnya dilapisi wol halus, juga tergolong laku. Peminatnya anak-anak muda, yang mengenakannya seraya ngebut dengan sepeda motor. Kini, upaya memberantas masuknya pakaian bekas impor itu digalakkan di Sumbawa. Selain melindungi produk dalam negeri, "Masa kita memakai bekas orang Singapura. Malu, ah," ujar Gubernur NTB, Gatot Soeherman. Terlebih, setelah beberapa penduduk terkena pula penyakit gatal-gatal, operasi menindak barang rombeng itu kian meningkat pula. Akhir bulan silam, telah disita 10 truk. Dalam bulan April ini pula, enam pelakunya akan disidangkan di Pengadilan Negeri Sumbawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini