Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nanik Prasetyoningsih mendorong segera diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas revisi UU TNI yang baru disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Judicial review ini untuk menguji, apakah RUU TNI sudah sesuai dengan konstitusi atau tidak," kata Nanik di Yogyakarta, Jumat, 21 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Ilmu Hukum UMY ini mengungkap pengesahaan beleid itu telah menimbulkan kekhawatiran dan penolakan masyarakat luas tentang bakal adanya dominasi militer dalam struktur pemerintahan sipil. "Campur aduk militer di ranah sipil dapat membahayakan iklim demokrasi Indonesia," kata Nanik.
Nanik menuturkan potensi campur tangan militer ke ranah sipil kemungkinan besar semakin menguat melalui revisi perundangan itu. Hal ini, kata dia, jelas akan memperlemah struktur pemerintahan sipil yang berujung kepada semakin terabaikannya supremasi sipil sebagai sistem kontrol masyarakat terhadap militer. Dampaknya, akan terbentuk gaya pemerintahan yang militeristik.
“Pemerintahan yang militeristik ini tidak sesuai dengan spirit demokrasi, karena akan semakin membatasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan kebijakan," kata Nanik. "Padahal kita tahu bahwa demokrasi yang ideal adalah yang dibangun dari bawah ke atas, di mana pemerintah menjalankan mandat dan masyarakat yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah."
Nanik mengatakan lewat beleid itu akan muncul kegaduhan akibat dari tumpang tindihnya tugas dan fungsi TNI dengan lembaga terkait di bidang tertentu, termasuk dengan Polri dalam keamanan dan ketertiban di masyarakat. Dengan diperluasnya lingkup operasi militer selain perang, TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum di ranah tertentu seperti penanggulangan narkoba dan kejahatan siber.
Nanik mengkhawatirkan akan munculnya resiko penyalahgunaan wewenang dari kekuatan militer dalam tugas-tugas sipil. Dengan telah disahkannya RUU TNI, jalan keluar paling damai yang menurut Nanik masih dapat dilakukan adalah dengan judicial review terhadap isi dari pasal-pasal yang terkandung dalam UU TNI.
Ia juga mengingatkan bahwa sekontroversial apapun proses pembahasan, pembentukan dan substansinya, RUU TNI telah disahkan sebagai produk hukum yang legal dan mengikat. “Kita tidak perlu menunggu hingga undang-undang tersebut melanggar hak-hak dari sipil untuk mengajukan judicial review," kata Nanik.
Menurut Nanik, selama terdapat potensi pelanggaran hak-hak tersebut secara konstitusional, seperti dengan adanya perluasan operasi militer selain perang, maka itu sudah cukup untuk mengajukan pengujian UU TNI ke MK. "Siapapun, termasuk masyarakat, dapat melakukan permohonan judicial review,” kata dia.
Ia pun berharap agar judicial review dapat menjadi jawaban atas ketidakpuasan masyarakat terhadap UU TNI yang dibahas secara tertutup dan dari segi formil dianggap tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Nanik turut menyayangkan adanya operasi senyap atau silent operation dari DPR dalam meloloskan UU TNI, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya melalui beberapa undang-undang, seperti UU Cipta Kerja dan Ibu Kota Nusantara (IKN).
UU TNI resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Sebelum disahkan, pembahasan revisi UU TNI mengundang beragam reaksi dari koalisi masyarakat sipil yang menikai beleid tersebut dapat menghidupkan kembali dwifungsi militer yang mengancam demokrasi, senada dengan yang dijelaskan Nanik. Seharian kemarin, beragam elemen masyarakat di berbagai daerah, mulai dari mahasiswa, aktivis hingga masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan UU TNI.
Usai sidang paripurna, Ketua DPR Puan Maharani menyebutkan RUU TNI yang disetujui menjadi undang-undang sudah melalui mekanisme pembentukan undang-undang. “Dari penerimaan surat, sampai mendengarkan partisipasi masyarakat, kemudian pihak-pihak yang harus didengar, dan lain-lain sebagainya, bahkan pembahasannya pun dilaksanakan secara terbuka,” ujarnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP itu mengatakan pembahasan revisi UU TNI di parlemen telah mengakomodasi aspirasi masyarakat sipil. “Kami dari DPR dan pemerintah menerima masukan dan aspirasi dari seluruh elemen masyarakat yang dianggap penting dan perlu, tentu saja juga masukan dari mahasiswa, perwakilan mahasiswa, juga sudah kami dengarkan,” ucapnya.
Mengenai sejumlah aksi penyampaian aspirasi oleh masyarakat sipil terhadap RUU TNI, dia menyebutkan UU TNI tidak mengabaikan kekhawatiran masyarakat. Dia siap memberikan penjelasan mengenai hal itu kepada para mahasiswa. “Nanti kami siap memberikan penjelasan bahwa apa yang dikhawatirkan, apa yang dicurigai, bahwa ada berita-berita yang kemudian revisi Undang-Undang TNI ini tidak akan sesuai dengan yang diharapkan insyaallah tidak," tuturnya.
Pilihan Editor: Dukungan dan Solidaritas setelah Tempo Diteror Kepala Babi