TERNYATA perundingan antara pemerintah dengan kontraktor minyak
asing untuk menggolkan kontrak baru, belum selesai. Tapi banyak
kemajuan didapat. Meskipun berita masih simpang-siur, tentang
sikap para kontraktor itu.
"Tak benar kalau dikatakan kami menolak mmusan baru bagi hasil
minyak. Kami hanya minta waktu untuk bicara lebih banyak", kata
J.S. Wilson, Dirut Petromer Trend, kepada TEMPO Sabtu lalu,
membantah berita penolakan Petromer Trend. Pimpinan Trend yang
tampak masih muda itu terbang dari kantor pusatnya di Denver AS
dan tiba di Jakarta dua hari setelah batas waktu perundingan 31
Juli lalu. William Schlieman, wakil dirut dan manajer umum Trend
yang pagi itu mendampingi Wilson, juga merasa kaget "bahwa pers
memberitakan kami menolak". Dan keduanya beranggapan telah
terjadi "salah kutip" tentang posisi Petromer Trend.
Adapun pemberitaan tentang penolakan itu dikemukakan Dirut
Pertamina Mayjen Piet Haryono, selepas melapor kepada Presiden
Soeharto di Bina Graha Senin pagi 2 Agustus lalu. Menurut Piet,
"dalam suratnya Petromer Trend terus terang mengemukakan tak
bersedia melaksanakan rumusan baru tersebut". Tapi ia tak
membacakan surat itu.
Menurut yang diketahui TEMPO, SUrat dari Trend bertanggal 27
Juli 1976 dan ditandatangani oleh William Schlieman. Isinya
memang bisa ditafsirkan sebagai tak menerima formula baru. Surat
dari Trend itu antara lain menyebutkan: "Adalah tidak mungkin
bagi kami untuk menerima usul-usul perubahan dari Pemerintah
Indonesia, meskipun kami bersedia untuk membicarakan
perubahan-perubahan (amendments) demi kepentingan bersama. Dalam
keadaan seperti sekarang kami akan kekerja sesuai dengan kontrak
tertulis, samyai perubahan-perubahan yang memuaskan dapat
disepakati".
Mundur
Pemerintah kabarnya menjawab surat itu. Dan seperti kata Piet
Haryono. "Pertamina akan melanjutkan kegiatan mereka, kalau
mereka tetap menolak". Dengan kata lain, seperti kata Menteri
Pertambangan Moh. Sadli. "untuk semetara terpaksa akan kita
oper" (TEMPO 7 Agustus). Agaknya sikap tegas Pemerintah itulah
yang membuat Trend mundur setapak. "Kami mengerti keinginan
pemerintah Indonesia untuk menetapkan suatu pembagian yang
adil", kata Wilson. "Tapi posisi perusahaan kami ini unik,
karena kami termasuk kecil". Menurut Wilson, maskapai Trend yang
di bulan lalu rata-rata punya produksi 67.000 barrel sehari,
adalah milik 6 partner. Antara lain C. Itoh, perusahaan
multinasional Jepang yang kabarnya punya andil besar.
Berapa sesungguhnya yang harus disetorkan Petromer Trend 15
Agustus nanti? Menurut Schlieman,yang diminta Pemerintah adalah
$ AS 36 juta."Jumlah itu mungkin tak besar dibandingkan dengan
yang lain", kata Wilson. "Tapi bagaimana kalau kami sekarang
belum mampu menyetornya?"
Tapi kabarnya Pemerintah memang tak bertindak kaku dalan soal
setoran ini. Sekalipun jumlah yang harus disetorkan perusahaan
minyak bagi hasil itu tak berubah -- dan dihitung surut sejak
awal Januari lalu -- pembayarannya bisa dicicil. Menurut sebuah
sumber TEMPO, batas waktu penyetorannya juga bisa diundur sampai
dengan pertengahan Maret tahun depan. Dan lapex, mnskapai minyak
Jepang yang lebih dari 50% sahamnya dimiliki pemerintahnya,
sampai Senin lalu belum terdengar menyetujui untuk meneken
rumusan baru. Tapi, menurut sumber itu, "mereka sudah setuju
untuk mencicil setorannya yang berjumlah $ AS 100 juta itu".
Sampai Senin kemarin -- kecuali Union Oil, Arco dan IIAPCO, yang
di Jumat siang 6 Agustus lalu akhirnya setuju menandatangani
formula baru -- tiga besar lainnya belum kedengaran menyusul.
Tapi tanda-tanda tercapainya mufakat tampaknya tak tertutup.
James Wilson, dirut Trend, yang sudah bertemu dengan Piet
Haryono, mulai Senin lalu, kabarnya akan melanjutkan
pembicaraan. Selain pasal setoran, keberatan Petromer Trend yang
lain adalah dimasukkannya mereka ke dalam kategori I karena
memiliki cadangan di atas 100 juta barrel. Adapun seluruh
cadangan minyak yang dimiliki Trend yang beroperasi di Kepala
Burung, (Irian Jaya) itu adalah 296.899.000 barrel. Seperti
halnya Japex dan Total Indonesie yang separoh sahamnya milik
pemerintah Perancis, Trend keberatan kalau penyusutan
barang-barang modalnya dimasukkan golongan berjangka 14 tahun.
Satu dan lain hal karena cadangan minyak mereka umumnya dianggap
berjangka antara 9 sampai 10 tahun.
Bisa Ditawar?
Apakah tentang jangka waktu itu masih bisa ditawar lagi? "Ya
bisa saja, kalau mereka bisa membuktikan cadangannya tak
termasuk yang 14 tahun", kata Piet Haryono. Dirut Pertamina itu
tampak lebih segar dan mantap. Selepas melapor pada Presiden di
Cendana pagi itu, Piet memang belum mau bicara banyak. Tapi
kepada TEMPO yang menemuinya dia tampak optimis tiga besar yang
lain akan mengikuti jejak Union Oil. "Pemerintah bukan tak
menampung keluhan mereka", katanya. "Asal prinsipnya tidak
dirubah".
Benar juga. Senin siang itu juga Japex menyerahkan draft
terakhir mereka kepada Piet Haryono. Sorenya, sekitar jam 16.00
dua wakil dari Total diterima Dirut Pertamina di ruang sidang
jalan Perwira 6. Tak lama kemudian muncul Menteri Sadli. Mudah
diduga: untuk menunggu kembalinya para wakil dari Japex. Dan
maskapai minyak Jepang yang kali ini diwakili sendiri oleh
Presidennya yang datang dari Tokyo, Senin malamnya akhirnya
menyetujui untuk meneken kontrak baru. Tak lama kemudian disusul
Total. Akan halnya Petromer Trend, menyusul jejak yang lain
Selasa esoknya.
Lalu, apa kabarnya dengan Asamera -- yang dikabarkan juga
menolak? Perusahaan ini tertua, dan kecil sekali produksinya
(sekitar 12.700 barrel sehari). Pagi-pagi sudah menolak. Bahkan
konon dalam suratnya menyatakan akan mengajukan ke pengadilan
kalau mereka dipaksa menerima rumusan baru itu. Betulkah? Kepada
TEMPO Sabtu siang lalu, Dirut Asamera Andrew Alexeiev berkata:
"Tak benar kami menolak", katanya. Sebagai perusahaan minyak
yang masuk ketegori II (bercadangan kurang dari 100 juta
barrel), dia merasa belum waktunya untuk memberi komentar
apapun. "Saya jadi heran mengapa pers menulis begitu", katanya.
Apakah dengan begitu Asamera sudah setuju? Alexeiev, kawan dekat
Dr Ibnu Sutowo, menjawab liwat telepon: "Kami minta waktu".
Setuju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini