Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Humor ala Sardono

Hutan Plastik ditampilkan kembali. Kini ditambah iringan Ananda Sukarlan dan pemunculan para waria.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama saya Joyce...." Perawakannya tinggi, seksi, sedikit menor dengan rok berbelah tinggi menyingkap paha. Kemayu. Tapi ketika memperkenalkan diri: suaranya berat, bariton laki-laki. Penonton langsung tertawa. Para waria dari Taman Lawang yang diusung ke Graha Bakti Budaya itu membalas dengan senyum kenes.

Pada 1983, Sardono W. Kusumo mementaskan Hutan Plastik. Komponis Otto Sidharta saat itu membantunya dengan soundscape—bunyi-bunyian satwa pedalaman Kalimantan. Kini ia menggaet Ananda Sukarlan dan para waria. Sardono tak menampilkan koreografi yang dibangun di atas dentingan. Sukarlan ditempatkan sebagai penstimulir suasana.

Sebuah piano Grand Steinway gagah di atas panggung Graha Bakti Budaya. Mulanya Ananda sendiri memainkan komposisi-komposisi dari komposer yang namanya jarang disebut orang di sini, tapi akrab dengan gamelan. Sebut saja Gareth Far dari Selandia Baru atau Polo Vallejo dari Spanyol.

Yang paling menarik ketika Ananda menampilkan karya pendeknya yang hanya dimainkan dengan tangan kiri. Ini rangkaian karyanya yang bertema Just a Minute. Sebuah karya yang tercipta ketika Ananda—memiliki bayi—sembari menggendong ia tetap berlatih piano. Malam itu, Flirting Finger on E.F.—berdasarkan puisi Walt Whitman—dengan tempo andante—lambat mengalir. Melodi muncul belakangan.

Setelah itu jeda. Humor muncul di bagian kedua. Ananda kembali masuk. Sepasang penari bertopeng anjing Damaltian—kemudian merespons dentingannya. Sekujur tubuh mereka bercat putih dengan totol-totol hitam. Geraknya gaya alusan Jawa, tapi ditambah mime mirip gerak anjing. "Saya ingin memparodikan Nijinski," kata Sardono. Vaslav Fomich Nijinski (1888-1950) adalah pebalet Rusia terkenal yang dalam fotonya sering dipotret dengan tubuh bertotol-totol hitam. Pasangan itu saling mendekat. Menggeliat di bawah piano. Begitu mereka hendak bercinta, Sardono naik panggung. "Husshh!" ia menggusah.

Bagian ketiga baru Hutan Plastik. Ananda memainkan intro Love Story—sebuah lagu pop. Seraya kemudian dari kedua sisi panggung muncul gelembung-gelembung plastik raksasa—mirip sosis. Di dalamnya terkurung penari. Selanjutnya panggung diberondong oleh gelembung-gelembung plastik yang dilempar dari sisi-sisi panggung. Menyaksikan sosis-sosis beterbangan merupakan bagian paling estetik dalam pertunjukan. Gelembung-gelembung plastik menggunung. Saling bertumpuk. Bersilang. Hingga membuat pangung pepak.

Yang ingin dicari Sardono memang sugesti panggung. "Gerak timbul dari merespons plastik itu," katanya. Para penarinya di dalam plastik menyalakan lampu. Sayangnya, karena bahan plastik terlalu buram, secara visual sinar tak begitu keluar. Tak tampak geliat torso para penari. Ditambah lagi cahaya yang ditata penata lampu Iskandar K. Loedin sama sekali tak maksimal, membuat gundukan plastik itu tak "berbicara".

Tiba-tiba, muncul lima waria. Buah dada mereka menonjol karena operasi plastik. Ananda mencium tangan salah seorang. Mereka merubung, memeluk Ananda, kemudian menari di seputar piano. Adegan menarik bukan karena virtuositas permainan Ananda, tapi justru betapa Ananda yang bertampang serius itu tampak kikuk dan malu-malu ketika digelayuti para waria.

Tiba-tiba, tangan Ananda menekan tuts-tuts rendah. Bunyinya menggeram. Para waria menjerit, lalu kalang-kabut ikut membuyarkan, melempar-lempar plastik itu. Suasana hiruk-pikuk sekaligus kocak. "Wah, saya kaget, Mas Don tak bilang bakal ada waria," kata Ananda, agak geli, seusai pementasan, sambil mengelap kacamatanya. Baru siang menjelang pementasan, ide itu datang dari Sardono. "Rencananya yang menari mengelilingi Ananda, ya, kami," kata Lena Guslina, salah satu penari.

Jangan menakar terlalu jauh. Apalagi, dengan membandingkannya dengan Art Summit yang seperti Kim Itoh. Malam itu memang bukan sebuah karya yang menggedor karena presisi, penuh perhitungan. Anggap ini intermezo. Sardono yang berusaha mencari-cari kesegaran. Ia sempat membacakan surat Ngang Bilung, ketua suku Dayak Kenyah, 1983, saat Kalimantan terbakar: ... babi-babi hutan tunggang-langgang karena kuku-kukunya lepas, burung enggang berjatuhan, monyet gundul masuk rumah, pohon-pohon sudah menjadi obor raksasa... kehidupan kami musnah....

Tapi yang tertancap pada penonton tetap, ya "affair" Ananda dan waria itu. Di belakang panggung, banyak kolega langsung menyalaminya: "Wah, lucu banget lho, Mas Don."

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus