ORANG yang paling masygul pada Lebaran lalu barangkali Katamsi. Sebagai panitia salat Ied di Lapangan Cihuni, Kecamatan Wanaraja, Garut, lelaki berusia 40 tahun ini telah gagal menjalankan tugasnya. Jemaah yang mendatangi lapangan tak lebih dari hanya enam saf, empat saf pria, dua wanita. Baru sekali ini terjadi dalam sejarah salat Ied di Cihuni, jemaah tak sampai mengisi seperempat lapangan seluas hampir satu hektar itu. Padahal, selama ini, jemaah Ied di situ - yang mayoritasnya terdiri dari warga Pesantren Darussalam, Kampung Gparl, dan warga desa sekitarnya - selalu meluap, tak tertampung. Apa yang telah terjadi ? Rupanya, seperti yang dituturkan Katamsi, "Warga Pesantren Darussalam Cipari bersembahyang Ied di kompleks Darussalam yang di kota kecamatan Wanaraja." Kompleks Darussalam memang ada dua, di Cipari, masuk Desa Sukarasa, dan satu lagi di Wanaraja, sekitar empat kilometer dari Cipari. Kiai Haji Amin Bunyamin, Pimpinan Darussalam Cipari, yang sejak 1977 menjadi imam dan khatib di Lapangan Cihuni, pada Lebaran kemarin terkena larangan meneruskan tugas yang sudah dijalaninya selama 10 tahun itu, sehingga ia berpindah ke Darussalam Wanaraja. Pembuat larangan adalah Camat Wanaraja, Dalhadi Umar. Semua ini gara-gara pada Pemilu lalu, Golkar kalah di Desa Sukarasa. Dari 1.460 suara Golkar hanya menyerap 11%, sementara PPP 80% -- sisanya diperoleh PDI. Lebih dari sekadar melarang Kiai Amin Bunyamin mengimami salat Ied di Cihuni Pak Camat juga melarang 12 guru pegawai negeri yang menJadl tenaga honorer di tsanawiyah dan aliyah Pesantren Darussalam Cipari meneruskan tugas pendidikanya. "Dalam kedudukan saya selaku ketua Korpri dan pembina PGRI, saya berhak melarang mereka mengajar di situ," kata Dulhadi Umar. Larangan mengajar hanya diberlakukan untuk Darussalam Cipari. Yang di Wanaraja, di bawah kepemimpinan Kiai Cholid Tauzirie, tidak. "Pak Cholid masih mampu memelihara netralitasnya," kata Dalhadi Umar, kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur. Beberapa hari menjelang minggu tenang dulu, Kiai Amin dianggap bersuara minor. "Saya yakin, Golkar akan menang, tapi saya akan bcrusaha agar tidak menang mutlak," kata Kiai Amin, mengulang kata-katanya dulu itu kepada TEMPO. "Kalau menang mutlak, berbahaya, karena tidak ada lagi yang mengkritik pemerintah." Sehari menjelang pencoblosan, Kiai Amin dipanggil Kodim Garut. "Dandim cuma tanya apa benar saya melakukan baiat. Saya jawab, itu fitnah. Malam itu juga saya lantas dibolehkan pulang," tuturnya. Ia sendiri tampak santai menangapi larangan berkhotbah dan jadi imam di Lapangan Cihuni. Di Desa Dawuhan, Banjarnegara, Jawa Tengah, ekses kekalahan Golkar lain lagi bentuknya. Lapangan sepak bola di desa itu oleh lurahnya, Prawira, diubah menjadi sawah. Itu dilakukannya langsung 23 April lalu, seusai penghitungan suara. Ternyata, Golkar hanya mendapatkan 391, jauh di bawah PPP yang 745. Meski lapangan bola yang langsung dicangkuli dan diairi itu merupakan tanah bengkok, warga Dawuhan sempat resah. "Tapi itu bukan tindakan sewenang-wenang. Karena memang sudah ada perjanjiannya," kata Lurah Prawira kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. Berdasarkan perjanjian, yang tembusannya diserahkan ke Polsek dan Koramil setempat, para pemuda Dawuhan sejak Mei tahun lalu dibolehkan memanfaatkan tanah seluas satu hektar itu untuk lapangan bola, dengan catatan, mereka harus membantu memenangkan Golkar. Jika ternyata kalah "Tanah itu boleh saya minta kembali untuk saya jadikan sawah," tambah Prawira, 58 tahun. Sayang sekali, pihak pemuda tidak bisa didengar pendapatnya, benar tidaknya ucapan Prawira. Dampak kekalahan Golkar juga muncul di Aceh Meski di tingkat provinsi Golkar unggul tidak semua kecamatan memenangkan Golkar. Dari 136 kecamatan. 70 di antaranya berhasil menyedot lebih dari 50% suara untuk Golkar, 32 wilayah lainnya hanya mampu memberikan 40-50%. Sisanya, di wilayah yang diungguli PPP, suara untuk Golkar tak lebih dari 30%. Pada rapat staf 12 Mei 1987 di aula Bappeda, yang dihadiri sekwilda beserta para kcpala bironya, kepala dinas dan kepala kanwil di seluruh provinsi, Gubernur Ibrahim Hasan memberikan pengarahan mcnyangkut nasib para kecamatan itu. Antara lain, Ibrahim Hasan mengatakan, penyediaan sarana air minum di ibu kota kecamatan supaya direncanakan di 70 kecamatan sebagai prioritas pertama dan 32 berikutnya sebagai prioritas kedua. "Apabila ada program air minum yang belum ditenderkan, supaya digeser ke kecamatan yang menang Golkar," tambahnya, seperti yang terungkap pada rekaman intisari pengarahan tersebut. Lebih lanjut, "TPS-TPS yang dimenangkan Golkar, di empat kabupaten, yaitu Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Barat, dan Aceh Selatan, agar diberikan perhatian untuk perbaikan kampung dan listrik desa, jalan desa, dan saluran pembuangan. " Ketua Bappeda Aceh Prof. Dr. Syamauddin Mahmud, 52 tahun, membantah rencana realokasi proyek-proyek tersebut. "Pembangunan proyek-proyek harus konsisten dilaksanakan seuai dengan rencana pengalokasian semula," katanya pada TEMPO. Pengalokasian proyek itu, katanya, telah selesai disusun Oktober dan November lalu dan disahkan Maret. Operasionalnya? "Ya, Juni ini," jawabnya. Gubernur Ibrahim Hasan sendiri, sewaktu diminta konfirmasinya, terkejut dan membantah rencana realokasi proyek tersebut. Kepada TEMPO di Jakarta, ia mengatakan, "Yang saya lakukan adalah berdasar teori keseimbangan pembangunan. Selama ini, fasilitas pembangunan banyak di Aceh Utara. Sekarang tugas saya menyeimbangkannya, dengan membangun wilayah Barat dan Selatan. Menurut Sekjen Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, tak ada kebijaksanaan agar daerah yang memenangkan Golkar diprioritaskan pembangunannya. Bahkan, dalam berbagai rapat, "Tak pernah disebutkan adanya rencana semacam itu," katanya. Mohamad Cholid, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini