SUDAH 400 hari Theys Hiyo Eluay berbaring sendiri di makamnya yang sunyi di bekas lapangan sepak bola Sentani, Papua. Tapi teka-teki kematiannya belum terkubur bersama jenazahnya.
Khalayak ramai, apalagi orang Papua, masih terus mempertanyakan motif di balik pembunuhan kepala suku Sentani ini, kendati pelakunya mulai diadili. Apalagi ujung nasib Theys mengenaskan. Mayat lelaki berusia 64 tahun ini ditemukan terbujur kaku dalam mobilnya pada 11 November 2001 silam, setelah dia menghadiri resepsi di Markas Komando Pasukan Khusus di Hamadi, tiga kilometer dari Jayapura. Sopirnya, Aristoteles Masoka, hingga kini tak kunjung jelas nasibnya.
Jangan heran jika sidang pertama kasus Theys di Mahkamah Militer Tinggi Surabaya, Jumat pekan lalu, menyedot perhatian publik. Saat itu diadakan pembacaan dakwaan terhadap empat dari tujuh terdakwa anggota Kopassus TNI Angkatan Darat. Mereka adalah Letnan Kolonel Hartomo, Kapten Rionardo, Sersan Satu Asrial, dan Prajurit Kepala Ahmad Zulfahmi. Dari pembacaan dakwaan inilah detik-detik menjelang dan saat terjadinya pembunuhan tergambar.
Syahdan, atas undangan Kopassus, Theys hadir dalam resepsi peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2001, di markas pasukan elite ini di Jayapura selatan. Selepas petang, ia datang dengan mobil Toyota Kijang diantar sopirnya, Aristoteles Masoka. "Kedatangan Theys diterima di pendapa markas oleh Letkol Hartomo selaku Komandan Satgas Kopassus Tribuana," tutur Kolonel Haryanto, Ketua Oditur Militer, yang membacakan dakwaan.
Makan malam dimulai. Nah, di tengah jamuan makan malam ini, entah dari siapa, Letkol Hartomo mendengar kabar Theys akan memproklamasikan kemerdekaan Papua pada Sabtu, 1 Desember 2001. Mendengar informasi penting itu, Hartomo memerintahkan anak buahnya, Mayor Doni Hutabarat, agar melakukan "penggalangan" terhadap Theys. "Terserah cara kamu, yang penting Theys tidak jadi memproklamasikan kemerdekaan Papua," demikian pengakuan Hartomo seperti diungkap oditur militer.
Komando berjalan. Selepas acara, sekitar pukul 21.00 waktu setempat, Doni Hutabarat lantas memberi perintah kepada Praka Agus Supriyanto dan Praka Ahmad Zulfahmi agar mengawal Theys pulang ke Sentani. Keduanya sekaligus diperintahkan melakukan penggalangan tersebut.
Maka, dengan mobil biru Theys yang dikemudikan Aristoteles, mereka menuju Sentani, rumah Theys yang berjarak 40 kilometer dari Jayapura. Dua tentara itu, Agus dan Zulfahmi, ikut di mobil. Mereka duduk di kursi belakang.
Operasi "penggalangan" dilakukan berlapis. Diam-diam Doni Hutabarat juga memerintahkan Kapten Rionardo, Sertu Laurensiusly, dan Sertu Asrial agar menguntit mobil Theys. Mereka pun menuju Sentani dengan mobil Toyota Kijang warna merah metalik.
Dalam surat dakwaan oditur, percakapan antara Theys dan dua tentara yang mengantarnya juga digambarkan dengan detail. Praka Zulfahmi membuka percakapan dengan hangat. "Selamat malam, Bapak," ujarnya.
"Selamat malam. Kamu yang disuruh mengantar saya ke Sentani?" tanya Theys. Kali ini Praka Agus yang mengiyakan. Sesaat kemudian percakapan terhenti karena sang ondofolo alias kepala suku menelepon seseorang dengan telepon genggamnya.
Setelah lelaki berperawakan tinggi-besar itu selesai berhalo-halo, Agus meneruskan percakapan. "Bagaimana kabar mama di Sentani?" tanyanya. Lalu, Theys menjawab bahwa istrinya dalam keadaan sehat-sehat saja
Tak berlangsung terlalu lama basa-basi itu. Sejurus kemudian Agus langsung menusuk ke pokok persoalan. "Saya dengar Bapak akan memproklamasikan kemerdekaan Papua. Apa itu tidak buru-buru, karena pemerintah Indonesia akan menerapkan otonomi khusus di Papua?"
Pertanyaan itu dijawab Theys dengan enteng, "Ah, tidak ada itu. Kita tak percaya lagi dengan pemerintah. Rakyat Papua cuma ditipu dan dibunuh oleh pemerintah Indonesia."
Karena pemerintahnya dijelek-jelekkan, Zulfahmi terusik, lalu melancarkan serangan balik: "Bapak jangan memojokkan pemerintah Indonesia. Dulu kan Bapak juga sebagai pejuang dan pernah menjadi anggota DPR RI mewakili daerah Papua. Apa itu bukan berarti kacang lupa kulitnya?"
Di zaman Orde Baru, Theys memang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari Fraksi Karya Pembangunan dalam tiga periode. Namun, setelah tidak dicalonkan lagi pada Pemilihan Umum 1996, ia kembali aktif meneriakkan kemerdekaan Papua.
Mendengar kata-kata Zulfahmi, giliran Theys yang tersinggung. "Hei komba, kamu tahu apa? Orang Papua sudah bertekad untuk merdeka. Mereka cuma percaya kepada saya," katanya dengan nada tinggi.
Aristoteles, yang memegang kemudi, ikut berujar, "Abang (Zulfahmi) jangan macam-macam. Nanti kuteriaki maling." Dan mendadak Aristoteles mengerem mobil. Belum sempat ditahan Agus, ia keluar mobil sembari berteriak-teriak: "Maling..., maling....!"
Di mobil, Theys juga hendak lari ke luar mobil, tapi lengannya digamit erat oleh Zulfahmi.
Saat itulah, masih menurut penuturan oditur, mobil Rionardo yang menguntit ikut berhenti. Sertu Asrial dan Sertu Laurensiusly turun. Keduanya menengok kejadian di mobil Theys. Agus kemudian meminta Asrial agar ganti mengemudikan mobil Theys dan berbalik arah ke Jayapura. Laurensius juga ikut dalam mobil Theys dengan posisi duduk di jok belakang. Akan tetapi banyaknya orang yang berada di sekitar jalan poros Jayapura-Sentani itu memaksa mereka berbalik ke arah Koya.
Nah, dalam perjalanan di malam buta itu, Theys tetap tak henti berteriak. Menurut oditur, secara spontan Zulfahmi lalu menutup mulut Theys dengan telapak tangannya. Ketika telapak tangan dilepas, Theys berteriak-teriak lagi. Begitu sampai tiga kali. Jengkel, Zulfahmi lantas membekap mulut Theys dengan kedua telapak tangannya. Theys sempat meronta-ronta sebelum akhirnya lemas.
Dalam kondisi seperti itulah, menurut pengakuan terdakwa kepada oditur, ketiga prajurit Kopassus meninggalkan tubuh Theys di mobil. Hari sudah menjelang dini hari. Pukul 04.00 subuh, ketiganya pulang ke markas dan melaporkan kejadian tersebut kepada Letkol Hartomo. Hartomo memerintahkan agar mereka beristirahat.
Siang harinya mobil Theys ditemukan di tubir jurang oleh dua orang polisi dari Polres Jayapura, Abib Putut Irianto dan Tarno. Di dalamnya ada tubuh tambun Theys yang sudah tak bernyawa.
Karenanya, pengakuan para terdakwa masih menyimpan kejanggalan. Adakah Theys mati lemas? Sulit dipercaya. Visum yang dilakukan oleh Dokter Clemens Manjatori dari Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, 16 Februari 2002, menyebutkan bahwa Theys tewas dengan bola dan kelopak mata menonjol keluar, hidung dan bibir bawah lecet, hematoma di leher, bibir, dan telinga, lidah terjulur, perut tergores, sperma keluar dari kemaluan, dan ada kotoran keluar dari dubur. Semuanya menunjukkan tanda adanya penganiayaan berat.
Penuturan terdakwa juga kurang sejalan dengan kesaksian Yaneke Ohee, 40 tahun, istri Theys. Pada malam kejadian, sekitar pukul 22.10 waktu setempat, ia menerima telepon dari Aristoteles Masoka. Di balik telepon genggamnya, suara si sopir terdengar panik: "Kami sedang dihadang." Tapi ia tak sempat menjelaskan siapa yang menghadang mereka. Kata Aristoteles lagi, "Mama, tolong beritahukan kepada bapak-bapak pendeta, jemaat, tolong doakan kami. Saya dengan Bapak dalam keadaan bahaya. Kita punya Allah. Papua itu hidup." Dan klik, telepon mati. Sejak itu, si sopir raib.
Kesan yang menyeruak dari cerita versi terdakwa, pembunuhan terhadap Theys dilakukan secara tak sengaja. Ini ditegaskan pula oleh Ruhut Sitompul, pengacara para terdakwa. "Klien saya tidak ada niat mau melenyapkan Theys. Ini kecelakaan dan tidak direncanakan," katanya.
Tidak mengherankan jika para terdakwa hanya dijerat Pasal 338 (pembunuhan biasa) KUHP. Jaring yang melapisi lebih enteng lagi, pasal tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Mereka tidak disentuh dengan jerat Pasal 339 KUHP, tentang pembunuhan berencana.
Hanya, Koesparmono Irsan, bekas Ketua Komisi Penyelidik Nasional (KPN) untuk kasus Theys, membenarkan keterangan yang terdapat di dakwaan oditur. "Keterangan itu cocok dengan hasil penyelidikan KPN," tuturnya. Terutama soal motif pembunuhan Theys, yakni mencegah proklamasi Papua tanggal 1 Desember 2001.
Proklamasi Papua? Mungkin informasi yang keliru. Soalnya, menurut Thaha Al-Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, pihaknya tak punya rencana memproklamasikan kemerdekaan pada 1 Desember 2001. "Yang ada, seperti biasa, adalah syukuran," kata Thaha kepada Cunding Levi dari TEMPO.
Dalam sidang-sidang selanjutnya, soal rencana proklamasi dan juga kejanggalan lainnya semestinya dikuak sehingga tiada lagi teka-teki kenapa sang ondofolo harus mati.
Tomi Lebang, I G.G. Maha Adi, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini