MALAM seperti itu, hujan sering turun.
Fred de Silva, editor dari Ceylon Daily News, memulai
tulisannya. Ia berjalan sejak tadi. Ada kabut tipis dalam gelap,
tumbuh dari udara panas. Kulit terasa lekat. Tapi hujan telah
menunjukkan janjinya, untuk datang. Kaki-kaki telah bergegas.
Orang mencari tempat dan atap.
Di antara suara sandal itu ada sepasang kaki yang lain. Bukan
lain karena telanjang dan tua, tapi karena ritmenya berbeda.
Langkah itu mirip langkah seorang penari kavadi. Cekatan,
bersemangat, meskipun yang empunya berambut putih meskipun
seluruh tubuhnya jembel, meskipun ia seperti sendiri.
Mungkin itulah sebabnya lelaki pengemis tua itu menarik
perhatian. "Itulah sebabnya aku sampai bisa melihatnya di dalam
arus umat manusia yang bergerak," kata de Silva. Itulah sebabnya
detail sang sosok menjadi jelas. Wajahnya adalah wajah tersiksa
seorang penari kavadi -- tersiksanya seorang kesurupan.
Sebab orang tua itu jelas gila: setelah beberapa meter melangkah
ke depan, ia pun akan berhenti. Lalu melangkah ke belakang,
seakan-akan ia mencari seseorang atau terlupa akan sesuatu
--kemudian berubah fikiran serta melanjutkan jalannya yang
termangu.
Tapi ia tak sendiri. Di salah satu tangannya tergantung
bungkusan kertas. Di dalamnya mungkin tersembunyi makanannya
buat malam itu. Di lengannya yang lain, seorang bocah kecil
terguncang-guncang dalam irama jalan pak tua yang rudin itu.
Terkadang ia nampak seperti terpuntir. Tapi tak menangis. Tapi
tak ketawa Dari mana ia hingga sampai ke pelukan yang semacam
itu? Apa yang kelak akan terjadi kepadanya?
Bocah itu seakan meletakkan kepercayaannya, total, kepada tubuh
aneh itu, sebagaimana ia kadang meletakkan kepalanya. Tapi
orang-orang yang bersua dengan mereka di jalan terhenti sebentar
untuk bertanya-tanya, dalam hati.
Beranikah mereka bertanya kepada pak tua itu tentang si bocah?
Apa yang akan terjadi, jika saja lelaki itu tiba-tiba memutuskan
untuk meninggalkan si anak, dan orang-orang yang terhenti
menjelang hujan itu harus menggendongnya? Tidak, tidak. Itu tak
akan terjadi. Tapi mungkin saja mendadak orang sinting itu
meletakkan si anak di samping sebuah tempat sampah, atau di
tangga sebuah rumah di depan pintu di tepi jalan itu. Apa
kiranya yang akan terjadi? Bukankah bisa saja anak itu lari
ketakutan ke jalan, melontarkan diri ke roda sebuah mobil yang
kencang?
"Aku memandang ke sekitar, ke arah orang-orang asing yang cemas
itu, yang memandang drama yang lebih aneh daripada kehidupan
nyata itu. Mereka cuma berdiri dan melihat. Tak seorang pun
bergerak. Tak seorang pun bicara.
"Tak seorangpun bertindak, atau bereaksi. Apa yang harus mereka
lakukan? Pertolongan apa yang dapat mereka berikan, harapan apa
yang mereka bisa ulurkan? Adakah rasa belas kasihan pribadi dan
kemurahan hati relevan, di hadapan kemalangan yang sedemikian?
Hati mungkin terluka tapi kepala menyurutkan langkah dalam
ketidakmampuan yang merancukan fikiran itu. Jiwa yang merasa
bersalah pun diamdiam menyisih dari adegan kejahatan ini --
kejahatan yang sebenarnya tak pernah mereka perbuat.
"Tapi kesalahan mereka adalah karena hidup di sebuah dunia di
mana hal seburuk itu bisa terjadi. Hanya pengemis tua itu yang
bertindak dengan sikap pasti seorang yang tak bersalah. Ia
menempuh jalannya sendiri, langkahnya sungguh mengherankan
ringannya, langkah seorang penari kavadi . . . "
Fred de Silva membacakan tulisan pendeknya ini di sebuah seminar
di tahun 1975 di antara para wartawan Dunia Ketiga. Di bawah
judul A Study of Social Guilt, ia sebenarnya menulis semacam
puisi, menulis tentang kenyataan yang paling dasar.
Dan ia pun sebenarnya bertanya, dalam air pembersih yang
bagaimanakah kita bisa mencuci tangan, bila di luar hujan turun
dan malam gelap dan beberapa orang anak tertidur di tepi jalan,
tak berubah. Memang ada sesuatu yang sentimentil di situ. Tapi
bisakah kita mengecamnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini