Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan pintas mengubah nasib ?

Para ulama di daerah termasuk ekonom iwan jaya azis menentang porkas. porkas supaya segera ditutup. hasil poll tempo mengungkapkan tentang tujuan dan pendapat konsumen membeli porkas.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRO dan kontra kehadiran Porkas rasanya tak habis-habisnya. Namun, sejauh ini, kecaman terhadap permainan ini tampaknya seperti belum berubah. Porkas tetap tak bergeming dan berjalan terus. Kritik paling keras tetap datang dari kalangan agama, terutama para ulama di berbagai daerah. Sampai-sampai Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat memandang perlu mengeluarkan "Fatwa Lengkap Tentang Porkas", November lalu. Intinya: Porkas Sepak Bola adalah judi dan hukumnya haram. BKSPP mengimbau agar pemerintah segera menarik kembali Surat Keputusan Departemen Sosial tentang izin Porkas Sepak Bola, tanpa menunggu ekses yang dapat terjadi. Banyak orang yang menoleh ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menunggu fatwa lembaga ini. Namun, yang ditunggu-tunggu itu tak juga pernah turun. Sebenarnya, pada pertengahan 1986, MUI telah mengirim surit kepada pemerintah untuk mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan Porkas. Ketua Umum MUI Pusat, K.H. Hasan Basri, tampaknya enggan memberikan tanggapan soal yang satu ini. "Sudah ada agreement dengan Presiden, untuk tidak membicarakan masalah Porkas," katanya kepada TEMPO. Ini berbeda dengan sikap yang diambil oleh ulama di daerah. K.H. Ali Darokah, misalnya, tegas-tegas menyatakan Porkas merupakan judi dan haram hukumnya menurut agama. "Kami mengajukan usul agar Porkas ditutup saja," kata Ketua MUI Solo, yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Tremas ini. Protes yang tak kalah lantangnya datang dari Blegoh Soemarto. Ketua DPRD Jawa Timur itu sejak semula memang anti terhadap Porkas. Ia bukannya tidak setuju pemerintah berusaha mengumpulkan dana untuk pembinaan olah raga. "Saya tidak apriori, kalau memang ada upaya seperti itu. Asal bukan rakyat kecil yang jadi korbannya, dan bentuk kegiatannya pun harus dilokalisasikan," katanya, bulan lalu. Tampaknya, Blegoh lebih melihat ke dampak negatif Porkas bagi masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah. "Lihat saja, sekarang ini masyarakat kelas bawah sampai kelas atas berjudi Porkas. Mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek. Apa ini akan terus dibiarkan?" ujarnya. Karena itu, lewat lembaga yang dipimpinnya, ia bertekad untuk memperjuangkan agar Porkas ditarik dari peredaran. Sebenarnya, kekhawatiran berbagai pihak atas berlangsungnya Porkas cukup beralasan. Bahwa pembeli Porkas datang dari segala lapisan masyarakat tergambar dari hasil poll TEMPO yang dilaksanakan sejak awal Ramadan. Hampir 1.200 kuesioner disebarkan ke pusat-pusat penjualan Porkas di seluruh Indonesia. Antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Dari 1.139 responden yang terdiri dari pemain Porkas, 87,53% pria, sisanya (11,67%) wanita, dengan latar bclakang pendidikan terbesar lulusan SLTA (37,75%). Lalu SLTP (19,66%), tamatan sekolah dasar (20,10%) dan pendidikan lainnya (1,14%). Yang menarik, alumnus perguruan tinggi dan akademi masing-masing tercatat 12,11%, dan 5,35% - ikut memasang Porkas. Pelanggan Porkas datang dari berbagai profesi. Antara lain petani/nelayan (2,45%), buruh kasar (14,13%), pegawai negeri/ABRI (12,29%), pelajar (7,19%), mahasiswa (12,73%) dan pengangguran (8,07%). Peringkat paling atas diduduki oleh karyawan swasta (21,51%) dan wiraswastawan/pedagang (20,28%). Ini, paling tidak, membuktikan bahwa Porkas digemari seluruh lapisan masyarakat tanpa dipengaruhi pckerjaan dan tinggi rendah. Jalannya pendidikan yang pernah diperoleh. Kecemasan Blegoh Soemarto bahwa pelanggan Porkas berasal dari lapisan bawah terbukti dalam angket. Sebagian besar (41,35%) adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 50 ribu per bulan. Yang bergaji setiap bulan antara Rp 50.000 dan Rp 100.000 tercatat 23,61%. Sedang yang bernafkah bersih rata-rata di bawah Rp 200 ribu tapi masih di atas Rp 150 ribu/bulan sebanyak 15,62%. Makin tinggi perolehan seseorang, agaknya makin besar kecenderungannya untuk tidak terlibat Porkas. Tercatat hanya 11 responden dengan gaji Rp 300.001--Rp 400.000 yang ikut memasang. Ahli ekonomi regional Iwan Jaya Aziz menilai Porkas bukan hanya menyedot dana daerah ke pusat, tapi juga akan menimbulkan kerawanan-kerawanan lain di bidang ekonomi. "Kegiatan ekonomi, terutama swasta yang umumnya golongan menengah ke bawah di daerah, akan menurun," katanya. Akibatnya, angka pengangguran dan urbanisasi meningkat. "Warga desa yang sengsara karena Porkas berbondong-bondong menyerbu perkotaan," ujar staf pengajar FE UI itu. Disimpulkannya, "Dari sudut mana pun Porkas tidak baik." Kecemasan yang dilontarkan Iwan agaknya mulai dirasakan oleh Frodusen sabun, pasta gigi, mentega, susu, supermie, sardencis, dan barang kelontong lainnya di beberapa daerah akhir-akhir ini, antara lain Sukabumi, Medan, dan Jakarta "Porkas sangat berpengaruh terhadap pembelian kebutuhan barang-barang pokok," kata seorang sumber di sebuah perusahaan distributor bahan-bahan primer. Pengaruhnya, menurut sumber yang enggan disebutkan namanya itu, dirasakan langsung oleh masyarakat kalanganbawah. "Daya beli masyarakat menurun," ujarnya. Sumber ini memang belum merinci seberapa jauh dampaknya terhadap omset penjualan produknya. "Yang jelas, mereka (golongan ekonomi lemah) lebih suka makan harapan daripada gizi," kata sumber itu lagi. Hasil pengumpulan pendapat TEMPO memang menunjukkan bahwa responden tak segan membelanjakan sebagian pendapatannya untuk satu sampai tiga lembar kupon (61,28%). Lalu, 4-6 lembar (21,51%), 7-9 lembar (14,13%). Terungkap juga, hanya sedikit sekali yang membeli lebih dari 10 lembar. Frekuensi pembelian mereka cukup tinggi: sebagian besar membeli kupon setiap putaran (44,51%) dan dua minggu sekali (10,09%). Sementara itu, yang menekuni tiga minggu atau sebulan sekali sekitar 5%. Jumlah yang cukup besar adalah pembeli tidak tetap (37,40%). Harga kupon yang hanya Rp 300 setiap lembar memang memungkinkan penjaja es krim gerobak semacam Partono untuk membelinya. Padahal, pendapatan bersihnya setiap bulan tidak lebih dari Rp 25.000. Bujangan asal Pringsewu, Yogyakarta, yang merantau ke Pontianak ini tak pernah absen membeli 10 kupon sejak Porkas diperkenalkan awal 1986. Dan pembeli seperti Partono dalam angket TEMPO ternyata menempati lebih dari sepertiga jumlah responden (33,97%). Lainnya mengenal Porkas sejak setahun lalu (29,76%), atau enam bulan terakhir ini (33,01%). Ironisnya, Partono, 25 tahun, tak sekali pun menggondol hadiah. Toh, ia tak juga jera. "Habis, mau cari kekayaan bagaimana lagi kalau ndak begini?" katanya. Cita-citanya pulang kampung dan membeli tanah di Jawa kandas, setelah uang yang sempat ditabungnya amblas. Partono dengan begitu tergolong yang ingin mengubah nasib dengan memasang Porkas. Ia memilih jalan pintas dan menggantungkan seluruh harapannya pada permainan ini. Bahkan tabungannya pun direlakannya untuk mencapai impian tersebut. Tak semua orang mempertaruhkan masa depannya pada Porkas. Banyak yang sadar bahwa Porkas memang permainan adu nasib, dan hanya sekadar ikut mamasang. Hasil poll TEMPO mengungkapkan, lebih dari separuh responden mengaku memasang Porkas secara iseng-iseng saja (56,10%). Namun, cukup banyak yang memandang Porkas sebagai jalan pintas: tercatat ada 15,71% responden yang memasang Porkas untuk mengubah nasib. Ada juga alasan lain. Misalnya ingin menyumbang (13,08%), karena hobi (7,81%), dan 5,18% karena pengaruh orang lain. Yang menarik, banyak pemasang Porkas yang tak tahu persis apa tujuan permainan ini. Hanya sekitar sepertiga responden tahu bahwa kegiatan ini diadakan untuk menghimpun dana bagi pengembangan olah raga di Indonesla. Dan senbu responden lebih, yang tahu persis tujuan Porkas ada 32,74%, mendengar dari orang lain (35,73%), tahu apa itu Porkas (9.21%), dan tidak tahu sama sekali (15,01 %). Kontroversi mengenai Porkas berpusar pada satu hal: Porkas tergolong judi atau tidak? Mari kita tanyakan pada masyarakat. Menurut penjajakan lewat pengumpulan suara TEMPO, tercatat 60,75% responden menyatakan Porkas itu judi. Yang mengatakan bukan judi hanya 22,65%. Sisanya (15,10%) tidak peduli. Bagaimana dengan para pemasang, apakah sebelumnya sebagian besar di antara mereka juga suka bertaruh? Ternyata, tidak. Hasil poll menunjukkan, pemasang Porkas yang selama ini suka bertaruh tercatat 22,56%. Justru yang tidak mencapai 50,21%. Ini bisa diartikan, lebih dari setengahnya tidak pernah bertaruh, tapi kini mulai mencoba-coba lewat permainan yang satu ini. Sementara itu, yang benar-benar petaruh, yang mengaku sebelumnya selalu bertaruh, cuma sedikit (2,67%), sedang yang sekali-sekali tercatat 22,47%. Dibanding Porkas putih, kupon Porkas hijau tampaknya lebih populer. Mungkin karena kupon hijau kelihatannya lebih gampang digarap, sebab hanya melibat 4 dari 14 huruf yang tersedia. Padahal, faktor kesulitan tetap sangat besar. Maklum, ada 24.000 kemungkinan. Di hijau ini, pembeli cukup menentukan huruf mana yang bakal keluar lengkap dengan urutannya, tanpa pusing-pusing memikirkan tim sepak bola mana yang bertanding. Hasil angket menunjukkan, 62,15% responden lebih senang memilih kupon hijau dibanding 12,20% pembeli kupon putih, sedang selebihnya membeli kedua-duanya (22,38%). Sepintas, ini mencerminkan, masyarakat Porkas lebih suka menebak - suatu perhitungan yang lebih mudah karena tidak memerlukan daya pikir - untuk meraih hadiah. Setidak-tidaknya, ini terbukti dari Jawaban yang masuk, yakm 43,63% mengisi asal tebak, dan yang berdasarkan ramalan 36,08%. Cuma 8,34% yang mendasarkan pilihan mereka berdasar pengamatan atas tim yang bertanding, sedang yang berkutat dengan perhitungan matematis ada 9,39%. Fakta bahwa lebih dari sepertiga pemasang Porkas percaya pada ramalan bisa menguntungkan pada segolongan masyarakat, termasuk "orang tua", dukun, atau bahkan orang gila. Bukan rahasia lagi bahwa para petaruh sanggup melakukan hal yang paling sinting pun demi memperoleh ramalan yang kena. Ini menguntungkan pembuat ramalan dan kode, atau mereka yang menyiarkannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah media cetak. Buat mereka, kehadiran Porkas berarti juga peningkatan oplah. Dari poll TEMPO terungkap, kode/ramalan yang dimuat diminati oleh 17,20% pecandu. Mingguan Taruna Bar Medan, misalnya, menurut seorang agen di Padangsidempuan, semula hanya terjual 25 eksemplar di kotanya. Tetapi setelah memuat kode Porkas, koran itu laku 700 eksemplar setiap minggu. Ramalan macam apa yang paling laris? Gambar atau huruf yang tak jelas maknanya dipakai 10,09% responden. Ada yang memilih ke dukun (2,01%), orang gila (1,40%), mimpi (7,11%), bahkan ke kuburan/makam keramat, atau bertapa (0,17%). Seorang pedagang barang-barang kelontong di Jawa Barat mengaku sering datang ke"orang pintar" dan "makam keramat". Tujuannya, "Untuk mendapat huruf jitu," kata Hendi, asal Cikotok Lebak. Anak sulung dari lima bersaudara ini termasuk pecandu berat Porkas. 'Sekali pasang, biasanya berkisar 30 sampai 120 kupon," ujar Hendi lebih lanjut. Tapi Hendi termasuk beruntung. Dari kegemarannya itu dihitung-hitung ia sudah mengantungi kemenangan sekitar Rp 5 juta. "Pokoknya, keisengan saya tidak menganggu modal usaha." Mungkin ada benarnya pendapat pedagang itu. Sebab, hanya 39,06% responden yang mengaku keuangan keluarga sedikit terganggu. Mayoritas (45,30%) merasa tidak terpengaruh, dan (13,60%) tidak ambil pusing. Jadi, menang atau kalah, mereka tidak akan kapok membeli. Padahal, 57,50% responden yang diminta pendapatnya mengatakan tidak pernah menang. Yang sekali menang (17,47%), dan dua kali (8,95%). Lain-lainnya ada yang menang tiga kali, empat kali, malah lebih dari lima kali. Tapi persentasenya sangat kecil. Kalaupun tebakannya jitu, 48,37% menyatakan kemenangan - mempengaruhi nasibnya. Yang mengaku hidupnya berubah lebih baik (5,97%) lebih sedikit dibanding yang bertambah buruk (7,11%). Toh, pecandu Porkas dari hari ke hari tampaknya semakin bertambah. Lebih-lebih di beberapa daerah para bandar atau agen sengaja memberikan perangsang untuk menarik konsumen. Di Yogya, misalnya, pengelola Porkas PT Bola Mas Sukses Sejati, periode April-Mei, menyediakan hadiah kambing, di luar hadiah yang resmi. Sementara itu, di kawasan Semarang, pecandunya diiming-imingi bingkisan menggiurkan berupa sepeda motor hingga mobil. Maka, udak terlalu menggetkan bila poll mencatat 44,07% responden setuju Porkas dipertahankan. Bandingkan dengan yang tidak setuju, yang hanya 23,09%. Harap juga dicatat, cuma 29,49% bcrpendapat Porkas tidak perlu diteruskan. Hal ini memang ironis. Kendati pemuka agama, tokoh masyarakat, sampai pengamat ekonomi, menyatakan Porkas lebih banyak memberikan dampak negatif, para pecandunya ternyata telah tergigit oleh permainan ini. Maka, putaran demi putaran agaknya akan terus berlangsung. Ini sejalan dengan sikap pemerintah. "Pokoknya, akan diadakan terus sampai terkumpul Dana Pembinaan Olah Raga Abadi," kata Menteri Sosial, Ny. Nani Soedarsono. Yusroni Henridewanto, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus