KUNJUNGAN seorang paus ke negeri hitam Afrika sebenarnya bukan
pertama kali, di zaman baru ini. Namun Paus Yohannes Paulus II,
dalam muhibahnya di Nigeria pertengahan Februari kemarin, masih
juga bergurau -- menyatakan bahwa sampai-sampai Rasul Petrus pun
dalam angan-angan Paus, han-.pir tak percaya ia berada di negeri
itu. Apalai menahbiskan 93 orang imam baru di Kaduna. Baru
setelah ia menunjukkan jubahnya, yang penuh gincu dan bedak para
wanita Nigeria yang selalu mengerumuninya, maka, katanya
berseloroh, sang rasul percaya.
Mungkin karena hal-hal sekitar diri Paus memang tak begitu
menguntungkan. Ada percobaan pembunuhan, di Vatikan. Ada soal
kesehatan pribadi. Ada pula masalah dunia yang lebih gawat,
seperti soal Polandia. Atau juga, karena Nigeria bukan negeri
mayoritas Katolik. Di sini jumlah umat Islam misalnya, bahkan
umat Protestan, jauh lebih banyak. Malah tempat penghabisan
para' imam baru itu, yang juga tempat seminari terbesar di
Afrika, adalah wilayah muslim .
Penyambutan berlangsung dengan meriah. Puluhan ribu penduduk
menunggunya di lapangan udara Murtala Muhammad di Lagos, 12
Februari itu. Presiden, Haji Shenu Shagari, bahkan menyambutnya
di depan tangga pesawat.
Penjagaan ketat. Dan tidak kurang sejuta manusia menghadiri misa
di Stadion Nasional Lagos, baik umat Katolik maupun bukan,
konon. Jumlah itu meningkat dua kali lipat pada misa di Onishta,
wilayah Suku Ibo yang mayoritas Katolik. Dan tidak kurang
setengah juta orang untuk misa di Kuanda.
Paus tak lupa mengulangi seruannya untuk perdamaian dan
kerjasama umat antaragama. "Orang Islam dan Kristen itu
bersaudara dalam Satu Tuhan," ujarnya. Seruan itu dikumandangkan
di Kuanda, wilayah Islam.
Juga Paus menyerukan persatuan, pengorbanan dan saling memaafkan
antara umat beragama Nigeria yang pernah dilanda peraag saudara
itu. Perang itu terjadi tahun-tahun 1967-1970, ketika kelompok
masyarakat Suku Ibo mencoba memisahkan diri dari negara federal
Nigeria dan mendirikan Republik Biafra.
Itu bukan perang agama, sebenarnya. Lebih dilatarbelakangi oleh
pertentangan kesukuan, yang selalu besar artinya bagi orang
Afrika, meski yang bermusuhan memang orang-orang berbeda agama.
Sir Abubakar
Waktu itu Nigeria diperintah rezim militer Yacobu Gowon, seorang
Protestan. Gowon baru saja melakukan kudeta terhadap
pemerintahan Mayjen Aguiyi Ironsi, juga Protestan. Sedang Ironsi
sendiri melakukan kudeta (1966) terhada,n pemerintahan sipil Sir
Abubakar Tafawa Balewa, muslim. Balewa adalah pemimpin puncak
Nigeria pertama dan kedua (sebagai perdana menteri) sesudah
kemerdekaan Nigeria dari Inggris 1960.
Gowon menjanjikan mengembalikan pemerintahan sipil, namun tak
mampu nelaksanakan. Sementara itu persaingan antarsuku
(terdengar misalnya berita Suku Ibo di Timur yang beragama
Katolik dibunuh besar-besaran oleh suku-suku Utara yang Islam
dan Kristen), memaksa Kolonel Odomegwu Ojukwu, Katolik, untuk
pada akhirnya memproklamasikan Republik Biafra. Dan Gowon
menjawabnya dengan tindakan pemusnahan.
Tercatat sekitar dua juta orang Ibo mati. Toh sang presiden tak
juga mengembalikan pemerintahan sipil. Kudeta kemudian terjadi
lagi - kali ini dipimpin Murtala Muhammad. Lalu penggantinya,
Presiden Haji Shenu Shagari yang sekarang, merupakan presiden
hasil pemilihan umum 1979. Ia didampingi Wakil Presiden Alex
Exwueme, Protestan.
Komposisi penduduk sendiri menunjukkan jumlah umat Katolik yang
hanya lima juta--di antara 90 juta warga negara. Menurut
Encyclopaedia, gritanlica, berdasar sensus 1963, 47% penduduk
Nigeria beragama Islam, 35% Kristen dan Katolik, sisanya animis.
Tapi menurut World Muslim Gezetteer umat Islam di negara itu tak
kurang dari 75%. Barangkali dengan memasukkan yang dianggap
animis itu. Sementara itu kantorkantor berita asing yang dikutip
harian-harian Indonesia menulis hanya sekitar 30 juta penduduk
beragama Islam (lebih sedikit 33%), lalu 1 juta Protestan plus
5 juta Katolik (dua-duanya kurang dari 25%). Sisanya animis.
Dan animisme memang masih hidup dengan liatnya. Juga poligami.
Bahkan agama-agama Kristen belum cukup mampu menghapuskan
poligami itu, yang juga berkecamuk di kalangan pemeluknya di
samping di kalangan muslimin. Itulah sebabnya Paus di sana tak
lupa memperingatkan umatnya terhadap poligami. Dalam hal ini ia
sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah, yang sudah mempersulit
poligami dengan memberlakukan UU Perkawinan yang mirip dengan
yang berlaku di Indonesia. Untuk kalangan Islam, itu berarti
beberapa pengubahan dalam pelaksanaan hukum perdata muslimin (di
sana berlaku dalam bidang-bidang nikah-talak-rujuk dan waris)
bagi para pemeluknya.
Walhasil ini negara demokratis. Bahkan Paus memuji pemerintahnya
yang telah berhasil mempersatukan negeri itu dari ancaman pecah
dua di pergolakan tahun-tahun Biafra itu.
Perbatasan Antaragama.
Kunjungannya sendiri ke Nigeria, berarti komunikasi dengan salah
satu negeri "perbatasan Islam-Nasrani" di Afrika. Dari segi
agama, Afrika memang bak dibelah dua oleh negara-negara Islam di
utara dan negara-negara Krlsten di selatan. Kawasan Afrika
Tengah, seperti Nigeria, Gabon, Benin atau Guinea, yang
mendapat kunjungan Paus kali ini, dihuni oleh agama-agama
secara kurang lebih berimbang. Bahkan Niger, di sebelah utara
Nigeria, dihuni oleh 90% penduduk muslim.
Sedang di Benin, yang dikunjungi Paus setelah Nigeria, jumlah
umat kristen (umumnya Katolik) berkisar 17% atau hampir sama
dengan umat Islam. Begitu pula Gabon Katolik dan Islam sama-sama
berkisar 200.000 -- dari hanya sejuta penduduk. Hanya Guinea,
yang dihampiri Paus beberapa jam saja, punya penduduk Islam yang
mencapai 62% dari 4 juta warga negara, sementara Kristen dan
Katolik hanya 2%.
Kunjungan Paus sendiri tampak bermaksud silaturahmi, atau
menjembatani hubungan umat Katolik dengan saudarasaudaranya yang
lain. Seperti juga kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia
misalnya di tahun 1970-an. Lagipula menurut Associated Press,
kunjungan Paus itu mempunyai implikasi mendorong Gereja Katolik
yang mengharapkan bisa membaptis dua juta penduduk setiap
tahunnya di Afrika. Atau agar angka pengikut Katolik di benua
hitam itu bisa mencapai 18% di akhir abad ini, satu kenaikan
yang besar sekali dibanding hanya 1% di abad lalu.
Memang, ada juga gangguan. Sepeninggal Paus, polisi mengumumkan
telah menangkap tiga orang yang membawa pistol dan amunisi
ketika Paus mengadakan misa di Kuanda. Nama-namanya: Emeka
Opara, Michael Momah dan Nkese Ebiana. Namun kemudian ada
pengumuman susulan mereka ternyata penjahat biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini