RUANG Libra di Hilton Executive Club, Jakarta, Selasa siang minggu lalu, terasa hening ketika Menko Polkam Sudomo berbicara. "Santunan untuk para ahli waris ke-28 korban biskuit beracun sebesar Rp 10 juta bisa diperoleh dari setiap perusahaan biskuit yang masing-masing menyetor Rp 3 juta. Ini tidak memaksa dan sumbangan bersifat sukarela. Setuju atau tidak?" kata mantan Pangkopkamtib ini. Sebagian pengusaha biskuit yang dikumpulkan hari itu pun menjawab setuju. Siang itu, dalam rangkaian Operasi Tepung Penawar untuk menyelesaikan kasus biskuit beracun, Sudomo, didampingi Kapolri Jenderal Sanoesi, mengadakan pertemuan dengan para pengusaha biskuit seluruh Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), wakil parpol dan ormas, serta pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Saat ini tercatat ada 116 buah. Nantinya, pelaksanaan santunan diatur oleh asosiasi pengusaha biskuit yang juga baru akan dibentuk. Hanya 28 korban yang meninggal karena biskuit beracunlah yang akan mendapat santunan itu. "Itu jumlah yang resmi berdasarkan visum et repertum-nya. Yang meninggal karena sebab-sebab lain ya tidak mendapat santunan," kata Sudomo pada TEMPO. Santunan ini diharapkan bisa membantu keluarga korban yang umumnya miskin. "Besarnya santunan yang Rp 10 juta ini rasanya wajar ditanggung bersama oleh semua perusahaan biskuit, sebagai rasa tanggung jawab kepada masyarakat," kata Sudomo kepada sekitar 30 pengusaha biskuit yang diundang dalam acara itu. Namun, ia menekankan bahwa sumbangan itu tidak akan megurangi hak anggota keluarga korban untuk menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum. Sebab, memang aspek hukum dalam kasus keracunan biskuit ini akan tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Menurut Brigjen. Koesparmono Irsan, Direktur Reserse Mabes Polri, direncanakan akhir November ini empat orang tertuduh dari pihak produsen biskuit beracun -- dua dari PT Toronto, masing-masing seorang dari PT Gabisco dan PT Lonbisco -- akan disidangkan. "Orang itu tidak harus pemilik, tapi yang bertanggung jawab atas kesalahan itu," ujarnya. Masalah hukum ini juga yang ditekankan oleh pengurus YLKI yang hadir dalam acara itu. Erna Witoelar, bekas ketua umum YLKI, menyesalkan penanganan kasus biskuit beracun yang dianggapnya lebih memihak kepada pengusaha. "Mestinya, untuk menenteramkan masyarakat, proses hukum terhadap mereka yang bersalah perlu dipublikasikan. Bukan ramai-ramai makan biskuit seperti ini," katanya, disambut tawa para hadirin. Erna juga menyesalkan Departemen Penerangan yang dinilainya kurang cepat tanggap dalam meredakan "isu" biskuit beracun ini, dan malah memberi peringatan kepada lima koran karena pemberitaan mereka soal racun biskuit itu. Menurut Erna, koran-koran itu seharusnya malah mendapat bintang penghargaan karena pemberitaan mereka telah mengurangi jatuhnya lebih banyak korban. Usul "santunan" Sudomo ini ternyata mengagetkan sebagian pengusaha biskuit. "Wah... Rp 3 juta? Harus cari uang dari mana? Untuk bayar karyawan saja, susahnya setengah mati. Bahan baku sudah habis dijual untuk membayar gaji pegawai," kata Ny. Eddy Satriantoro, seorang karyawan administrasi PT Lonbisco, Tangerang. Mengapa semua pengusaha biskuit harus menanggung dosa, padahal yang bersalah cuma tiga? "Itu kan untuk psikologis. Mbok ngerti, jangan cuma mau cari untung saja," ujar Sudomo. Diah Purnomowati, Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini