AKSI unjuk rasa pecah di Cianjur, Jawa Barat. Sekitar 300 penduduk Desa Cimacan berduyun mendatangi Gedung DPRD, pada saat para wakil rakyat Cianjur itu melangsungkan upacara peringatan Hari Pahlawan, Jumat pekan lalu. Tapi aksi massa itu tampak begitu bersahabat. Tak ada yel-yel yang memerahkan kuping. Mereka datang untuk membela Bupati. Lihat saja spanduk mereka. Bunyinya, "Kami mendukung Bapak Bupati dalam rangka pembuatan lapangan golf." Mereka mau main golf? Tidak. Namun, "Golf akan memberi lapangan kerja bagi penduduk desa," ujar Cholid Said, 44 tahun, salah seorang pimpinan demonstran. Demo itu, agaknya, merupakan aksi tandingan. Cholid mengaku kesal dengan aksi para penggarap tanah desa (titisara), yang bersikeras mempertahankan garapannya. Bagi mereka, tindakan kepala desa menyewakan tanah titisara itu ke PT BAM (Bandung Asri Mulia), untuk dijadikan lapangan golf, adalah sah. "Tanah itu milik desa, bukan milik pribadi para penggarap itu," ujar Cholid. Lantas, 5 orang wakil pengunjuk rasa diterima oleh Ketua DPRD Cianjur H. Mamad Djunaidi. Kepada Djunaidi, pimpinan demo itu menyerahkan surat pernyataan di atas kertas bermeterai, ditandatangani 900 warga desa yang diklaim mewakili 11.200 penduduk Cimacan. Pada surat pernyataan itu, mereka menyebut tanah yang disengketakan itu milik desa. "Bukan milik kelompok orang yang menamakan dirinya penggarap," begitu mereka menulis. Lalu, mereka pun mengklaim, "Persoalan di desa kami adalah masalah kami," Mereka menghendaki agar pihak luar tidak ikut campur dalam soal sengketa itu, agar tak mengeruhkan suasana. Pernyataan itu juga menyebut bahwa mereka menghendaki lapangan golf itu berikut fasilitas pariwisata lainnya terus dibangun. "Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Desa Cimacan". Aksi "kebulatan tekad" itu dipimpin oleh Ustad Zaenal Muttaqien, tokoh yang berpengaruh di Cimacan. Kelompok ini, tutur Cholid, tak setuju dengan cara para penggarap itu mencari dukungan dari media massa. Aksi para penggarap dianggap memberikan publikasi yang tak sedap. "Kami malu dengan masyarakat di seluruh Indonesia, seolah kami ini membangkang kepada Pemerintah," ujar Cholid. Cholid menganggap, lapangan golf adalah pilihan terbaik. Tak lupa Cholid menyebut pula bahwa aksi unjuk rasa ke DPRD itu atas inisiatif warga desa sendiri. "Tak ada perintah dari siapa pun," ujarnya. Sejak meletup ke permukaan, Juli lalu, kasus Cimacan tak juga usai. Kasus ini bermula dari keputusan kepala Desa Cimacan untuk menyewakan tanah titisara di Dukuh Rarahan, dekat Kebun Raya Cibodas, kepada PT BAM, dua tahun lalu. Tanah seluas 31 ha itu disewa untuk jangka waktu 30 tahun, dengan imbalan Rp 90 juta. Bagi kas Desa Cimacan, penyewaan itu jelas lebih menguntungkan. Uang sewa yang dipungut dari penggarap hanya Rp 2.000 setahun untuk satu patok (400 m2). Jika semua uang sewa masuk, dari 850 patok itu, kas desa hanya memperoleh suntikan Rp 1,7 juta. Tak cukup untuk membayar para pamong. Maka, tawaran PT BAM itu langsung disambar oleh M. Arifin, Kepala Desa Cimacan, waktu itu. Tawaran itu lalu dilempar ke LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Cimacan, dan disetujui. Terus, rencana itu naik lagi ke bupati dan gubernur, semuanya oke. Lalu pada 1987, kontrak diteken. Buahnya pun mulai dipetik. Dari bunga deposito saja, gaji pamong desa, yang antara Rp 25 ribu dan 60 ribu bisa tercukupi. Belum lagi, PT BAM menjanjikan akan memberi subsidi desa Rp 1 juta setahun, selama 5 tahun. Investor swasta ini juga menyediakan dana Rp 15 juta untuk pembebasan tanah. Nah, soal pembebasan tanah itulah yang ruwet. Dana yang tersedia hanya cukup untuk memberikan pangjeujeuh (uang santunan) sebesar Rp 30 per m2. Tentu saja, sebagian penggarap menolak. Kendati PT BAM telah mengantungi izin dari gubernur, tak urung pembebasan tanah itu berlangsung alot. Alhasil, awal Juli lalu, muncul papan ancaman di atas tanah sengketa itu. Bunyinya, "Siapa yang tak mau mengambil pangjeujeuh berarti menentang Pemerintah." Ancaman yang aneh itu kemudian muncul di berbagai media massa, dan memaksa Menteri Rudini turun tangan. Tapi, Mendagri mengizinkan proyek lapangan golf itu jalan terus. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Skephi (Sekretariat Kerja Pelestarian Hutan Indonesia) turun pula ke Cimacan. Mereka membantu penggarap dan mengupayakan agar proyek itu dibatalkan. Para penggarap pun mengadu ke sana-kemari. Tapi, proyek itu terus menggelinding, dan kini tinggal 2 hektare saja yang tersisa. LBH Jakarta dan Skephi malah harus menelan pil pahit, mereka dituding oleh Cholid sebagai "pihak luar yang mengeruhkan suasana". Insiden nyaris meletus pada pertengahan Agustus lalu. Ketika itu, 150 bekas penggarap nekat mencangkuli bekas tanah garapannya. Polisi sempat turun tangan. Lantaran merasa terganggu, Tatang Yudi (pejabat Kades Cimacan) dan Isa Ali (Direktur BAM) memperkarakan 28 penduduk, yang kini dianggap masih menguasai tanah garapannya. Saat ini, sidangnya masih berlangsung di Pengadilan Negeri Cianjur. Menghadapi aksi unjuk rasa di DPRD Cianjur itu, Lukman bin Ukar, salah satu tergugat, mengaku kecewa. "Sebagian dari mereka tertipu," ujarnya. Menurut "penyelidikan" Lukman, sebagian peserta demo itu tak tahu-menahu soal unjuk rasa itu. Setahu mereka, kepergian ke Cianjur itu, "Hanya untuk ikut pawai peringatan Hari Pahlawan," kata Lukman. Sebagian dari mereka, kata Lukman, adalah pekerja proyek PT BAM. "Kalau menolak, upah mereka akan dipotong," tuturnya. Lukman menduga, ada pihak tertentu di balik aksi itu. Dugaan yang sama juga dilemparkan Luhut Pangaribuan, awak LBH Jakarta, yang selama ini aktif terjun di Cimacan. "Promotor" aksi unjuk rasa itu, tuding Luhut, "Hendak mempengaruhi jalannya sidang." Lebih dari itu, Luhut khawatir bahwa demo itu akan membawa perpecahan di kalangan masyarakat Cimacan. PTH, Agung Firmansyah, dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini