NASIB PDI mirip meramalkan bunyi tokek. Pecah, rujuk, pecah,
rujuk, pecah .... Pekan lalu, sementara makin banyak orang yang
merasa bosan, DPP PDI rujuk lagi. Dan lagi-lagi berkat "uluran
tangan" penguasa, kali ini Pangkopkamtib Laksamana Sudomo.
Seusai pertemuan 3 jam dengan DPP PDI di ruang kerjanya pekan
lalu, Pangkopkamtib Sudomo mengatakan pada pers DPP PDI telah
bersatu kembali "atas kesepakatan mereka sendiri." Akan diadakan
sidang intern dalam bulan Januari ini untuk menyelesaikan semua
masalah termasuk persiapan Kongres pada April 1980.
Menurut Sudomo, apa yang dilakukannya hukanlah campur tangan,
tapi urun rembuk guna mengakhiri kemelut dalam tubuh PDI. Hadir
dalam pertemuan itu para tokoh yang mewakili masing-masing
kelompok dalam PDI, antara lain Sanusi Hardjadinata, Sunawar
Sukowati, Mh. Isnaeni, Hardjantho. Sabam Sirait dan Achmad
Sukarmadidjaja. Tidak ada yang bisa dikorek dari mereka karena
Sudomo melarang wartawan bertanya pada mereka. "Jangan ditanya
dulu, nanti tambah .... lagi. Cukup saya saja," cegah
Pangkopkamtib.
Kampungan
Urun rembuk Pangkopkamtib menarik, karena pertengahan November
lalu Kepala Bakin/Kaskopkarmtib Jenderal Yoga Sugama menyatakan
bahwa Bakin sebagai instansi lepas tangan, tidak lagi mau turun
tangan dan ikut serta menyelesaikan kemelut PDI.
Agaknya urun rembuk (menyumbangkan pendapat) itu diperlukan.
Sejak 1976 perpecahan dalam pimpinan PDI telah terjadi dengan
pengelompokan yang simpang siur dan selalu berubah. Terakhir,
terdapat 2 kelompok utama: Hardjantho dkk dan Sanusi dkk. Lepas
tangannya Bakin mengakibatkan keadaan yang mandek, yang mencair
15 Desember lalu, tatkala AP Batubara -- Ketua DPD PDI Jakarta
(yang terpecah dua juga) -- mengambil alih DPP PDI dan menduduki
kantor DPP di Jalan Diponegoro Jakarta.
Langkah AP Batubara rupanya mendobrak kemacetan. Pangkopkamtib
Sudomo memanggil Batubara setelah menerima pengaduan Sanusi dkk.
Kemudian disusul "silaturakhmi" kelompok llardjantho ke rumah
Sudomo. Hasil semua itu pertemuan DPP PDI dengan Sudomo pekan
lalu. Tapi kantor DPP tetap disegel dan kunci masih dipegang
Sudomo. "Sewajarnya nanti kunci saya serahkan pada pak Sanusi,
cuma kita tunggu waktu yang baik," ujar Pangkopkamtib.
Apakah bersatunya DPP PDI itu bisa langgeng? Menurut Sekjen DPP
PDI Sabam Sirait, penyebab kemelut adalah perbedaan pendapat
dalam bidang organisasi dan personalia dan bukannya perbedaan
politik. Dalam menghadapi berbagai masalah yang bersifat
nasional seperti RUU HAP dan RUU Pemilu, semua bersatu.
"Kasarnya di PDI sekarang ada penyakit kampungan. Semua merasa
bisa jadi ketua umum," ujar Sabam.
Menurut TAM Simatupang, salah satu Ketua PDI, yang ada sekarang
baru keinginan untuk bersatu. Belum mungkin saat ini bagi DPP
untuk berkumpul secara formal membicarakan masalah prinsip.
Seyogyanya dilakukan rembukan dulu untuk mempersiapkan pertemuan
formal.
Yang ikut meramaikan kemelut: AP Batubara yang masih terus
melanjutkan kegiatan sebagai "Pimpinan Pelaksana Harian DPP"
dengan memberhentikan beberapa anggota DPP yang dipilih Kongres.
"Saya baru saja mendapat surat pemecatan," ujar TAM Simatupang
Sabtu lalu.
Campur tangan pemerintah lewat Sudomo dalam PDI tampaknya karena
pemerintah sendiri berkepentingan terhadap partai ini. Tahun
depan persiapan pemilu 1982 sudah harus dimulai dan tanpa adanya
DPP yang pasti, sulit bagi pemerintah untuk mengajak PDI
mempersiapkan pemilu. Dan kelihatannya pemerintah sementara ini
tetap menyetujui Sanusi sebagai ketua umum karena dipilih oleh
kongres.
Berlarut-larut dan awetnya perpecahan dalam pimpinan PDI itu
rupanya menimbulkan akibat samping. Beberapa tokoh PNI (Partai
Nasional Indonesia) yang sejak semula kurang menyetujui
berfusinya PNI dalam PDI akhirnya mengambil jalan sendiri.
"Bagaimana fusi itu berjalan lancar. Yang difusikan kan
berlainan ideologinya," ujar H. Doel Arnowo, 76 tahun, bekas
Ketua PNI Ja-Tim sebelum fusi pada TEMPO.
Cak Doel, yang juga bekas walikota pertama Surabaya, ternyata
tidak sendirian mengidap nostalgia PNI. Bersama beberapa
temannya yang menyebut diri mereka "Marhaenis sejati"
dibentuklah suatu wadah. Secara resmi pada 20 Mei 1979
didirikan sebuah organisasi sosial yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Namanya
Pembangunan Nasional Indonesia disingkat PNI. Lambangnya
berbentuk kepala banteng dalam segitiga dengan dasar putih dan
gambar merah.
Lewat Pendidikan
PNI berpusat di Malang dengan Ketua Umum Asmiadi Tiro Utomo yang
pernah menjadi Ketua Umum Gerakan Pemuda Marhaenis Jawa Timur.
Doel Arnowo sendiri menjabat Ketua Dewan Pertimbangan, sedang
wakilnya drh. Ambio, bekas pimpinan DPD PNI Ja-Tim 1966-1970.
Sampai saat ini baru ada 3 pengurus daerah yang diresmikan: Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Bali. "Dalam waktu dekat ini Jawa Barat
dan Sumatera Utara sudah bisa berdiri," ujar Doel.
Sementara ini PNI hanya bergerak di bidang sosial, seperti
mendirikan lembaga pendidikan misalnya yang telah dilakukan di
Banyuwangi. "Seperti Ki Hajar Dewantara, untuk merealisir
cita-cita membina bangsa harus dimulai dari pendidikan," ucap
Doel. Untuk jangka panjang ia menginginkan PNI bisa ikut Pemilu.
"Kalau tidak diizinkanya tetap saja sebagai organisasi sosial,
tambahnya.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PNI ternyata hampir
tidak berbeda dengan PNI dulu. Dalam pasal 7 misalnya,
disebutkan PNI bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
Marhaenistis atau Sosialisme Pancasila. Juga memupuk dan
mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme.
Doel Arnowo tidak merasa perlu memberi penjelasan pada PDI
tentang berdirinya PNI, walau "kami akan memberi penjelasan pada
siapa saja yang minta penjelasan," katanya.
"Secara resmi kita memang belum mendapat laporan tentang itu,"
kata Sekjen PDI Sabam Sirait pada TEMPO. "Kalau sekedar gerakan
sosial dan pen(lidikan, jelas bisa saja," lanjutnya. Tapi
kalau-akan berkembang menjadi parpol, secara prinsipil tidak
bertentangan dengan pasal 28 UUD, tapi bertentangan dengan UU
no. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar. Namun diakuinya UU ini
bisa ditinjau kembali bila keadaan memungkinkan.
Sabam mendukung sepenuhnya usaha PNI untuk mengobarkan semangat
nasionalisme. "Demi patriotisme, siapa saja bisa melanjutkan
nasionalisme Pancasila," ucapnya. PDI sendiri juga mengarah ke
sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini