Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Dosen ASN Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi Seluruh Indonesia (Adaksi) menyambut baik terbitnya Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Sains, dan Teknologi. Namun, Ketua Adaksi Anggun Gunawan masih menyoroti beberapa hal yang dinilai belum mengakomodasi tuntutan dosen seluruh Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang disoroti Adaksi ialah masih ada ketimpangan skema insentif antara dosen di Satker dan BLU non-remunerasi yang kini berhak mendapat tunjangan kinerja atau tukin dengan dosen di perguruan tinggi negeri badan hukum atau PTNBH serta BLU yang telah menerapkan skema remunerasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anggun, dosen di PTNBH dan BLU remunerasi tak bisa menerima tukin karena terikat oleh regulasi yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang BLU. “Secara hukum, Perpres tidak bisa melawan UU BHP atau PP BLU,” kata dia kepada Tempo, Senin, 7 April 2025.
Adaksi mencatat, nominal insentif di kampus dengan skema remunerasi kerap kali lebih kecil ketimbang Tukin yang diatur dalam Perpres 19/2025. Ia menyebut ada dosen di PTNBH yang hanya menerima insentif Rp 400 ribu hingga Rp 2 juta per bulan. “Padahal tukin bisa mencapai Rp 5,3 juta per bulan untuk jabatan asisten ahli,” ujar Anggun.
Karena itu, Adaksi mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi mengintervensi kampus-kampus PTN-BH dan BLU remun untuk menyesuaikan skema insentif agar setara dengan tukin. Anggun mengklaim pihaknya telah berkomunikasi intensif dengan Menteri Pendidikan Tinggi Brian Yuliarto, termasuk menyampaikan data perbandingan insentif dosen antarjenis PTN. “Ini sedang kami dorong agar ada keadilan,” katanya.
Ia juga mewanti-wanti agar kebijakan tukin tidak dijadikan alasan untuk mempercepat alih status perguruan tinggi menjadi BLU atau PTN-BH. Menurutnya, transformasi status kampus seharusnya mempertimbangkan kesiapan tata kelola dan keuangan, bukan sekadar mengejar fleksibilitas anggaran. “Kalau dipaksakan, tukin malah bisa hilang karena berganti ke skema remun. Padahal banyak kampus BLU saja butuh 8 tahun untuk bisa memberi remun,” ujar Anggun.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah potensi kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT sebagai konsekuensi dari peningkatan insentif dosen di kampus non-Satker. Ia berharap, beban insentif tidak dilimpahkan ke mahasiswa. “Kalau UKT naik, bolanya bisa ke mahasiswa, bisa ada demo,” katanya.
Saat ini, Anggun mengatakan Adaksi masih mengawal penyusunan aturan turunan Perpres, termasuk Permendikbud tentang teknis pencairan tukin. Mereka meminta agar penilaian kinerja dosen tidak didasarkan pada absensi seperti pegawai administratif, melainkan pada beban kerja tridharma perguruan tinggi. “Dosen itu profesi yang unik. Sering kerja 24 jam. Indikatornya sebaiknya bukan absensi, tapi kinerja tridharma,” kata Anggun.
Diketahui dokumen Perpres 19/2025 yang telah beredar telah dibubuhi tanda tangan Kementerian Sekretariat Negara RI yang diwakili oleh Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum Lydia Siyana Djaman. Dalam dokumen tersebut tertulis Perpres ditetapkan di Jakarta pada 27 Maret 2025.
Pihak Kementerian Pendidikan Tinggi membenarkan bahwa perpres tersebut telah disetujui dan diteken oleh Presiden Prabowo. "Iya. Perpres tersebut sudah beredar via Whatsapp. Tetapi belum muncul di situs Setneg terbaru. Prosedurnya seperti itu, Perpres ditandatangani oleh Presiden dan diedarkan oleh bagian hukum Setneg," kata seorang pejabat Kemendikti Saintek yang enggan dikutip namanya lewat jawaban tertulis kepada Tempo.
Pejabat tersebut juga menanggapi poin keberatan adaksi soal belum terpenuhinya tuntutan Tukin for All. "Iya masih tetap dijadikan polemik. Respons kami adalah kebijakan tersebut adalah kebijakan optimal mengingat tukin berbasis pada kinerja dan ruang fiskal yang ada. Lihat UU ASN No. 20 tahun 2023, tukin adalah apresiasi," katanya.