Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Porkas!

Porkas terus mewabah dibeberapa daerah. dapat mengeruk dana milyaran rupiah. para ulama di daerah termasuk ekonom iwan jaya azis menentang porkas. hasil poll tempo dari para konsumen porkas.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG Sasana Krida Pluit, Jakarta Utara, malam itu dijaga ketat. Di setiap pintu, sejumlah petugas bersenjata, lengkap dengan handy talky, tampak berjaga-jaga. Malam itu, Minggu 14 Juni lalu, gedung yang biasa digunakan latihan bulu tangkis itu menjadi pusat perhatian. Di situlah acara penyaringan kupon Porkas diselenggarakan. Sekitar pukul 22.45. Notari J. Tana memberitahukan tata cara proses penyaringan kepada sekitar 200 hadirin yang memenuhi ruangan. Di atas panggung, tampak papan pengumuman Porkas berukuran besar, yang dihuat mirip kupon Porkas. Malam itu, dari 14 pasang kesebelasan yang direncanakan bertanding, ternyata ada tiga pasang yang pertandingannya batal. Masing-masing kesebelasan Persisum (Sumbawa) vs PS Galap (Sumbawa juga), Persik (Kendal) vs Persipur (Purwodadi), dan PSSI melawan PSV Eindhoven. Padahal, ketiga pertandingan itu jelas dicantumkan dalam kupon Porkas yang sudah diheli para pecandu. Lalu bagaimana? Tidak terlalu sulit. Notaris J. Tana yang memimpin penyaringan, sesuai dengan aturan main yang ada menggunakan tiga buah bola untuk menentukan kesebelasan mana yang menang. Singkat cerita, hasil penarikan Porkas malam itu adalah: N-J-C-K-D-M-G-H-I-A-B. Penebak tepat, kalau ada, bisa mengambil hadiah pertama sebesar Rp 100 juta. Hasil penarikan itu segera dipancarkan ke seluruh Indonesia lewat Satelit Komunikasi Palapa. Rangkaian 14 aksara ini langsung ditulis atau dipasang di ribuan tempat, ditongkrongi dengan harap harap cemas oleh para pemasang Porkas. Urutan huruf-huruf itu pun lalu diderakkan ratusan ribu, mungkin jutaan, mulut di seluruh Persada Nusantara tercinta. Minggu malam memang merupakan hari besar kuat mereka. Saat itulah, menjelang tengah malam, undian Porkas ditarik. Di Sukabumi, Jawa Barat, setiap Minggu malam orang berbondong menuju sebuah gedung berlantai tiga di Jalan A. Yani. Itulah agen besar Porkas di kota itu. Di sini, orang biasa mengartikan Porkas sekagai "Persatuan Orang-orang Kesasar". Meski kemungkinan untuk menang, apalagi meraih hadiah pertama, sangat kecil, orang ternyata tak menjadi jera. Kupon Porkas seharga Rp 300 per lembar tetap digandrungi di mana-mana. Malah belakangan ini, meski kehadirannya tetap disorot dan diributkan - seperti tercermin dalam kecaman-kecaman selama masa kampanye pemilu - tampaknya makin banyak orang yang jatuh cinta. Saat penyaringan di Gedung Sasana Krida Pluit, Minggu pekan lalu itu, Notaris J. Tana mengumumkan bahwa kupon yang diedarkan pekan itu sebanyak 10 juta lembar. Dari jumlah itu, dua juta lembar kupon berwarna putih dan yang delapan juta berwarna cokelat. Karena harga per lembar kupon Rp 300, berarti dalam sepekan, dana yang tersedot lewat Porkas berjumlah Rp 3 milyar! Dana sebegitu itu dikumpulkan hampir dari seluruh Indonesia. Tak terkecuali di Daerah Istimewa Aceh, yang dikenal sebagai "Daerah Bebas Porkas". Secara resmi, memang, seperti dikatakan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, kepada TEMPO, "Pemda Aceh tak mengeluarkan iin peredaran Porkas." Sikap itu diambil, karena MUI (Majelis Ulama Indonesia) Aceh tak merestui upaya pengumpulan dana untuk pembinaan olah raga lewat penjualan kupon undian. Di Serambi Mekah memang tak tampak ada kios atau kedai yang menjual Porkas. Secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Tapi bagi sementara warga yang suka main tebak-tebakan, ada saja jalan yang bisa ditempuh. Beberapa pengemudi taksi atau bis yang menjalani trayek ke Medan atau Sumatera Utara umumnya mengaku sering dititipi uang oleh orang-orang tertentu untuk membeli Porkas. Menurut Dul Fajri, dari Langsa dan Kualasimpang saja setiap minggunya ada sekitar 300 orang yang minta kepada para pengemudi untuk dibelikan kupon. "Satu orang ada yang tibp sampai Rp 20 ribu," tutur sopir taksi, yang biasa menarik ke Sumatera Utara itu. Langsa--Medan bisa ditempuh dalam 3,5 jam. Sopir lain yang suka mendapat obyekan adalah Pono, 38 tahun. oari satu orang yang meminta tolong dibelikan Porkas, ia mendapat upah sekitar Rp 2.000. Bila yang titip lima orang, berarti ia bisa mengantungi Rp 10 ribu. Jauh lebih besar ketimbang penghasilannya sebagai sopir yang sekitar Rp 3.000 sehari. Belum lagi bila si pemasang Porkas itu tebakannya nyangkut. "Saya pernah dikasih persen Rp 20 rihu, dan Rp 50 ribu, kata Fajri. Berapa jumlah penebak Porkas malu-malu di Aceh, sulit diketahui. Beda dengan Sumatera Utara. Di provinsi ini Porkas tergolong "subur". Setiap putaran, uang yang bisa disedot dari kocek masyarakat yang umumnya dari kalangan bawah kabarnya mencapai Rp 1 milyar, atau Rp 4 milyar sebulan. Jumlah yang bukan sedikit, yang sekaligus menunjuk bahwa dalam sebulan lebih dari 13 juta kupon laku terjual. Bila dalam sebulan itu pukul rata seorang pecandu membeli 10 lembar kupon, berarti di provinsi ini terdapat 1,3 juta pecandu Porkas. Daerah subur lain adalah Jawa Barat. "Pukul rata omset kami sekitar 3 juta lembar kupon sebulan," kata Basuki, yang menjabat pimpinan PT Supra Bulan Utama. PT inilah yang menjadi koordinator penyelenggaraan Porkas di Jawa Barat. Hampir sepertiganya, atau sekitar 900 ribu kupon, diserap oleh pecandu di Bandung dan sekitarnya. Seperti di kota-kota lain, di Bandung wabah Porkas terlihat jelas pada hari Minggu malam. Menjelang pukul 22.00., kantor PT Supra Bulan Utama di Jalan Kopo menjadi semacam pusat keramaian dan tumpuan harapan. Dari segala sudut kota, orang dan kendaraan datang berduyun untuk melihat pengumuman penarikan. Tak pelak lagi, jalan menjadi macet. Di Semarang? Jangan ditanya. Apalagi karena selain hadiah yang resmi. Pecandu Porkas diberi iming-iming hadiah tambahan yang sungguh menggiurkan: sedan Suzuki Forsa, minibus Suzuki Carry, sepeda motor Suzuki RC 100, dan Suzuki RC 80. Hadiah sedan akan diberikan kepada penebak cocok empat huruf sebanyak 25 seri kupon. Bila cocok empat huruf dan punya 15 seri kupon, penebak boleh membawa pulang minibus. Penebak yang cocok empat huruf dan punya I C kupon berseri urut, mendapat Suuki RC 100, sedang yang cocok tiga huruf dan punya 25 kupon seri urut Suzuki RC 80 menjadi bagian penebak . Iming-iming ini jelas merangsang pecandu untuk membeli kupon sebanyak-banyaknya. "Strategi pemasaran, begitulah," ucap Sudiyono, penanggung jawab peredaran Porkas di Jawa Tengah kepada TEMPO. Strategi itu tampaknya mencapai hasil. Data yang diperoleh dari Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah menyebutkan bahwa terjadi lonjakan yang fantastis atas peredaran kupon Porkas di provinsi ini. Selama tahun 1986, jumlah kupon yang beredar tercatat 685.651 buku @ 25 lembar, atau 17 juta lembar lebih. Sedangkan angka penjualan pada bulan Maret-April tahun ini berjumlah 795.468 buku, atau 19,8 juta kupon. Dengan kata lain, dalam sebulan hampir Rp 3 milyar uang yang disedot lewat lembaran kertas tebakan itu. Porkas (dari kata foreast) sepak bola, seperti diketahui, mulai dimasyarakatkan pada awal 1986 lalu. Ketika itu, Menteri Sosial Nani Soedarsono menyatakan bahwa karena keterbatasan dana, pemerintah tak mungkin lagi memberi subsidi untuk pembinaan olah raga yang besarnya Rp 5 milyar setahun. Sebagai gantinya, dana untuk KONI akan diberikan lewat penyelenggaraan Porkas. Pemegang izin penyelenggara undian adalah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), yang bernaung di bawah Departemen Sosial. Dan YDBKS ini menunjuk perusahaan swasta sebagai pengelola langsung Porkas. Cara pengumpulan dana olah raga lewat penyelenggaraan undian sebenarnya bukan hal baru. Dengan bermacam nama, sejak tahun 1950-an pemerintah pernah mengadakan undian untuk tujuan itu. Setelah di Jakarta, pada 1968 di Surabaya pernah diselenggarakan Lotre Totalisator (Lotto) PON Surya. Surabaya waktu itu kebetulan akan menjadi tuan rumah PON VIII tahun depannya (1969). Di Bandung pernah ada yang disebut Toto Raga, yaitu pengumpulan dana lewat taruhan pacuan kuda. Dan di Jakarta, saat Ali Sadikin menjadi gubernur, ada undian yang diberi nama Totalisator (Toto) KONI dan Nasional Lotre (Nalo). Nalo inilah yang kini menjadi Sumbangan Sosial Berhadiah. Sedangkan Toto KONI, yang mendasarkan tebakan pada hasil pertandingan sepak bola, pada 1974 tak dibenarkan lagi diadakan. Sejak itu, praktis Pemerintahlah yang memberikan subsidi terhadap KONI, induk organisasi yang membawahkan 45 cabang olah raga Subsidi itu kian tahun terus bertambah, sampai pada 1986 jumlahnya mencapai Rp 5 milyar setahun. Sementara itu, harga minyak terus melorot. Dan meski olah raga itu penting, apa boleh buat, subsidi tak bisa lagi diberikan. Maka, lahirlah Porkas. Perlu dicatat, sejak Toto KONI dihapuskan pada 1974, ide mengumpulkan dana untuk pembinaan olah raga sebenarnya tak pernah pupus. Pada t975, misalnya, sebuah tim gabungan yang antara lain terdiri dari unsur Departemen Sosial dan Kopkamtib, berangkat ke Eropa Barat. Di Spanyol, tim melihat penyelenggaraan Toto sepak bola. Itulah undian yang ditarik setiap minggu, berupa tebakan hasil pertandingan sepak bola atas 14 klub profesional yang masuk divisi utama di negeri itu . Dari situlah, ide tentang Porkas berkembang. Tentunya dengan penyesuaian yang dianggap cocok. Mungkin karena menanti situasi dan saat yang tepat, Porkas baru benar-benar diperkenalkan pada awal 1986. Sama dengan Toto di Spanyol, Porkas juga mendasarkan undiannya ada 14 hasil pertandi gan klub sepak bola selama sepekan. Yang bertanding, bisa antara PSSI dan klub sepak bola dan mancanegara, atau antarkesebelasan nasional yang sudah dikenal seperti Persija lawan Persib. Tapi bisa juga pertandingan antarkesebelasan lokal yang tak begitu dikenal seperti Persisum (Sumbawa) lawan Persig (Gunungkidul). Malah, meski pertandingan yang direncanakan urung dilaksanakan, penarikan Porkas tak lalu terhenti. Sebab, tampaknya, bukan pertandingan itu benar yang penting. Seperti pernah dikatakan Abraham Toding, staf ahli Menteri Sosial merangkap Sekretaris YDBKS, tujuan Porkas adalah untuk menghimpun dana. Jadi, ada atau tidak ada pertandingan, dan bagaimana mutu kesebelasan atau pertandingan, agaknya bisa diabaikan. Apa boleh buat. Pria pemasang Porkas pun, sepertinya, tak peduli benar tentang hal itu. Tujuan seseorang membeli kupon memang bukan untuk menguji pengetahuan atau kemampuannya dalam menilai suatu kesebelasan serta jalannya pertandingan. Mereka asal tebak saja. Hasil pengumpulan- pendapat TEMPO mengungkapkan, sebagian besar pemasang tersebut (37%) berpendidikan SLA. Sebagian besar, meski menganggap Porkas itu judi (62%), mengaku mmbeli kupon Porkas karena iseng (lihat Jalan Pintas Mengubah Nasib). Namun. tampakny cukup banvak pembeli Porkas yang memasang dengan tujuan untuk bisa segera mengubah nasib. Akibat pemikiran begini, para pecandu lantas banyak yang cenderung bertindak irasional. Hal ini dimanfaatkan oleh agen Porkas, dan oleh mereka yang pandai "menunggang angin" . Bisa dibilang semua agen Porkas menyediakan kode tebakan. Kode bempa gambar-gambar, yang dikombinasikan dengan huruf dan angka itu, menjadi santapan para pecandu sebelum mereka menentukan tebakannya. Ada, misalnya, kode berupa gambar kancil dan buaya - tokoh dalam cerita anak anak yang sangat dikenal. Di situ, si buaya berkata, "Hai, penipu . . . ! Mana janjimu dulu? Kamu bilang mau bawakan ayam kalasan untukku." Sang kancil menjawab. "Tenang, Sobat. Saya ada urusan bisnis." Lantas, di bagian atas kanan tercetak: C:A:I = F. Di bawah, ada tulisan--atau gambar -- yang menyerupai huruf EJNG. Kalau mau berpikir waras, kode di atas sebenarnya sama saja dengan tak menunjuk apa-apa. Bila dikutak-kutik, tafsirannya jelas bisa banyak sekali. Tapi, sungguh, Porkas mampu menciptakan lapangan kerja baru. M. Hutagalung, 25 tahun, dan Padangsidempuan, yang biasanya menganggur, kini bisa teratur memberi nafkah istri dan ketiga anaknya. Sekali sepekan, ia membeli kode-kode dari agen Porkas yang mendapat kiriman dari Medan. Kode-kode itu dibeli seharga Rp 100 - Rp 1.000 per lembar. Hutagalung membuat kopinya dan menjualnya seharga Rp 300 - Rp 1.500 perlembar. Pukul rata, ia bisa membawa pulang Rp 2.500 sehari untuk keluarganya. Yang juga kecipratan rejeki adalah dukun. Dukun Pangulu Damak. 49 tahun, contohnya. "Orang tua" yang menetap di Desa Sipispis Sindaraya (30 km dari Tebingtinggi, Sumatera Utara) ini dalam sepekan kedatangan tamu yang mau bertanya soal Porkas sampai 100 orang. Pecandu lain yang tak percaya dukun berduyun pergi ke kubur tua di Bukit Datuk Wisno - 20 km dari Tebingtinggi arah ke Kisaran. Kubur di ketinggian 500 meter beratap seng dan diberi kelambu ini jauh-jauh didatangi untuk dimintai berkah. Seorang dukun menjadi pengantar ke tempat itu. Ia akan membakar kemenyan dan menaburkan bunga, lantas kesurupan. Semua ocehannya dicatat dengan teliti oleh para peziarah dan dijadikan pedoman untuk membeli Porkas. Tak ada yang menjamin, "wangsit" yang diperoleh benar-benar tepat. Toh orang tak jera-jeranya pergi ke sana. "Wangsit" yang diterima sesekali memang ada juga yang hampir tepat dengan tebakan yang keluar. Sama halnya dengan kode yang, secara terang-terangan atau agak tersamar, dimuat di sementara surat kabar. Mingguan Santana dan Inijaya terbitan Jakarta, contohnya. Mingguan tabloid Monitor tak terkecuali. Di mingguan ini, jelas-jelas ada kode yang diberi nama "Porkas Cuaca". Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Monitor, tak hendak mengelak bahwa Porkas Cuaca memang ramalan Porkas. Kata Arswendo, Porkas adalah judi. Kok memasang ramalan di Monitor? "Kalau ramalam cocok terus bandar Porkaskan bangkrut, lantas tutup," katanya sambil tertawa berderai. Arswendo tak tahu apakah karena ramalan itu tabloidnya bisa melejit sampai oplahnya sekitar 600 ribu eksemplar. Tetapi mingguan Dobrak terbitan Medan, setelah memuat kode Porkas oplahnya naik 16% dan bisa terbit dua kali seminggu, tiap Rabu dan Sabtu. "Oplah kami kini 12 ribu sekali terbit," kata Redaktur Pelaksana Zoel Libra. Di Cicalengka, Bandung, yang laris menjelang hari penarikan Porkas adalah sejenis makanan kecil, yang dikemas dalam plastik. Mirip Chiki, dengan kemasan yang lebih kecil, penganan ini dijual Rp 50 per bungkus. Daya tariknya bukan karena rasanya yang manis dan harga yang terjangkau. Dalam bungkus penganan ini ada sepotong kertas yang mengandung kode Porkas. "Pada hari Sabtu, juga Minggu, makanan kecil itu laku sekali," kata sebuah sumber. Khawatir akan efek negatifnya terhadap anak-anak, kabarnya pernah ada yang melaporkan hal itu kepada pihak aparat setempat. Namun, yang dilapori tak bisa berbuat apa-apa, dengan alasan, "Walau bagaimanapun, Porkas 'kan proyek dari Pusat. " Ekses negatif Porkas memang sudah lama dikhawatirkan. Bukan saja terhadap moral, tapi juga akibat ekonomisnya. Cukup banyak korban yang jatuh karena Porkas. Alidin Panggabean, siswa kelas 3 SMA swasta Padangsidempuan, misalnya, tewas gara-gara Porkas. Siswa yang tergolong pintar ini diketahui menunggak uang SPP sampai beberapa bulan. Suatu malam, ayahnya, Jalaludin Panggabean, 59 tahun, menemukan beberapa lembar kupon Porkas di kantungnya. Alidin, yang dinasihati, pagi harinya malah meminta uang dengan paksa. Bila tak diberi, ia mengancam akan menenggak racun serangga yang ada di tangannya. Konon, Alimin merasa malu dan ingin "menebus" uang SPP yang dipakainya dengan kembali membeli kupon Porkas. Menduga bahwa anaknya cuma mau menggertak, selain kala itu - 3 Oktober 1986 Jalaludin memang sedang bokek, permintaan Alimin tak digubris. Di luar dugaan Alimin ternyata benar-benar melaksanakan ucapannya. Racun serangga ia tenggak. Dan meski sempat dibawa ke rumah sakit tentara yang berjarak 500 meter dari rumah, nyawa anak keenam Jalaludin itu tak tertolong. Ekses lain yang lebih ringan bisa dicatat dari berbagai daerah. Misalnya saja: cekcok rumah tangga karena suami atau istri memilih membeli kupon ketimbang kebutuhan untuk anak mereka. Atau orang yang mengumpulkan sejumlah uang untuk "syarat" lantas tertipu oleh mereka yang berlaga sebagai dukun sakti. Atau lagi pecandu yang bernasib seperti Tajudin, 36 tahun. Empat tahun menjadi penarik becak, saya tiga anak yang tinggal di Pontianak ini semula mampu menyisihkan sebagian pendapatannya. Toh ia, seperti banyak orang lain yang berpenghasilan pas-pasan, tergoda memperoleh rezeki nomplok. Tiap minggu ia tak pernah absen membeli kupon. "Tak tahu sudah berapa ribu lembar saya beli," katanya kepada Djunaini K.S. dari TEMPO sembari menunjuk ke bufet tua di kamar tamunya yang sempit. Hasilnya? Sejumlah uang tabungan, radio dan becaknya amblas terjual. Tapi dia belum kapok. "Kalau ada mimpi yang tepat, aku bom puluhan lembar," ujarnya dalam loga Sambas. Entah, apa lagi nanti yang mau dia lego.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus