Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bahasa isyarat pada layar televisi menjadi sangat penting saat bencana alam terjadi. Salah satunya untuk memberikan instruksi penyelematan diri dan evakuasi insan tuli. Instruksi dalam bahasa isyarat ini tidak dapat dialihkan begitu saja ke bentuk teks berjalan di layar kaca lantaran bahasa isyarat memiliki perbedaan struktur kalimat dengan bahasa lisan pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Berbeda dengan teks dalam bahasa tertulis, bahasa kedua bagi banyak disabilitas pendengaran ini hadir lengkap dengan tata bahasa dan sintaksisnya sendiri (struktur kalimat)," tulis Liam O’Dell, advokat disabilitas sekaligus jurnalis dengan disabilitas pendengaran, seperti yang dikutip Tempo dari situs pribadi O'Dell, Senin, 13 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa isyarat juga memiliki struktur gramatika, dialek dan kosakata yang unik. Sama seperti bahasa lisan, bahasa isyarat juga berbeda-beda di setiap wilayah dalam suatu negara. Hal ini terjadi karena bahasa isyarat berkembang di komunitas tuli masing-masing. Gejala itu terjadi terutama di bahasa isyarat alamiah seperti bahasa isyarat Indonesia atau Bisindo, American Sign Language (ASL), atau British Sign Language (BSL).
Lantaran itu, bahasa isyarat dalam penanganan bencana alam menjadi sangat penting. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa kelompok disabilitas merupakan kelompok yang dilindungi dalam kejadian bencana (sebagai objek), namun mereka juga dapat menjadi pelaku (subjek) dalam Penanggulangan Bencana melalui peningkatan kapasitas kelompok.
Upaya untuk memberi perhatian kepada mereka yang berkebutuhan khusus, secara nyata dipayungi dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana.
Sistem bahasa isyarat di Indonesia sendiri pada umumnya menggunakan Bisindo dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau Sibi. Kepada Tempo pada Senin, 8 Juli 2018, Peneliti Bahasa Isyarat Universitas Indonesia Adi Kusumo Baroto menjelaskan bahwa Bisindo merupakan bahasa isyarat yang berkembang secara alamiah pada kelompok masyarakat tuli di Indonesia, sedangkan Sibi merupakan bahasa isyarat yang distandarisasi oleh pemerintah.
Insan tuli di Indonesia sendiri lebih banyak menggunakan Bisindo dalam berkomunikasi. Sementara itu, Sibi lebih banyak digunakan sebagai bahasa pengantar formal di sekolah luar biasa. Salah satu perbedaan yang menonjol dari bahasa isyarat Bisindo dan Sibi adalah jumlah tangan yang digunakan.
Sibi lahir bukan karena perkembangan bahasa alami pada kelompok masyarakat tuli, tetapi berkat sistem atau tata cara alih bahasa dari bahasa lisan ke dalam bahasa isyarat buatan. Penerapan Sibi diteken secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) melalui SK No. 0161/U/2994 pada 30 Juni 1994 tentang Pembakuan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. SIBI digunakan sebagai bahasa pengantar komunikasi di kurikulum Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga saat ini.
Liam O'Dell.com | BPPD