Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komnas HAM menganggap konsep pendekatan kesejahteraan dalam mengatasi konflik di Papua masih belum jelas.
Rencana perekrutan warga Papua menjadi anggota TNI dan Polri tak menjamin konflik di Papua akan berakhir.
Pemerintah seharusnya meningkatkan pelayanan publik dan mengatasi diskriminasi di Papua.
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menganggap konsep pendekatan kesejahteraan oleh TNI dan Kepolisian RI dalam mengatasi konflik di Papua masih belum jelas. Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan TNI dan Polri belum pernah menjelaskan secara gamblang konsep pendekatan kesejahteraan yang dimaksudkannya untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Memperbaiki keadaan di sana tidak cukup dengan politic statement. Yang dibutuhkan adalah perencanaan yang matang dan utuh," kata Amiruddin, Senin, 10 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pihak TNI dan Polri sudah menyatakan akan mengubah pendekatan dalam menangani konflik di Papua. Kedua institusi akan mengubah sandi operasi dari Operasi Nemangkawi menjadi Damai Cartenz. Operasi Nemangkawi akan berakhir pada akhir Januari ini. Dengan sandi operasi terbaru ini, TNI dan Polri akan menarik personel mereka ke dalam kendali satuan teritorial.
Mereka juga akan berusaha menghidupkan perekonomian masyarakat di daerah konflik. Misalnya personel Polri akan mengajar masyarakat cara bercocok tanam dan beternak. TNI dan Polri juga akan merekrut 3.000 warga Papua menjadi anggota kedua institusi itu. Perekrutan secara mandiri ini akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat. Lalu warga lokal yang menjadi anggota Polri dan TNI itu akan disebar ke berbagai kepolisian sektor dan komando rayon militer di Papua.
Meski mengubah pola pendekatan, pihak TNI dan Polri berjanji tetap mewaspadai gerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Operasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Penindakan hukum terhadap gerakan bersenjata ini akan tetap dilakukan.
Aparat keamanan berpatroli di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, 30 September 2019. ANTARA/Sevianto Pakiding
Amiruddin berpendapat bahwa pendekatan kesejahteraan lewat TNI dan Polri itu patut dipertanyakan karena Papua berstatus tertib sipil. Apalagi status tertib sipil ini tetap disertai dengan berbagai operasi militer, meski berganti nama operasi.
"Sebaiknya kebijakan Papua bukan diambil Panglima TNI atau Kapolri. Mereka sifatnya teknis operasional," kata Amiruddin.
Ia juga mempertanyakan rencana perekrutan warga lokal Papua menjadi anggota TNI dan Polri itu. Sebab, perekrutan ini justru menambah jumlah kekuatan militer di Papua, padahal keberadaan militer di sana sudah dikritik oleh masyarakat sejak awal.
Amiruddin justru menyarankan pemerintah meningkatkan pelayanan publik di Papua, di antaranya layanan bantuan hukum dan administrasi dari kepolisian. Hingga saat ini, beberapa kabupaten atau kota di Papua belum memiliki kantor kepolisian resor. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat kesulitan mendapat akses layanan publik dan hukum secara maksimal.
Mantan peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ini mengatakan rencana baru pemerintah hanya mengutak-atik kebijakan tanpa melihat permasalahan fundamental di Papua. Padahal akar utama persoalan di sana adalah masalah hak asasi manusia, minimnya partisipasi warga dalam proses pembangunan, diskriminasi, serta penyelenggaraan pemerintahan yang belum maksimal.
"Harapan kami ke depan, lebih banyak memberi ruang untuk rakyat Papua berpartisipasi dan kami akan mendukung langkah dialogis itu," ujar Amiruddin.
Pengunjuk rasa menyerukan kemerdekaan West Papua dan meminta Indonesia menarik militernya dari Papua, di Bandung, Jawa Barat, 21 Mei 2021. TEMPO/Prima Mulia
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, menilai langkah pemerintah mengubah pendekatan keamanan dari operasi militer menjadi pengawasan teritorial akan sulit menyelesaikan akar konflik di Papua. Sebab, pemerintah tetap menempatkan operasi TNI dan polisi di sana. "Yang dibutuhkan adalah pendekatan sipil atau dialog," kata Rivanlee.
Menurut Rivanlee, pemerintah mesti melihat empat akar masalah dalam menyelesaikan konflik di Papua. Keempat akar masalah itu sejalan dengan temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu kegagalan pembangunan, marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.
Rivanlee mengatakan seharusnya langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah menarik pasukan nonorganik dari Papua. Sebab, warga Papua trauma akan konflik dan ketakutan dengan keberadaan tentara di sana. “Dengan kebijakan teritorial, kami khawatir tidak jauh berbeda penerapannya dengan yang terjadi selama ini," katanya.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan, dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, belum menanggapi upaya konfirmasi Tempo soal berbagai kritik tersebut. Staf ahli Tenaga Ahli Utama KSP Kedeputian V, Theofransus Litaay, mengatakan KSP tidak berwenang memberikan jawaban mengenai hal tersebut. "Hubungi Mabes TNI sebagai lembaga yang berwenang," kata dia.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Tb. Hasanuddin, mengatakan upaya TNI dan Polri selama ini memang belum mampu mengakhiri konflik di Papua. Kedua institusi itu justru sibuk mengubah penyebutan Organisasi Papua Merdeka, dari kelompok kriminal bersenjata hingga cap teroris. "Semua langkah itu tidak berhasil dan upaya perlawanan justru terus berjalan sampai sekarang," kata dia.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjelaskan, saat uji kelayakan dan kepatutan sebagai Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa menjanjikan pendekatan yang humanis dalam menangani konflik di Papua. "Karena selama ini pendekatannya hanya keamanan. Sekarang mau diubah menjadi pendekatan kesejahteraan," ujarnya.
Menurut Hasanuddin, pendekatan terbaru ini bertujuan untuk menyeimbangkan upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah di Papua. Sehingga TNI diminta untuk mengikuti kebijakan tersebut dengan mengubah pendekatan keamanan menjadi operasi teritorial, yaitu membangun wilayah bersama masyarakat. Nantinya, kata dia, anggota TNI yang mengawasi teritorial berasal dari warga lokal, sedangkan warga luar Papua akan menjaga perbatasan.
Hasanuddin juga menyayangkan kecaman berbagai pihak terhadap langkah terbaru pemerintah dalam mengatasi konflik di Papua. "Kami berharap lihat dulu prosesnya. Jangan semua yang mau dilaksanakan pemerintah dilihat pesimistis."
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo