TATKALA Mayor Jenderal Sintong Panjaitan dilantik sebagai Pangdam IX/ Udayana Jumat pekan lalu, orang tidak heran. Sejak dulu banyak yang meramalkan bahwa karier Sintong pasti akan terus melaju naik. Nama Sintong mulai mencuat tatkala ia memimpin sepasukan Kopassandha (kini Kopassus) yang berhasil membebaskan pesawat Woyla milik Garuda yang dibajak oleh kelompok Imron pada Maret 1981 di bandara Don Muang, Bangkok. Waktu itu ia menjabat Komandan Grup 3 Kopassandha di Cijantung, Jakarta. Atas keberhasilan itu, pangkatnya langsung naik dari letrian kolonel menJadi, kolonel. Sukses membebaskan Woyla sebenarnya bukan keberhasilan pertama Sintong sebagai komandan. Pada 1 Oktober 1965, anak Tarutung, Sumatera Utara, itu membawa sepasukan kecil RPKAD (Resiman Para Komando AD) menyerbu RRI Jakarta yang sedang dikuasai pasukan yang pro-G-30-S/ PKI. Letnan Satu Sintong berhasil Selain itu berbagai pengalaman tempur ditimbanya sewaktu mengikuti operasi penumpasan gerombolan PGRS di Kalimantan Barat, OPM di Irian Jaya, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Sintong, anak keenam dari 10 bersaudara putra seorang mantri kesehatan ini, memang mengesankan sebagai "orang tempur". Kariernya terus meningkat. Setelah sekitar tiga tahun menjabat Komandan Pusat Pendidikan Sandhi Lintas Udara di Batujajar, Jawa Barat, pada 1985 Sintong diangkat sebagai Komandan Kopassus. Ia menggantikan rekannya yang sama-sama lulusan AMN 1963, Brigjen. Wismoyo Arismunandar, yang diangkat sebagai Kasdam Udayana. Jabatan Sintong berikutnya adalah sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri TNI-AD di Bandung. Sebagai Pangdam Udayana, Sintong menggantikan Mayjen. Djoko Pramono, yang diangkat sebagai Pangdam I/Bukit Barisan. Kodam Udayana meliputi wilayah Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur. Tampaknya Sintong mendapat tugas khusus untuk meningkatkan keamanan di wilayahnya, terutama Bali, sebagai cermin bagi keamanan seluruh Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini