AKHIRNYA Haji Ismail Pranoto, Selasa 19 September pekan lalu,
divonis hukuman penjara seumur hidup. Tokoh ketiga bekas DI/TII
ini -- yang juga dikenal dengan mana singkatan Hispran --
ditangkap 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar Jawa Timur
dan diadili oleh Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April lalu.
Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan "Komando Jihad" untuk
menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan "Negara Islam."
Belakangan, dan begitulah menurut Majelis Hakim yang dipimpin
oleh RM Soejono Koesoemosisworo, Hispran dituduh membentuk wadah
bagi bekas DI/TII dengan nama "Jemaah Bela Diri" di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dan dengan demikian juga berarti gerakan
subversi. Maka pengadilan pun menterapkan pasal-pasal subversi
seperti tercantum dalam UU No. 11/PNPS/ 1963 yang terkenal itu.
Tapi Majelis juga menyebut, apa yang disebut "Komando Jihad"
tidak ada dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan
Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III (Hukum) DPR-RI
akhir Juni 1977 lalu. Ketika itu ia menyatakan bahwa "Komando
Jihad" sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim
yang dipimpin oleh bekas-bekas DI/TII.
Gerakan ilegal yang kata Jaksa Agung terbentuk sejak 1970 itu
bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja, ditokohi oleh bekas
DI/TII Jawa Barat. Di beberapa tempat namanya macam-macam.
Misalnya "Gerakan Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah" (DKI)
"Jihad Fillah" dan "Jihad Fisabilillah" (Jawa Barat) "Pasukan
Jihad" (Sumatera Utara) "Barisan Sabilillah" (Jawa Timur). Tapi
menurut Ali Said lagi, seluruh gerakan itu belum terdapat
tanda-tanda di bawah satu komando.
Lika-liku
Bersidang 25 kali, setiap Senin dan Sabtu dan mendengarkan saksi
tak kurang dari 20 orang, dua saksi lain-nya gagal dihadapkan
karena sakit di Jakarta. Mereka adalah tokoh ulama Aceh Daud
Beureueh (yang konon diangkat sebagai "Imam Jama'ah Mujahidin"
dan tokoh bekas DI/TII Jawa Barat Danu Muhammad Hasan. Majelis
juga menolak tiga saksi a decbarge: bekas Waka Bakin yang kini
Menteri Penerangan Letjen Ali Murtopo, Kol. Pitut Suharto dan
anggota DPR-RI Jusuf Hasjim.
Yang menarik ialah lika-liku gerakan Hispran sendiri, seperti
dituturkan oleh saksi Ateng Djaelani, 55 tahun, tokoh kedua
bekas DI/TII asal Garut, dalam sidang bulan Mei lalu. Menurut
Ateng, di kalangan bekas DI/TII dikenal 3 orang sesepuh: Danu
Muhammad Hasan, Ateng sendiri dan Hispran.
Dalam sebuah pertemuan di Bandung, ketiga sesepuh itu sepakat
kembali ke "Maklumat Komendemen Negara Islam Indonesia" No. 1,
yaitu membentuk Komandemen Wilayah (propinsi) dan Daerah
(karesidenan). Tahun 1976, Hispran diangkat sebagai "Komandan
Komandemen Pertempuran Wilayah Be sar Jawa-Madura."
Dalam kedudukan seperti itu, Hispran ditugaskan menghubungi
beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam persidangan,
Hispran mengakui hal itu. Pertengahan 1976, 8 orang dari Jawa
Timur dilantik oleh Ateng sendiri di rumah Danu di Bandung.
Pulang ke Jawa Timur, mereka mencari "teman-teman lain". Sampai
di sini gerakan tersebut belum punya nama, kecuali disebut
sebagai "Jama'ah" saja.
Menurut Ateng, dalam setiap pertemuan memang hanya disebut-sebut
tentang bahaya komunis. "Tapi yang menjadi tujuan sebenarnya
ialah menghidupkan kembali NII dan menggulingkan pemerintahan
Soeharto," tutur Ateng dengan amat lancarnya. Tapi ia juga
mengakui bahwa dialah yang juga membentuk Komandemen Wilayah dan
beberapa Komandemen Daerah di Jawa Timur.
Saksi lain, Sjamsuddin, mengaku pernah mendapat perintah dari
tertuduh untuk mengawasi pantai selatan karena akan ada dropping
senjata dari luar negeri. Soal dropping senjata dari Libia untuk
"Komando Jihad" ini memang pernah santer menjelang Pemilu 1977
lalu. Tapi menurut tertuduh Hispran, pengawasan di pantai itu
"untuk kalau-kalau komunis datang lewat pantai selatan."
"Karangan"
Tangkisan Hispran terhadap kesaksian Ateng mengejutkan. Katanya,
kesaksian tersebut hanya "hasil karangan" belaka. Bahkan
katanya, Danu dan Ateng itu orangnya pemerintah. "Yang satu
mendapat gaji dan mobil, yang satu menjadi penyalur minyak tanah
untuk seluruh Jawa Barat," kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.
Dalam sidang 15 Mei 1978, Hispran mengakui bahwa pimpinan
"gerakan pengawasan bahaya komunis" itu adalah Danu. "Apakah
tertuduh pernah ke Senopati?" tanya pembela. "Pernah satu kali,
tidur di kamarnya pak Danu," jawab Hispran. "Senopati itu apa?"
tanya Hakim anggota. "Itu kantor Bakin. Pak Danu kerja di sana,"
jawab Hispran.
Tentang Ateng Djaelani -- yang menyatakan sering membantu
keuangan bagi anak buahnya bekas DI/TII di Jawa Barat -- dalam
salah sebuah sidang di Surabaya itu Hispran berkata: "Saya telah
menjadi korban dari diplomasi Ateng. Teman-teman Jawa Timur
tentu mengira saya yang mengorbankan mereka. Tapi saya sendiri
juga tertipu. Saya minta maaf kepada teman-teman Jawa Timur atas
penderitaan mereka. Jawa Timur telah tertipu oleh Jawa Barat."
Atas pertanyaan pembela Pamudji SH mengapa Ateng tidak melapor
kepada Pemerintah, Ateng menyatakan "saya tidak harus buka
kartu tentang apa yang harus diketahui oleh pihak berwajib."
Tapi ketika pembela minta agar Ateng yang juga dianggap terlibat
dalam gerakan tertuduh ini kelak dituntut pula sebagai tertuduh,
jawab Hakim "hal itu bukan urusan Hakim."
Adalah Ateng pula yang pertengahan Nopember 1977 ditampilkan
oleh Pangdam VI/Siliwangi Himawan Sutanto untuk menjelaskan
sejarah DI/TII, dalam kasus penerbitan buku Himbauan karangan
Bung Tomo di Aula Hankam, Jakarta (TEMPO, 19 Nopember 1977,
Nasional).
Tentang Danu, tokoh bekas DI/TII nomor wahid itu, Ateng berkata
kepada TEMPO "Saya pernah mengkritik Pemerintah karena ada
bekas tokoh Di/TII yang dibina oleh Bakin. Ternyata tokoh itu
termasuk yang masuk hutan lagi. Tapi kini sudah ketangkap."
Tampaknya memang ada perpecahan di kalangan para "sesepuh"
DI/TII. Juga persaingan dan saling berebut pengaruh. Tapi juga
bersaing dalam mencari isi perut ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini