Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Panglima di Tangan Komisi Satu

Usul penggantian Panglima TNI dibahas setelah Komisi I DPR terbentuk. Ryamizard Ryacudu tetap kandidat terkuat.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan interupsi tiba-tiba menyembur deras di ruang sidang paripurna Gedung Nusantara V MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat sore lalu. Umpatan kasar berloncatan ketika Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Mahfud Md. mengomentari permintaan Panda Nababan, Wakil Ketua Fraksi PDIP, ketika mengikuti rapat konsultasi pimpinan DPR dan pimpinan fraksi DPR empat hari sebelumnya.

Suasana hari pertama Ramadan tak mampu meredam emosi mereka. Sekitar 15 menit terjadi debat sengit. Fraksi PDIP meminta Mahfud tidak mengungkap isi rapat konsultasi tertutup di forum itu. Padahal, saat itu Mahfud hanya mengungkapkan bahwa Panda meminta semua pihak agar tidak berprasangka buruk atas kebijakan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Penjelasan ulang Mahfud di podium pun tak memuaskan. Teriakan dan celetukan yang tidak pantas pun berhamburan dari mulut beberapa anggota DPR. Di balkon, para wartawan juga tak ketinggalan berteriak, "Huuuu?, norak, kampungan!"

Pokok soal yang didebatkan adalah surat Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden Mega, yang pada 20 Oktober 2004 ini habis masa tugasnya, meminta persetujuan DPR sehubungan dengan pemberhentian Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan pengangkatan Panglima TNI baru, Jenderal Ryamizard Ryacudu. Surat tertanggal 8 Oktober kepada DPR itu adalah jawaban Presiden Megawati atas surat pengunduran diri Jenderal Sutarto yang diajukan kepada Presiden pada 24 September lalu. Sesuai dengan Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, presiden memang memerlukan persetujuan DPR untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI.

Celakanya, anggota DPR periode 2004-2009 baru saja dilantik. Komisi-komisi di DPR belum terbentuk. Komisi I, yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan, juga belum terbentuk. Karena itu, pimpinan DPR pun terpaksa putar akal untuk memecahkan kekosongan ini.

Padahal, menurut sebuah sumber, ketika Mega berkonsultasi dengan Agung Laksono, Ketua DPR itu mengatakan bahwa pembahasan akan bisa dilaksanakan saat ini. "Karena sudah ada konsultasi dengan pimpinan DPR, Ibu lalu mengirimkan surat ke DPR," kata Ketua Fraksi PDIP, Soetjipto. Tapi rupanya beberapa fraksi meminta pembahasan yang lebih detail.

Itu sebabnya Selasa lalu pimpinan DPR mengundang rapat sepuluh pimpinan fraksi DPR. Rapat dua jam dipimpin Ketua DPR Agung Laksono itu berlangsung seru. Mereka berdebat tentang apakah DPR yang belum punya komisi itu bisa menolak atau menyetujui surat Presiden.

Enam dari sepuluh fraksi berpendapat, pergantian tak bisa dilakukan saat ini. Mereka adalah Fraksi PKB, Fraksi Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi. Alasannya, saat ini tidak ada situasi gawat yang mengharuskan penggantian Panglima TNI. "Sebelum ada persetujuan DPR, bukan berarti jabatan Panglima TNI kosong," kata Mahfud.

Sementara itu, Fraksi Partai Golkar dan PDI Perjuangan meminta surat Presiden itu segera dibahas. Argumen yang disampaikan, surat resmi dari Presiden sudah masuk dan segera perlu dibahas. Dua fraksi lain menyerahkan soal ini dalam sidang paripurna.

Dalam rapat sempat dibahas pula latar belakang mundurnya Sutarto. Mahfud mengaku mendapat informasi, tiga bulan yang lalu Sutarto telah menghadap Mega untuk meminta mundur. Namun Mega menolak dan bahkan menawari mantan KSAD itu untuk masuk dalam kabinetnya jika ia menang dalam pemilu. "Tapi Mega kalah pada pemilu 20 September, dan pada tanggal 24 September dia bikin surat pengunduran diri," ujar Mahfud.

Menurut bekas Menteri Pertahanan itu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Sutjipto membenarkan info tentang adanya "perjanjian" itu dalam rapat konsultasi. Namun Wakil Ketua DPR Sutardjo Soerjogoeritno membantah keras. "Sudah lama dia mau mundur, tapi digondeli (ditahan) sama Ibu. Mengko disik (nanti saja) sesudah pemilu," kata tokoh kawakan PDIP ini. Menurut dia, pengunduran diri Sutarto ini masalah biasa.

Namun sumber Tempo, seorang mantan perwira tinggi, justru menduga bahwa pengunduran diri Sutarto untuk membentuk citra bahwa dirinya tidak ambisius. "Yang terdahulu, dia selalu mendapat promosi jabatan meski selalu mengatakan tidak," ujar sumber itu. Jenderal Sutarto, kata sumber ini, sebenarnya bisa mundur saat ditawari jabatan Panglima TNI dua tahun yang lalu.

Agaknya bukan tak ada alasan lain. Di antaranya, pemberian pangkat jenderal kehormatan bagi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim Letjen (Purn.) Hari Sabarno dan Kepala Badan Intelijen Negara Letjen (Purn.) Abdullah Makhmud Hendropriyono. "Itu alasan yang kedua," ujar Mahfud.

Menganggap alasan ini benar, Arief Mudatsir, anggota Fraksi PPP, mengecam keras. Sebab, menurut dia, tentara itu hanya kenal maju, bukan mundur. Apalagi jika alasan mundurnya karena tersinggung dengan pemberian gelar kehormatan. "Itu tidak profesional," ujarnya. Ia beralasan, berdasarkan UU Nomor 3/2002, dunia ketentaraan hanya kenal dua istilah: diangkat dan diberhentikan.

Karena itulah, apa pun bentuk proses pembahasannya nanti, FPPP mengusulkan agar Panglima TNI Endriartono Sutarto dipanggil ke DPR untuk dimintai penjelasan. Sebab, ketika dia diangkat dulu, DPR juga meminta penjelasan tentang visi dan misinya.

Masalah ini kemudian beralih ke rapat paripurna Jumat yang lalu. Dalam rapat itu, kesepuluh fraksi dapat menerima dan menindaklanjuti surat Presiden. Tapi sebagian berpendapat masalah ini harus dibahas dengan prosedur normal melalui Badan Musyawarah DPR, kemudian dibahas Komisi I dan dibawa ke rapat paripurna. Kedua, pembahasan dilakukan dengan pembentukan panitia khusus. Enam fraksi (PKS, PKB, BPD, PAN, Partai Demokrat, dan PPP) setuju pada prosedur normal. Empat fraksi Koalisi Kebangsaan (Partai Golkar, PDIP, PBR, dan PDS) setuju dibentuk panitia khusus.

Lobi pun digelar. Hasilnya jalan tengah, penanganan urusan Panglima TNI diserahkan ke Komisi I segera setelah dibentuk nanti. Di DPR periode ini akan ada sebelas komisi.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan Sutjipto mengaku bisa memahami keputusan itu. "Yang penting, jangan sampai muncul kesan bahwa asal-muasal persoalan dari Ibu Mega," ujarnya. Padahal, menurut anggota Komisi I DPR dari FKB, Effendy Choirie, pembahasan di Panitia Khusus maupun di Komisi I tidak terlalu jauh berbeda. Proses pembahasan bisa cepat, bisa lambat, dan bisa menunggu sampai Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden. "Bola di tangan Komisi I," ujar Effendy.

Namun, menurut anggota Komisi I dari FPAN, Joko Susilo, agenda terpenting Komisi I adalah memanggil Sutarto. "Dia harus menjelaskan alasan pengunduran dirinya," ujarnya. Komisi ini akan segera memanggil Jenderal Sutarto dan Ryamizard. "Dengan begitu, semua muka terselamatkan. Usul presiden lama diterima, lalu presiden baru yang mengangkat," kata Mahfud.

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto pun telah siap dipanggil DPR. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI dan institusi TNI menghormati dan akan mematuhi permintaan DPR. "Agar keterangan itu dapat dijadikan referensi DPR dalam membahas isu yang berkaitan dengan penggantian jabatan Panglima TNI," kata Sjafrie. Pekan lalu, dari Lampung, Panglima TNI mengemukakan bahwa regenerasi TNI adalah alasan utama pengunduran dirinya.

Namun alasan regenerasi itu dikomentari mantan Kepala Staf Teritorial, Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Ia berpendapat, regenerasi dan perpanjangan pensiun harus dilihat secara jernih. "Sebenarnya perpanjangan masa dinas aktif sampai lima tahun masih diperkenankan, asal perpanjangan itu untuk jabatan yang sama," ujar Agus Widjojo.

Pengamat militer Kusnanto Anggoro justru menilai pengunduran diri Sutarto adalah bentuk fait-accompli. Sebab, menurut Pasal 13 ayat 4 UU TNI, seorang Panglima haruslah seorang Kepala Staf TNI atau orang yang pernah menjadi Kepala Staf TNI. Karena KSAU Marsekal Chappy Hakim dan KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh sudah diperpanjang masa dinasnya, maka sebagai orang termuda Ryamizard Ryacudu (AMN angkatan tahun 1974) memiliki kans terkuat.

Dua pekan lalu, presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya telah menyatakan tidak akan mengganti Panglima TNI dan Kepala Polri dalam waktu dekat, agar tak ada kesan Panglima TNI dan Kapolri adalah anggota kabinet. Pergantian Panglima TNI dan Kapolri direncanakan SBY akan terjadi dua sampai tiga bulan setelah kabinet diumumkan. Diduga SBY sudah menyiapkan resep regenerasi di tubuh TNI. Dia diduga akan mengganti para kepala staf lebih dulu, agar orang yang telah disiapkan untuk menjadi Panglima TNI mempunyai pengalaman sebagai kepala staf terlebih dahulu.

Dengan mundurnya Jenderal Sutarto, dan pergulatan politik di DPR, agaknya "Rencana B" harus segera disiapkan Istana.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Fajar W. Hermawan, Bernarda Rurit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus