Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PURI Cikeas, Bogor, awal Mei lalu. Tepat pada pukul sembilan malam, pertemuan dimulai. Tiga pentolan Partai Kebangkitan Bangsa—Ketua Umum Muhaimin Iskandar, Sekretaris Jenderal Lukman Edy, dan Wakil Sekjen Helmy Faizal Zaini—diterima sang empunya rumah, Susilo Bambang Yudhoyono. Pembicaraan berlangsung hangat, diselingi kacang rebus, jajanan pasar, dan kue apam. Di tengah-tengah rapat, mendadak hujan turun dengan deras. Sesekali Yudhoyono melemparkan guyonan yang ditanggapi dengan ledak tawa tamu-tamunya.
Dalam pertemuan itulah, PKB mengajukan nama Muhaimin Iskandar sebagai calon pendamping Yudhoyono dalam pemilihan presiden pada 8 Juli depan. ”Itu amanah dari lima ratusan kiai yang hadir dalam Silaturahim Alim Ulama Nasional,” kata Helmy Faisal, yang menjadi juru bicara. Muhaimin sendiri lebih banyak diam. Silaturahim yang diadakan Partai Kebangkitan Bangsa di Pondok Pesantren Al-Fadlu Wal Fadzilah, Kendal, Jawa Tengah, akhir April lalu, memang menyebut nama Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu sebagai calon wakil presiden PKB. Yudhoyono tersenyum.
Rapat kemudian membicarakan aspek teknis persiapan pemilihan presiden. Yudhoyono memberi tahu delegasi PKB bahwa calon presiden bakal diumumkan di Bandung, pekan ini. ”Setelah itu, kita bicara logistik pemenangan dan persiapan pembentukan tim sukses,” kata Lukman Edy. Satu jam menjelang tengah malam, rapat berakhir.
Nama Muhaimin hanya satu dari belasan nama calon wakil presiden yang disorongkan kepada Yudhoyono. Dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, akhir April lalu, Yudhoyono mengaku sudah mengantongi 19 nama calon pendamping. ”Saya kebanjiran usulan calon wakil presiden,” katanya disambut tepuk tangan hadirin. ”Ada yang dari partai politik, dan ada dari non-partai.”
Sebagian nama itu disampaikan langsung ke Cikeas, seperti yang dilakukan PKB. Tapi tak sedikit yang dititipkan via tokoh tertentu, lewat pesan pendek, atau surat. Sebagian dari mereka yang dicalonkan aktif mencari dukungan. Yang lain menghindar dari sorotan publik.
PARTAI Keadilan Sejahtera bermanuver dengan cara yang lain. Musyawarah majelis syura partai ini, akhir April lalu, di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, memutuskan mengusulkan tiga nama calon wakil presiden untuk Yudhoyono. ”Agar santun, nama-nama calon wakil presiden kita masukkan ke amplop,” kata Presiden PKS Tifatul Sembiring, pekan lalu. Amplop itu, kabarnya, dibuka SBY dua hari setelah diserahkan.
Menurut Tifatul, sebagai partai terbesar keempat di negeri ini, sudah sewajarnya posisi orang nomor dua dipegang kader PKS. Selain itu, Tifatul menekankan pentingnya Yudhoyono, yang datang dari partai nasionalis, memilih calon wakil dari kelompok Islam. ”Agar ada stabilitas,” katanya.
Dalam sejumlah pertemuan dengan Partai Demokrat, Tifatul mengaku belum menerima sinyal positif dari Yudhoyono. ”Saya tidak mau menebak-nebak apa isi kantong SBY,” katanya tertawa. Saat ini, kata dia, Yudhoyono ibarat pria yang sedang memilih calon istri. ”Kita semua sekarang sedang menunggu isyarat,” katanya lagi. ”Bikin perut mulas saja.”
Peluang calon wakil presiden lain dari partai politik seperti Suryadharma Ali, Bachtiar Chamsyah (Partai Persatuan Pembangunan), dan Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional) juga masih belum terang. Beberapa bahkan sudah mulai mundur teratur.
Calon PPP, misalnya, tak disampaikan kepada Yudhoyono ketika tiga pengurus partai itu—Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saefuddin, dan Suharso Monoarfa—bertamu ke Cikeas pada akhir April lalu. ”Kami hanya membicarakan bagaimana memperbaiki komunikasi politik,” tutur Lukman pekan lalu. Selama ini, kata dia, kesalahpahaman banyak terjadi karena Suryadharma tidak punya akses langsung ke Cikeas.
Sedangkan nama Hatta Rajasa disorongkan lewat Rapat Kerja Nasional PAN di Yogyakarta, awal Mei lalu. Belakangan Hatta mengaku tidak sreg dengan pencalonannya yang begitu terbuka. ”Urusan penentuan wakil presiden itu adalah hak prerogatif calon presiden,” katanya akhir pekan lalu. Dia khawatir, koalisi di belakang Yudhoyono bisa buntu jika semua partai mengusung nama sendiri-sendiri. ”Itu bisa menyusahkan calon presiden,” tutur Hatta. Partai Amanat Nasional sendiri masih bergolak setelah Ketua Umum Soetrisno Bachir terang-terangan mengaku ditelikung (lihat ”Perjanjian Arial 16”).
Di tengah ketidakjelasan nasib calon-calon dari partai papan tengah, kartu para calon partai besar hidup lagi. Rapat pleno pengurus pusat Beringin, Selasa pekan lalu, mengizinkan kader partainya dipinang sebagai pendamping calon presiden di luar Golkar. ”Tentu saja, kami tidak aktif menyorongkan,” kata Ketua Golkar Firman Subagyo. ”Cuma, kalau ada yang berminat, silakan saja, Golkar mengikhlaskan,” katanya. Enam nama calon wakil presiden dari Beringin adalah Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Agung Laksono, Surya Paloh, Sultan Hamengku Buwono X, dan Fadel Muhammad. Seperti yang lain, sampai pekan lalu Firman mengaku belum menerima sinyal positif dari Cikeas.
Kubu Banteng juga sempat belingsatan ketika Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mendadak menemui Megawati Soekarnoputri di kediamannya di Teuku Umar, Jakarta Pusat, Kamis lalu. Kabar burung merebak: Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung bakal jadi calon wakil Yudhoyono. Namun spekulasi ini meredup setelah sehari kemudian Megawati menegaskan partainya tetap akan mengajukan calon presiden sendiri.
JIMLY Asshiddiqie, 53 tahun, naik ke atas podium. Di Hall D Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, hamparan spanduk raksasa berhiaskan potret wajah Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Partai Demokrat Hadi Utomo, serta umbul-umbul dan bendera biru Partai Demokrat mengepung mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. ”Saya punya memori khusus dengan partai politik ini,” kata guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Indonesia ini. Semua peserta Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, yang digelar akhir April lalu, takzim mendengarkan.
Jimly bercerita bahwa pada pertengahan 2001, dia pernah dihubungi dua orang utusan Yudhoyono yang mengajaknya ikut mendirikan partai. Kedua utusan itu adalah Vence Rumangkang dan Achmad Mubarok, dua pendiri Partai Demokrat. ”Tapi waktu itu saya tidak percaya,” kata Jimly, disambut tawa hadirin.
Ketika permintaan itu diulang sendiri oleh Yudhoyono—yang saat itu masih menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan—barulah Jimly percaya. Tapi tawaran itu dia tolak. ”Ahli hukum tata negara yang tidak berpolitik itu tinggal sedikit,” katanya memberikan alasan. Saat itu Jimly mengaku lebih memilih menekuni ilmunya ketimbang mengurus partai politik. ”Namun saya siap memberikan dukungan, walau tidak masuk struktur resmi.”
Kehadiran Jimly di Rapat Pimpinan Partai Demokrat—dia satu-satunya peserta rapat yang bukan anggota partai—kontan menimbulkan spekulasi bahwa pengurus Golkar di era Harmoko ini tengah merapat ke Cikeas. Namun Jimly membantah, ”Saya tidak pernah dihubungi soal calon wakil presiden,” katanya ketika ditemui di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, pekan lalu. Dia mengaku hanya tahu dari media soal namanya yang diunggulkan dalam bursa calon wakil presiden. Ada kabar nama Jimly dibawa B.J. Habibie, ketika mantan presiden itu menemui Yudhoyono bulan lalu.
Selain Jimly, tokoh lain yang disebut punya kans jadi kandidat RI-2 adalah Gubernur Bank Indonesia Boediono. Kabarnya, dia sudah beberapa kali dipanggil ke Cikeas. Namun, berbeda dengan Jimly, Boediono memilih bersembunyi dari kejaran wartawan. ”Entar saja ya,” katanya kepada wartawan Tempo Eko Nopiansyah, yang mencegatnya di lobi Gedung Bank Indonesia, pekan lalu.
Dihubungi pekan lalu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok memastikan ada kelompok di partainya yang berusaha mendorong calon wakil presiden diambil dari kalangan profesional non-partai. ”Dari pengalaman lima tahun lalu, wakil presiden dari partai politik membuat situasi malah jadi rumit,” katanya.
Dukungan partai di parlemen untuk sang calon wakil dinilai Mubarok bukan hal penting. ”Yudhoyono dan calon wakil presidennya satu lokomotif. Partai-partai mitra koalisi Partai Demokrat harus menjadi gerbong-gerbongnya,” kata Mubarok. Artinya, kata dosen Universitas Islam Negeri Jakarta ini, wakil presiden sebagai pembantu kepala pemerintahan harus dinilai satu dengan presidennya. ”Jadi tidak relevan mempertanyakan berapa modal politiknya,” kata Mubarok. Partai politik peserta koalisi, kata Mubarok, cukup diikat dalam kabinet.
Meski begitu, Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie memastikan tidak ada praktek dagang sapi dalam negosiasi pembentukan koalisi partainya. ”Bisa ditanya ke semua partai, tidak ada yang minta-minta jatah menteri,” kata Marzuki. Pembicaraan awal dengan semua partai mitra Demokrat, kata dia, dimulai dengan tawaran tiga platform politik: pembangunan, demokrasi, dan keadilan. ”Pembicaraan power sharing pasti dilakukan nanti, dengan patokan modal politik masing-masing partai,” katanya.
Ketua Demokrat yang juga juru bicara Yudhoyono, Andi Mallarangeng, membenarkan. ”Sejak awal kita tegaskan bahwa penentuan calon wakil presiden adalah hak calon presiden,” katanya pekan lalu. ”Saya yakin calon yang dipilih SBY bisa diterima semua partai pendukung.”
Wahyu Dhyatmika, Akbar Tri Kurniawan, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo