Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pecahnya Sesepuh Di

PN Surabaya memvonis penjara seumur hidup terhadap haji Ismail Pranoto alias Hispran yang dituduh mengorganisasikan gerakan "komando jihad" untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan negara Islam. (nas)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA Haji Ismail Pranoto, Selasa 19 September pekan lalu, divonis hukuman penjara seumur hidup. Tokoh ketiga bekas DI/TII ini -- yang juga dikenal dengan mana singkatan Hispran -- ditangkap 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar Jawa Timur dan diadili oleh Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April lalu. Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan "Komando Jihad" untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan "Negara Islam." Belakangan, dan begitulah menurut Majelis Hakim yang dipimpin oleh RM Soejono Koesoemosisworo, Hispran dituduh membentuk wadah bagi bekas DI/TII dengan nama "Jemaah Bela Diri" di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan dengan demikian juga berarti gerakan subversi. Maka pengadilan pun menterapkan pasal-pasal subversi seperti tercantum dalam UU No. 11/PNPS/ 1963 yang terkenal itu. Tapi Majelis juga menyebut, apa yang disebut "Komando Jihad" tidak ada dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III (Hukum) DPR-RI akhir Juni 1977 lalu. Ketika itu ia menyatakan bahwa "Komando Jihad" sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim yang dipimpin oleh bekas-bekas DI/TII. Gerakan ilegal yang kata Jaksa Agung terbentuk sejak 1970 itu bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja, ditokohi oleh bekas DI/TII Jawa Barat. Di beberapa tempat namanya macam-macam. Misalnya "Gerakan Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah" (DKI) "Jihad Fillah" dan "Jihad Fisabilillah" (Jawa Barat) "Pasukan Jihad" (Sumatera Utara) "Barisan Sabilillah" (Jawa Timur). Tapi menurut Ali Said lagi, seluruh gerakan itu belum terdapat tanda-tanda di bawah satu komando. Lika-liku Bersidang 25 kali, setiap Senin dan Sabtu dan mendengarkan saksi tak kurang dari 20 orang, dua saksi lain-nya gagal dihadapkan karena sakit di Jakarta. Mereka adalah tokoh ulama Aceh Daud Beureueh (yang konon diangkat sebagai "Imam Jama'ah Mujahidin" dan tokoh bekas DI/TII Jawa Barat Danu Muhammad Hasan. Majelis juga menolak tiga saksi a decbarge: bekas Waka Bakin yang kini Menteri Penerangan Letjen Ali Murtopo, Kol. Pitut Suharto dan anggota DPR-RI Jusuf Hasjim. Yang menarik ialah lika-liku gerakan Hispran sendiri, seperti dituturkan oleh saksi Ateng Djaelani, 55 tahun, tokoh kedua bekas DI/TII asal Garut, dalam sidang bulan Mei lalu. Menurut Ateng, di kalangan bekas DI/TII dikenal 3 orang sesepuh: Danu Muhammad Hasan, Ateng sendiri dan Hispran. Dalam sebuah pertemuan di Bandung, ketiga sesepuh itu sepakat kembali ke "Maklumat Komendemen Negara Islam Indonesia" No. 1, yaitu membentuk Komandemen Wilayah (propinsi) dan Daerah (karesidenan). Tahun 1976, Hispran diangkat sebagai "Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Be sar Jawa-Madura." Dalam kedudukan seperti itu, Hispran ditugaskan menghubungi beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam persidangan, Hispran mengakui hal itu. Pertengahan 1976, 8 orang dari Jawa Timur dilantik oleh Ateng sendiri di rumah Danu di Bandung. Pulang ke Jawa Timur, mereka mencari "teman-teman lain". Sampai di sini gerakan tersebut belum punya nama, kecuali disebut sebagai "Jama'ah" saja. Menurut Ateng, dalam setiap pertemuan memang hanya disebut-sebut tentang bahaya komunis. "Tapi yang menjadi tujuan sebenarnya ialah menghidupkan kembali NII dan menggulingkan pemerintahan Soeharto," tutur Ateng dengan amat lancarnya. Tapi ia juga mengakui bahwa dialah yang juga membentuk Komandemen Wilayah dan beberapa Komandemen Daerah di Jawa Timur. Saksi lain, Sjamsuddin, mengaku pernah mendapat perintah dari tertuduh untuk mengawasi pantai selatan karena akan ada dropping senjata dari luar negeri. Soal dropping senjata dari Libia untuk "Komando Jihad" ini memang pernah santer menjelang Pemilu 1977 lalu. Tapi menurut tertuduh Hispran, pengawasan di pantai itu "untuk kalau-kalau komunis datang lewat pantai selatan." "Karangan" Tangkisan Hispran terhadap kesaksian Ateng mengejutkan. Katanya, kesaksian tersebut hanya "hasil karangan" belaka. Bahkan katanya, Danu dan Ateng itu orangnya pemerintah. "Yang satu mendapat gaji dan mobil, yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat," kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978. Dalam sidang 15 Mei 1978, Hispran mengakui bahwa pimpinan "gerakan pengawasan bahaya komunis" itu adalah Danu. "Apakah tertuduh pernah ke Senopati?" tanya pembela. "Pernah satu kali, tidur di kamarnya pak Danu," jawab Hispran. "Senopati itu apa?" tanya Hakim anggota. "Itu kantor Bakin. Pak Danu kerja di sana," jawab Hispran. Tentang Ateng Djaelani -- yang menyatakan sering membantu keuangan bagi anak buahnya bekas DI/TII di Jawa Barat -- dalam salah sebuah sidang di Surabaya itu Hispran berkata: "Saya telah menjadi korban dari diplomasi Ateng. Teman-teman Jawa Timur tentu mengira saya yang mengorbankan mereka. Tapi saya sendiri juga tertipu. Saya minta maaf kepada teman-teman Jawa Timur atas penderitaan mereka. Jawa Timur telah tertipu oleh Jawa Barat." Atas pertanyaan pembela Pamudji SH mengapa Ateng tidak melapor kepada Pemerintah, Ateng menyatakan "saya tidak harus buka kartu tentang apa yang harus diketahui oleh pihak berwajib." Tapi ketika pembela minta agar Ateng yang juga dianggap terlibat dalam gerakan tertuduh ini kelak dituntut pula sebagai tertuduh, jawab Hakim "hal itu bukan urusan Hakim." Adalah Ateng pula yang pertengahan Nopember 1977 ditampilkan oleh Pangdam VI/Siliwangi Himawan Sutanto untuk menjelaskan sejarah DI/TII, dalam kasus penerbitan buku Himbauan karangan Bung Tomo di Aula Hankam, Jakarta (TEMPO, 19 Nopember 1977, Nasional). Tentang Danu, tokoh bekas DI/TII nomor wahid itu, Ateng berkata kepada TEMPO "Saya pernah mengkritik Pemerintah karena ada bekas tokoh Di/TII yang dibina oleh Bakin. Ternyata tokoh itu termasuk yang masuk hutan lagi. Tapi kini sudah ketangkap." Tampaknya memang ada perpecahan di kalangan para "sesepuh" DI/TII. Juga persaingan dan saling berebut pengaruh. Tapi juga bersaing dalam mencari isi perut ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus