DUA dasawarsa lebih, nama Boerhanoeddin Harahap jarang disebut-sebut. Padahal, Kabinet RI ke-17 (128-1955 -- 24-3-1956), yang dipimpin perdana menteri termuda ini penyelewengan pemilu pertama di tahun 1955. Dalam usia 70 tahun, tokoh kelahiran Medan itu Ahad pagi lalu meninggal di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta. Ia mengidap penyakit jantung sejak 1976. "Waktu itu nggak dioperasi. Hanya diberi fascardin, obat pelarut kapur," tutur Djohan Arifin, 36 tahun, anak sulungnya. Ia kerap keluar-masuk rumah sakit. Awal Juni lalu masuk rumah sakit lagi, untuk terakhir kalinya. Tokoh Partai Masyumi ini, teman sekelas Hardi, S.H., tokoh PNI, di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), Jakarta. "Kala dilantik sebagai perdana menteri, Ayah nggak punya dasi. Ajudan terpaksa membeli dulu di Pasar Senen," ujar Djohan. Di masa dia memimpin kabinet pula, Indonesia mengalami kestabilan harga dalam perekonomian. BH, pemimpin yang memberi teladan. Ia gemar berpakaian dari bahan murah, seperti drill. Pertimbangan: kain jenis itu tahan lama. Usai pemilu pertama, 1955, ia menjabat perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Lulusan FH UGM, berpendirian kukuh bekas Ketua Jong Islamieten Bond ini tak suka menonjolkan diri. Waktu tinggal di asrama pelajar Cikini Raya 71, ia ikut dalam suatu peristiwa, yang kelak bernilai amat mendasar. Bung Karno dan Bung Hatta, suatu hari, bertatap muka dengan masyarakat di Deutsches Haus, Merdeka Barat kini Para pelajar penghuni asrama juga ingin hadlr. Soepeno, ketua asrama, sedang ke luar kota. Boerhanoeddin diminta mewakilinya memimpin rombongan ke pertemuan itu. Dia diminta memberikan sambutan. Tanpa persiapan, Boerhanoeddin berbicara singkat, perlunya persatuan Bung Karno dan Bung Hatta. Agar kita punya panutan dalam perjuangan. Tak diduga. Bung Karno segera merangkul Bung Hatta, sambil berseru, "Kita sudah bersatu, dan akan terus bersatu. Pada usia belum 40 tahun, Boerhan, begitu panggilan akrabnya, dilantik oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Ini bukan sembarangan. Presiden Soekarno yang sedang naik haji, tak menganggap langkah Bung Hatta itu "asal tunjuk saja". Sebab, pertengahan 1953, BK pernah meminta BH menjadi formatir kabinet. Karena merasa gagal, BH mengembalikan mandat itu. BK kaget, karena deadline yang diberikan memang belum habis. "Ada wakil partai, seolah-olah tak dapat mandat penuh dari partainya," tutur BH. Soal-soal kecil saja, kata BH, tak bisa diputuskan tanpa persetujuan pimpinannya. "Daripada membuang-buang waktu yang diberikan Presiden," katanya. Setelah BH, dan kemudian PNI, juga gagal membentuk kabinet, tampil Mr. K.R.T. Wongsonagoro dari PIR (Partai Indonesia Raya). Ia membentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet tanpa Masyumi inilah, yang digantikan Kabinet BH. Kabinet Ali I jatuh, karena masalah pergantian pimpinan Angkatan Darat. BH mengatasinya. Tapi kabinetnya dirongrong kericuhan di kalangan Angkatan Udara. Bahkan, BH ditodong senapan, tatkala memasuki Istana, untuk menyelesaikan kasus itu dengan Presiden dan Wapres. PM Boerhanoeddin memprotes ke Sugandhi, ajudan Presiden Soekarno saat itu. Tahun-tahun sulit dialami BH yang sempat jadi pemimpin umum harian Abadi periode 1967-74. Ia suka main tenis dan doyan sambal. Bersama para tokoh penentang Presiden Soekarno, 1962-66, dikenakan karantina politik, ia dituduh ikut PRRI-Permesta. Ia memang "didudukkan" sebagai Menhan dan Menkeh "Republik Persatuan Indonesia", bentukan PRRI/Permesta. Di tahun-tahun terakhir hayatnya, ia aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Almarhum juga ikut kelompok Petisi 50 BH memberi alasan, seperti ditirukan Djohan Arifin, "Kita ini berniat baik, demi negara, masyarakat, dan agama." Ketika mengungsi, BH bertemu dengan Siti Bariyah (kini 59 tahun), gadis asal Desa Sangonan, Yogya. Mereka lantas bersepakat memadu jodoh. Boerhan sempat menyaksikan anak sulungnya diwisuda sebagai sarjana, di Universitas Trisakti, 1981, dan kini bekerja di Bank Bumi Daya. Ada hasratnya yang terpendam. Ia rindu memomong cucu, terutama dari Djohan Arifin. Putrinya, Nuraisyah, 19 tahun, baru tamat SMEA Negeri 4, Jakarta. Hasrat belum sampai, ia sudah menghadap Allah swt. Jenazahnya dikebumikan di Tanah Kusir. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. D.S. Karma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini