MENTERI Agama Munawir Sjadali duduk bersama K.H. Achmad Siddiq menghadapi sebuah meja bundar. Disitu terhidang ayam goreng, sayur kol, dan ikan laut. Itu ketika santap siang. Sebelumnya, soal tajdid, alias "pembaruan" telah dilontarkan K.H. Siddiq, dalam pidato pembukaan di Musyawarah Nasional NU di Cilacap. Mereka lebih utama membahas masalah yang berkait dengan ijtimaiyah (kemasyarakatan) dan diniyah, keagamaan. Atau, menurut bahasa Achmad Siddiq, menelusuri soal tajdid di Munas agar pengertian tentang itu tidak semrawut. "Kedua, untuk mencegah tajdid disalahgunakan orang," katanya kepada Rustam F. Mandayun dari TEMPO. Rais am Syuriah NU itu seperti bermaksud meluruskan gagasan Menteri Agama tentang contoh hangat sekarang: "reaktualisasi". Pembaruan, menurut Kiai Achmad, ialah "menggali kembali ajaran Islam", agar tak terjerumus ke dalam tahdits. Yaitu, sesuatu yang sama sekali baru, yang belum pernah ada dalam Quran dan Hadis. Juga belum ada dalam ijmak, konsensus, yang selama ini. Jadi pegangan para ulama, untuk diikuti umat. "Islam adalah agama Allah, tak boleh diubah-ubah. Islam sudah sempurna sejak mula," katanya. Baik Kiai A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, maupun Kiai Hasan Basri, Ketua Umum MUI, memuji pendapat rekannya itu. "Itu tepat sekali, dan benar belaka," kata mereka. Sedangkan Kiai Ali Ma'shum, tokoh ulama NU terkemuka menyatakan, "Kami menerima pembaruan. Tapi pembaruan yang bagaimana dulu?" Secara terpisah Munawir menjelaskan kepada TEMPO: ia setuju apa yang dikemukakan Kiai Siddiq tadi. Tapi tajdid itu tak cuma mencakup fungsi i'adah (rehabilitasi), ibanah (koreksi), dan ihya atau renovasi. Di dalam makna itu, ujar Munawir, ada pengertian "penyesuaian". Karena itu, baginya, usaha tajdid itu lebih baik dilakukan kolektif. Ia juga memberi contoh kemungkinan "perbedaan hukum yang sama di tempat yang berbeda". Mengutip Ibn al-Qayyim al Jawziyah, murid Ibn Taymiyyah, "Pengubahan fatwa-fatwa itu dimungkinkan sesuai dengan situasi, kondisi, tempat, pendapat, dan waktu." Tetapi, menurut Kiai Achmad, "Sekarang ini selain mempelajari agama, orang melakukan hal-hal lain." Tak ada lagi yang mampu melakukan ijtihad mutlak, yaitu langsung merujuk ke Quran dan Hadis -- seperti para imam ahli fiqih, hukum Islam, dahulu kala Jadi, bila sekarang orang mau melakukan tajdid, ia harus tetap bersandar pada salah satu imam itu. Di Munas Cilacap, tajdid belum tuntas didiskusikan di Komisi A. Nanti akan diteruskan lagi di PB NU. Karena itu ditunda sebulan, sembari menunggu bahan dari daerah. Soal cek kosong, "Itu tak boleh, karena nilainya tak jelas," kata K.H. Ali Yafie. Ada pula bab salat para sopir. Seperti seorang musafir, bila ia menempuh jarak 80 km lebih menjamak (melakukan dua salat dalam satu waktu atau menjalankan seperti biasa? Dengan merujuk pada mazhab Syafii: terbaik adalah mengerjakan salat seperti biasa, lengkap. Jika mau menjamak, juga boleh. Undian berhadiah dalam promosi barang? Disepakati: boleh. Tetapi ketika pembahasan zakat petani ikan berskala gurem, malah timbul debat sengit. Tumpukan kitab di karpet hijau sempat dibolak-balik. Kurang puas, seorang santri lari ke belakang masjid. Ia mencari kitab lain. Diskusi cara penentuan hisab (perhitungan jatuhnya tanggal) puasa, tak urung menyita waktu juga. "Biar semua puas," ujar K.H. Rhodi Sholeh, pimpinan sidang. Munas Alim-Ulama NU ini diselenggarakan di pesantren di kota kecil, tak memilih hotel berbintang di kota besar. Sederhana memang. Mungkin agar terasa lebih dekat dengan rakyat kecil -- membahas hal-hal yang akrab dengan mereka. Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini