TERDENGAR tepuk tangan gemuruh ketika Kiai Haji Achmad Siddiq menegaskan, "Tak akan ada pemilihan pengurus baru dalam Munas ini." Wajah-wajah lega pun bermunculan, termasuk dari Ketua PB NU Abdurrahman Wahid. Penegasan rais am NU Kiai Siddiq itu diucapkan ketika menyampaikan "khutbah iftitah", pidato pembukaan, musyawarah nasional (Munas) dan konperensi besar (Konbes), Ahad pekan lalu, di Pesantren Ihya Ulumuddin, Desa Kesugihan, 15 km di luar Kota Cilacap, Jawa Tengah. Munas (selama dua hari) dan Konbes (dua hari juga) yang dihadiri sekitar 800 peserta dari 26 wilayah NU ini dibuka oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali. Tampak hadir Gubernur Jawa Tengah Ismail, Ketua MUI Hasan Basri, dan Ketua PP Muhammadiyah A.R. Fakhruddin. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga NU jelas menyebutkan bahwa forum untuk memilih pengurus baru adalah muktamar. Tapi mengapa Kiai Siddiq menyebut-nyebut soal pemilihan pengurus? Menjelang Munas, ternyata nama Ketua PB NU Abdurrahman Wahid ramai dibicarakan. Itu terutama karena tindakan dan ucapannya yang sering membuat para tokoh NU lainnya mengelus dada. Misalnya Abdurrahman Wahid berpendapat pendidikan agama cukup diberikan di rumah. Tak perlu di sekolah. "Sebagai orang NU nggak bisa dia bicara seperti itu. Tahunan lamanya kita berusaha memasukkan soal itu di GBHN, malah disokong Golkar," ujar Chalik Ali, bekas anggota PB NU dan anggota DPR periode lalu. Bersama Mahbub Djunaidi, salah satu Ketua PB NU, Chalik dianggap sebagai orang-orang yang resah pada tingkah Abdurrahman Wahid. Putra K.H. Wahid Hasjim, salah satu pendiri NU, itu juga berpendapat "Assalamualaikum" cukup diganti dengan ucapan "Selamat pagi, siang, atau malam." Ketika pendapatnya itu dimuat di majalah Amanah beberapa bulan yang lalu, banyak ulama yang marah. Terutama Kiai Ali Ma'shum, bekas rais am NU yang kini menjadi salah seorang anggota majelis mustasyar. Gus Dur -- panggilan akrab Abdurrahman Wahid -- kemudian menyatakan bahwa itu adalah pendapat pribadi. Ia lalu minta maaf pada Ali Ma'shum. Soal ini kemudian dianggap selesai. Sekalipun begitu, tetap saja Chalik Ali dan kawan-kawan mendongkol. "Dia bicara pribadi seenaknya," kata Chalik. Ada pula anggapan Gus Dur kurang bisa mengorganisasikan NU. Akibatnya, organisasi dengan 14 juta anggota itu tak mampu menghimpun dana untuk melaksanakan keputusan Muktamar Situbondo 1984. Misalnya menjalankan program pengembangan sumber daya manusia. Dari sini kemudian berkembang suara-suara untuk menggeser kedudukan Gus Dur melalui Munas. Ini membuat sejumlah kiai NU prihatin. Rais Am K.H. Achmad Siddiq sendiri pusing memikirkan masalah itu. "Saya ini ibarat makan buah simalakama. Keinginan menggeser Gus Dur, kalau dituruti bagaimana. Kalau tak dituruti bagaimana," katanya menjawab pertanyaan seorang aktivis muda NU yang datang ke rumahnya sekitar sepekan sebelum Munas. Maka, pada 7 November yang lalu, tiga ulama penting NU, Kiai Haji As'ad Syamsul Arifin, Kiai Haji Masykur, dan Haji Imron Rosjadi, berkumpul di rumah Kiai Haji Mujib Ridwan, di kawasan Bubutan, Pasar Turi, Surabaya. Tampaknya, dipilihnya rumah ini -- di sini NU dilahirkan 61 tahun yang silam -- bisa dijadikan petunjuk betapa pentingnya pertemuan itu. Imron Rosjadi mengungkapkan, "Pertemuan itu untuk memecahkan masalah, yakni bingungnya warga NU pada sikap pemimpinnya." Kebingungan itu sebagai akibat Abdurrahman Wahid tak jelas menerapkan garis-garis khittah. Seperangkat peraturan yang dikeluarkan PB NU untuk merealisasikan khittah, misalnya, tak menghendaki pengurus NU merangkap menjadi pengurus parpol. Menjelang Pemilu, Abdurrahman Wahid meminta para pengurus NU yang masuk dalam daftar calon tetap PPP untuk nonaktif. Tapi kemudian Abdurrahman Wahid sendiri duduk di Badan Pekerja MPR. "Yang dulunya dilarang, dia sendiri yang melanggar. Orang lain tidak boleh," kata Imron, tokoh NU yang duduk di DPP PPP itu. Dari sinilah Imron melihat latar belakang mengapa Mahbub Djunaidi tiba-tiba mengeluarkan usulan "Khittah Plus". Yaitu usul untuk menjadikan NU sebagai satu partai politik. "Saya kira begitulah modelnya Mahbub mengkritik. Sebab, dia melihat ada orang yang melarang tapi dia sendiri berbuat," kata Imron. Mahbub sendiri kepada TEMPO mengaku sadar bahwa situasi sekarang menyebabkan keinginannya itu tidak realistis. Namun, dia tetap merasa apa yang dilontarkannya menjelang Munas itu sesuatu yang biasa, sesuatu yang menimbulkan perbedaan pendapat. "Di NU berbeda pendapat itu sah," katanya. Bagaimanapun, guncangan Mahbub ternyata cukup bergema, meski belum cukup kuat untuk menggusur Gus Dur. Pertemuan para sesepuh NU di Surabaya tadi mensepakati akan konsekuen dan konsisten pada hasil Muktamar Situbondo, 1984. Artinya, NU tidak akan jadi parpol dan Abdulrahman Wahid tetap dipertahankan menjadi Ketua PB NU. Tindakan yang diambil para mustasyar (penasihat) itu adalah memanggil dan menasihati Abdurrahman Wahid. Meski sudah ada keputusan itu, di Munas pembicaraan tentang Abdurrahman Wahid dan khittah Plus tetap ramai. Karena itulah Rais Am K.H. Achmad Siddiq tampaknya merasa perlu menegaskan hal itu dalam pidato pembukaan. Suara Kiai Siddiq ternyata bisa menyejukkan suasana Munas, termasuk Abdurrahman Wahid, yang semula tampak selalu murung. "Perkara ada yang melanggar bisa diselesaikan dengan cara baik. Saya berharap dari Munas ini dihasilkan keputusan yang bisa diterima semua pihak, yang bisa menggalang kekompakan keluarga NU, dan bisa menyejukkan suasana berbangsa kita," katanya. Belum tentu kecaman terhadap Gus Dur akan segera surut. K.H. Masjkur sendiri mengatakan, "Di Konbes tetap dilaksanakan evaluasi terhadap kepemimpinan dan pelaksanaan Khittah. Itu akan menegangkan sara, katanya. Amran Nasution (Jakarta), Aries Margono, Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini