Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Paus di perbatasan

Kunjungan paus yohannes paulus ii di nigeria (afrika). kemudian dilanjuntukan ke benin dan gabon. maksud kunjungan bersilaturahmi antar umat katolik. (ag)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNJUNGAN seorang paus ke negeri hitam Afrika sebenarnya bukan pertama kali, di zaman baru ini. Namun Paus Yohannes Paulus II, dalam muhibahnya di Nigeria pertengahan Februari kemarin, masih juga bergurau -- menyatakan bahwa sampai-sampai Rasul Petrus pun dalam angan-angan Paus, han-.pir tak percaya ia berada di negeri itu. Apalai menahbiskan 93 orang imam baru di Kaduna. Baru setelah ia menunjukkan jubahnya, yang penuh gincu dan bedak para wanita Nigeria yang selalu mengerumuninya, maka, katanya berseloroh, sang rasul percaya. Mungkin karena hal-hal sekitar diri Paus memang tak begitu menguntungkan. Ada percobaan pembunuhan, di Vatikan. Ada soal kesehatan pribadi. Ada pula masalah dunia yang lebih gawat, seperti soal Polandia. Atau juga, karena Nigeria bukan negeri mayoritas Katolik. Di sini jumlah umat Islam misalnya, bahkan umat Protestan, jauh lebih banyak. Malah tempat penghabisan para' imam baru itu, yang juga tempat seminari terbesar di Afrika, adalah wilayah muslim . Penyambutan berlangsung dengan meriah. Puluhan ribu penduduk menunggunya di lapangan udara Murtala Muhammad di Lagos, 12 Februari itu. Presiden, Haji Shenu Shagari, bahkan menyambutnya di depan tangga pesawat. Penjagaan ketat. Dan tidak kurang sejuta manusia menghadiri misa di Stadion Nasional Lagos, baik umat Katolik maupun bukan, konon. Jumlah itu meningkat dua kali lipat pada misa di Onishta, wilayah Suku Ibo yang mayoritas Katolik. Dan tidak kurang setengah juta orang untuk misa di Kuanda. Paus tak lupa mengulangi seruannya untuk perdamaian dan kerjasama umat antaragama. "Orang Islam dan Kristen itu bersaudara dalam Satu Tuhan," ujarnya. Seruan itu dikumandangkan di Kuanda, wilayah Islam. Juga Paus menyerukan persatuan, pengorbanan dan saling memaafkan antara umat beragama Nigeria yang pernah dilanda peraag saudara itu. Perang itu terjadi tahun-tahun 1967-1970, ketika kelompok masyarakat Suku Ibo mencoba memisahkan diri dari negara federal Nigeria dan mendirikan Republik Biafra. Itu bukan perang agama, sebenarnya. Lebih dilatarbelakangi oleh pertentangan kesukuan, yang selalu besar artinya bagi orang Afrika, meski yang bermusuhan memang orang-orang berbeda agama. Sir Abubakar Waktu itu Nigeria diperintah rezim militer Yacobu Gowon, seorang Protestan. Gowon baru saja melakukan kudeta terhadap pemerintahan Mayjen Aguiyi Ironsi, juga Protestan. Sedang Ironsi sendiri melakukan kudeta (1966) terhada,n pemerintahan sipil Sir Abubakar Tafawa Balewa, muslim. Balewa adalah pemimpin puncak Nigeria pertama dan kedua (sebagai perdana menteri) sesudah kemerdekaan Nigeria dari Inggris 1960. Gowon menjanjikan mengembalikan pemerintahan sipil, namun tak mampu nelaksanakan. Sementara itu persaingan antarsuku (terdengar misalnya berita Suku Ibo di Timur yang beragama Katolik dibunuh besar-besaran oleh suku-suku Utara yang Islam dan Kristen), memaksa Kolonel Odomegwu Ojukwu, Katolik, untuk pada akhirnya memproklamasikan Republik Biafra. Dan Gowon menjawabnya dengan tindakan pemusnahan. Tercatat sekitar dua juta orang Ibo mati. Toh sang presiden tak juga mengembalikan pemerintahan sipil. Kudeta kemudian terjadi lagi - kali ini dipimpin Murtala Muhammad. Lalu penggantinya, Presiden Haji Shenu Shagari yang sekarang, merupakan presiden hasil pemilihan umum 1979. Ia didampingi Wakil Presiden Alex Exwueme, Protestan. Komposisi penduduk sendiri menunjukkan jumlah umat Katolik yang hanya lima juta--di antara 90 juta warga negara. Menurut Encyclopaedia, gritanlica, berdasar sensus 1963, 47% penduduk Nigeria beragama Islam, 35% Kristen dan Katolik, sisanya animis. Tapi menurut World Muslim Gezetteer umat Islam di negara itu tak kurang dari 75%. Barangkali dengan memasukkan yang dianggap animis itu. Sementara itu kantorkantor berita asing yang dikutip harian-harian Indonesia menulis hanya sekitar 30 juta penduduk beragama Islam (lebih sedikit 33%), lalu 1 juta Protestan plus 5 juta Katolik (dua-duanya kurang dari 25%). Sisanya animis. Dan animisme memang masih hidup dengan liatnya. Juga poligami. Bahkan agama-agama Kristen belum cukup mampu menghapuskan poligami itu, yang juga berkecamuk di kalangan pemeluknya di samping di kalangan muslimin. Itulah sebabnya Paus di sana tak lupa memperingatkan umatnya terhadap poligami. Dalam hal ini ia sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah, yang sudah mempersulit poligami dengan memberlakukan UU Perkawinan yang mirip dengan yang berlaku di Indonesia. Untuk kalangan Islam, itu berarti beberapa pengubahan dalam pelaksanaan hukum perdata muslimin (di sana berlaku dalam bidang-bidang nikah-talak-rujuk dan waris) bagi para pemeluknya. Walhasil ini negara demokratis. Bahkan Paus memuji pemerintahnya yang telah berhasil mempersatukan negeri itu dari ancaman pecah dua di pergolakan tahun-tahun Biafra itu. Perbatasan Antaragama. Kunjungannya sendiri ke Nigeria, berarti komunikasi dengan salah satu negeri "perbatasan Islam-Nasrani" di Afrika. Dari segi agama, Afrika memang bak dibelah dua oleh negara-negara Islam di utara dan negara-negara Krlsten di selatan. Kawasan Afrika Tengah, seperti Nigeria, Gabon, Benin atau Guinea, yang mendapat kunjungan Paus kali ini, dihuni oleh agama-agama secara kurang lebih berimbang. Bahkan Niger, di sebelah utara Nigeria, dihuni oleh 90% penduduk muslim. Sedang di Benin, yang dikunjungi Paus setelah Nigeria, jumlah umat kristen (umumnya Katolik) berkisar 17% atau hampir sama dengan umat Islam. Begitu pula Gabon Katolik dan Islam sama-sama berkisar 200.000 -- dari hanya sejuta penduduk. Hanya Guinea, yang dihampiri Paus beberapa jam saja, punya penduduk Islam yang mencapai 62% dari 4 juta warga negara, sementara Kristen dan Katolik hanya 2%. Kunjungan Paus sendiri tampak bermaksud silaturahmi, atau menjembatani hubungan umat Katolik dengan saudarasaudaranya yang lain. Seperti juga kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia misalnya di tahun 1970-an. Lagipula menurut Associated Press, kunjungan Paus itu mempunyai implikasi mendorong Gereja Katolik yang mengharapkan bisa membaptis dua juta penduduk setiap tahunnya di Afrika. Atau agar angka pengikut Katolik di benua hitam itu bisa mencapai 18% di akhir abad ini, satu kenaikan yang besar sekali dibanding hanya 1% di abad lalu. Memang, ada juga gangguan. Sepeninggal Paus, polisi mengumumkan telah menangkap tiga orang yang membawa pistol dan amunisi ketika Paus mengadakan misa di Kuanda. Nama-namanya: Emeka Opara, Michael Momah dan Nkese Ebiana. Namun kemudian ada pengumuman susulan mereka ternyata penjahat biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus