RABU lalu Teungku Daud Beureueh meninggal dunia di Banda Aceh. Almarhum, yang lahir pada 1316 Hijriah, tutup usia 91 tahun. Presiden Soeharto mengirim bunga dan kawat, turut berdukacita. Besoknya, jenazah Teungku dikuburkan di bawah pohon mangga, di pekarangan Masjid Baitul A'la lil-Mujahidin - sesuai dengan pesan Almarhum. Masjid yang 12 km di timur Kota Sigli itu dibangun sendiri oleh Teungku. Sejak 1972, suami 3 istri dan ayah 13 anak ini menderita diabetes dan paru-paru basah. Pada 1985 kakek 40 cucu ini jaruh dari tempat tidur. Engsel pinggulnya tergeser. Sembari berbaring di ranjang itu, Teungku menerima tamu-tamu penting, misalnya, saat men jelang Pemilu barusan. Tetapi, menjelang Pemilu 1971, Daud Beureueh diberi kesibukan lain. Ia ditraktir ke luar negeri. Setelah lama diJakarta, 1982, baru dia boleh pulang ke Beureunuen. Ketika Proklamasi terlambat diterima di Aceh, bersama Teungku Hasan Krueng Kalee, Teungku Jafar Siddik Lamjabat, dan Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, pada 15 Oktober 1945, Daud menyuruh rakyat Aceh berperang sabil, membela Republik. Rakyat Aceh juga disuruhnya mendukung Presiden Soekarno sebagai "maha pemimpin kita" karena "telah berdiri Repoeblik Indonesia". Aceh waktu itu masih berperang melawan Belanda. Pada 1947 Daud ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Pada waktu itu Dr. Tengku Mansur, di Medan, mengajak Aceh berpisah dengan RI. Daud menolak. Dr. Mansur adalah Wali Negara Bagian Sumatera Timur, buatan Belanda. "Jangan mengenal Abu Daud sebagai pemimpin pemberontak. Ia Juga pemimpin Aceh dalam perjuangan mendirikan Republik Indonesia," kata Dr. H. Ismuha, 60 tahun, bekas Sekretaris II PB PUSA, pada Makmun Al-Mujahid dari TEMPO. Pada 1950, tanpa lagi berpredikat "militer", Daud jadi gubernur Aceh pertama. Setelah tak gubernur, pada 21 September 1953, Teungku memimpin DI/TII. Peristiwa itu pecah karena Aceh dijadikan keresidenan, yang kemudian digabung dengan Provinsi Sumatera Utara. Setelah padam, 1959, berkat Misi Hardi yang waktu itu Wakil Perdana Menteri I, daerah di ujung Sumatera ini ditetapkan jadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Tapi di balik itu, rupanya, ada perpecahan di pucuk pimpinan DI/TII Aceh: perang diteruskan atau menerima ajakan turun gunung. Kendati sudah ada ikrar Lamteh, April 1957, Teungku belum mau turun. "Ia bertahan dengan ideologi Islamnya. Karena belum dilihatnya ada kemauan RI memenuhi tujuan Dl," kata Hasan Ali, bekas Perdana Menteri DI/TII Aceh, pada Mukhsin Lubis dari TEMPO. Karena status provinsi dikembalikan untuk Aceh, dan Daud ngotot tak mau turun, terjadi kup oleh Dewan Revolusi yang digerakkan trio Hasan Saleh, Gani Usman, dan Teungku Amir Husin Al-Mujahid. Menteri Urusan Perang DI/TII, Hasan Saleh, melihat tak mungkin perang dilanjutkan. Kekuatan senjata sudah tak berimbang. Daud Beureueh ingin perang jalan terus. "Kalau berperang terus, penduduk Aceh juga bisa habis " kata Mujahid. Ia diangkat sebagai "wali negara" mcngyantikan Beureueh. Mereka turun gunung, 25 Mei 1959, dan berunding dengan Misi Mr. Hardi. Setelah tipis pengikut, Teungku Beureueh, 9 Mei 1962, akhirnya turun gunung. Kolonel M. Yasin, waktu itu Panglima KDMA, sangat membantu Teungku agar kembali ke pangkuan pertiwi. Berbeda dengan gerakan Kahar Muzakkar serta Kartosuwirjo. Dengan ketetapan Presiden RI No: 180/1959 Daud Beureueh bersama pengikutnya tak diuber-uber, tetapi mendapat amnesti dan abolisi. Pada 5 Oktober 1969 pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal (Tituler), sampai ia dipensiunkan. Banjirnya pengikut Teungku, sebelum turun gunung, karena ada benang sutera antara mereka. Misalnya, 1939, Daud sebagai Ketua I PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Semula PUSA bergerak dalam bidang pendidikan. Kemudian unsur-unsurnya, bersama para republiken, jadi motor melawan kaum feodal alias uleebalang. Puncaknya ketika Peristiwa Cumbok. Di pihak uleebalang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud, uleebalang Cumbok di Pidie. Keadaan di Aceh waktu itu mirip "revolusi petani" di salah satu daerah di Meksiko, 1913, yang digerakkan Jenderal Emiliano Zapata bersama Francisco Pancho Villa. Atas nama "untuk kemerdekaan", sasaran memang bukan "feodal" seperti di Aceh itu, tapi para tuan tanah. Teungku Amir Husin Al-Mujahid, pemimpin Pemuda PUSA di Kota Idi, Aceh Timur, kemudian mengadakan "pembersihan tahap kedua". Amir Husin Al-Mujahid kemudian diberi pangkat mayor jenderal (Tituler). Dampak "revolusi sosial" (1945-1946) di Aceh: runtuhnya kekuasaan tradisional zelfbestuurder (pemerintahan sendiri) kaum uleebalang. Kaum ulama menggerakkan massa karena melihat banyak uleebalang menindas rakyat Uleebalang juga terikat perjanjian dengar Belanda, melalui langeverklaring (perjanjian panjang) dan korteverklanng, perjanjiar jangka pendek. Intinya: menolak kehadirar Sultan Aceh, tetapi mengakui Belanda. Abu Daud, buta huruf Latin, tetapi ia lepasan Dayah Tinggi Ie Leube, Pidie Nenek moyangnya, menurut Hasan Ali adalah Haji Muhammmad Adam, yang berasal dari Patytani, Muangthai Selatan. "Ketika naik jung ke Singapura, ia kandas ke Aceh," katanya. Ayah Daud, yang bernama Ahmad, dibunuh Teuku di Lhok Mei - seorang laskar Aceh. Menurut Hasan Ali, Ahmad dituduh membuat perjanjian dengan Belanda. Daud Beureueh sendiri, menurut seorang putranya, terpengaruh pada Ikhwanul Muslimin di Mesir -- gerakan fundamentalis yang didirikan Hassan al-Banna. Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini