Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>KOALISI</B></font><BR />Tetap Menunggu Langkah Ibu

PDIP mengetukkan palu: Megawati calon presiden. Sebagian kader ingin realistis, Prabowo tak beranjak.

11 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARUM jam di ruang tengah kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, seperti berhenti pada Kamis malam pekan lalu. Jarum pendek yang hampir menyentuh angka delapan bagaikan tertarik magnet, ketika sang Ketua Umum berujar, ”Silakan Pak Sabam keluar dari sini, dan makan-makan sana.”

Nada suara datar itu membuat Sabam Sirait, deklarator PDI Perjuangan, terdiam. Dia tak menjawab sepatah kata pun, tapi juga tak beranjak dari kursinya. Belasan pengurus elite partai, yang duduk melingkar mengelilingi meja lonjong, terpaku. Taufiq Kiemas, Pramono Anung, Mangara Siahaan, Agnita Singedekane Irsal, Tjahjo Kumolo, Puan Maharani, dan pengurus lainnya membeku.

Sejurus kemudian, dengan mata berkaca-kaca, Mega berkata, ”Jika kalian ingin jadi menteri, jadi ini-itu, pingin dapat ini-itu, tinggalkan partai ini. Biar saya meneruskan perjuangan ideologi partai.” Semua orang di ruangan itu semakin tenggelam di kursinya.

Amarah Mega mencuat ketika Sabam menjelaskan kondisi riil partai. Kemungkinan menang pemilihan presiden kecil, jumlah kursi parlemen sedikit, dan ada kesulitan mencari calon wakil presiden.

Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Pusat, Sabam mengajak partai bersikap realistis. ”Meski tak eksplisit, uraian Pak Sabam cenderung mengarah ke Cikeas,” kata sumber Tempo di Jalan Teuku Umar, Jakarta. ”Ibu tersinggung dan marah.”

Sabam sendiri enggan mengomentari cerita ini. ”Ngapain saya membantah gosip seperti itu,” katanya. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan, dia justru ingin mengamankan hasil kongres dan rapat kerja nasional: Megawati for president.

Enam jam sebelumnya, rapat di Teuku Umar, yang sedianya mengumumkan pasangan koalisi PDI Perjuangan, memutuskan Megawati satu-satunya calon presiden. ”Komunikasi tak hanya ke Gerindra, tapi juga partai lain,” kata Sekretaris Jenderal Pramono Anung.

Sejatinya, kegalauan Mega terlihat sejak Selasa sore pekan lalu. Setelah memimpin rapat pleno di rumahnya, dia keluar mengendarai sedan hitamnya. Tanpa pengawal lengkap, hanya ditemani Rini Suwandi, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. ”Kalau sudah begitu, tandanya Ibu sedang susah,” kata sumber Tempo. ”Bu Rinilah teman curhat beliau.” Dua sahabat karib itu baru balik ke Teuku Umar pada malam hari.

Ada cerita, kelompok anak-anak muda di tubuh PDI Perjuangan, yang disokong grass root, mengusulkan PDI Perjuangan menjadi partai oposisi, dan tidak ikut pemilihan presiden jika kondisi lemah. ”Ibu menghadapi elite partai yang pragmatis, hingga beliau marah,” kata fungsionaris yang berada di blok anak muda.

Menurut dia, munculnya usul menggandengkan Prabowo-Puan merupakan bagian dari pragmatisme. ”Kompensasi yang diminta: uang tunai Rp 1 triliun, delapan jabatan menteri, dan posisi Ketua MPR.” Pola dagang seperti itulah yang membuat Mega murung.

Walhasil, rapat pleno tak menghasilkan sesuatu yang penting. Suasananya juga lunglai. Pengurus datang satu demi satu, dengan jarak waktu cukup lama, bahkan ada yang telat. Tak jelas siapa mendukung siapa. Seusai rapat, Tjahjo Kumolo pertama kali keluar ruangan. Wajahnya datar. ”Kita tunggu sikap partai lain,” katanya.

Menurut dia, partai masih intensif ke Gerindra. Tanpa dukungan PDI Perjuangan, Gerindra juga lemah. ”Apalagi PAN, PPP, PKS, dan PKB sudah ke sana (SBY),” kata Tjahjo.

Jika PDI Perjuangan berhasil meraih 112 kursi, bisa saja maju sendiri. Namun, dari hasil penghitungan suara hingga Jumat petang, kursi yang diraih masih di bawah seratus. Jika bisa melenggang sendiri, ”Pemilihan calon wakil presiden diserahkan ke Ibu,” kata Tjahjo.

Ketua PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, menilai duet Mega-Prabowo paling masuk akal. Kalau Prabowo ngotot menjadi kandidat RI-1? ”Itu manuver lawan agar Mega-Prabowo tak bergandengan,” katanya. ”Sebab, ini pasangan dahsyat.”

Pramono Anung juga mengatakan, Gerindra masih sehaluan dan komunikasi tetap berjalan.

Masih terbukanya pintu Teuku Umar menimbulkan spekulasi baru ketika pada Rabu sore pekan lalu muncul seorang tamu. ”Cawapresnya SBY datang,” kata Pramono Anung, tersenyum.

Toyota Camry B 1808 RFS itu mengantarkan Hatta Rajasa, Menteri-Sekretaris Negara. Hatta meninggalkan kediaman Megawati bakda magrib. ”Saya ngurusi pengalihan rumah ini,” katanya. ”Sekarang resmi jadi rumah Ibu sebagai mantan presiden.”

Namun Pramono Anung mengatakan, soal rumah sudah tuntas beberapa waktu lalu. ”Tadi membicarakan sesuatu yang lebih besar.” Bagaimanapun, kehadiran Hatta menyimpan teka-teki, karena saat ini nama Gubernur Bank Indonesia Boediono juga disebut sebagai kandidat kuat calon wakil presiden SBY.

Bagaimana sikap Gerindra? Hingga kini partai berlogo garuda itu tetap memasang harga mati: Prabowo RI-1. Alasannya, jika cuma wakil presiden, Prabowo sulit melakukan perubahan. ”Kami mengharap berkoalisi dengan PDIP,” kata Direktur Bantuan Hukum Gerindra, Mahendradatta.

Semangat berkolaborasi masih terasa ketika diam-diam Prabowo dan Puan Maharani melakukan pertemuan di Hotel Grand Hyatt, Rabu pekan lalu. ”Pembicaraan dengan PDIP sudah mengerucut ke persiapan tata kerja pemilihan presiden,” kata Mahendradatta.

Setelah bertemu Puan, sedianya Gerindra menggelar rapat kerja nasional di Hotel Kemang. Tapi rencana itu batal karena menunggu sikap PDI Perjuangan. Padahal PDI Perjuangan telah memutuskan Megawati sebagai calon presiden.

Anehnya, Anton Lesiangi, mantan elite Partai Golkar yang kini pindah ke Gerindra, mengaku berembuk empat mata dengan Prabowo. Kesimpulannya: Prabowo tak akan pernah jadi calon wakil presiden. ”Jika gagal jadi calon presiden, tak masalah,” kata Anton. ”Tapi Prabowo tak akan pernah jadi calon wakil presiden.”

Karena itulah, Anton mendorong duet Prabowo-Puan. Biarlah Megawati menjadi ”ibu bangsa”. Jika PDI Perjuangan mendeklarasikan Megawati sebagai calon presiden, Anton mengklaim PAN dan PPP akan bergabung dengan Prabowo.

Dalam situasi tak menentu, Gerindra akan menetapkan calon presiden dan wakilnya pada hari terakhir, 16 Mei. Selasa pekan lalu, sejumlah partai berkumpul di markas Gerindra. ”Dua puluh partai bergabung,” kata Sekretaris Jenderal Partai Merdeka, Muslich.

Di antara pendukung itu termasuklah Partai Buruh, Partai Bintang Reformasi, Pakar Pangan, PSI, PIS, dan PKNU. Tapi, tanpa kehadiran PAN dan PPP, Prabowo tetap tak terkatrol. Karena itu, ”Kami tetap menunggu PDIP,” kata Anton Lesiangi.

Dwidjo U. Maksum, Iqbal Muhtarom, Munawwaroh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus